Menu
Menu

Bukankah Tuhan telah menjanjikan seluruh tanah ini kepada Gekoyo dan anak turunnya, selama-lamanya? Sekarang tanah itu telah dirampas. Cerpen Ngugi Wa Thiong’o.


Oleh: Afris Irwan | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Seorang penerjemah lepas yang tinggal di Jogja. Facebook: Afris Irwan.


Peristiwa pembunuhan Tuan dan Nyonya Garstone di rumah mereka oleh gerombolan tak dikenal memunculkan banyak pembicaraan. Beritanya dimuat di halaman depan berbagai surat kabar dan menjadi program utama di Radio Newsreel. Bisa jadi karena mereka adalah pemukim Eropa pertama yang menjadi korban meningkatnya gelombang kekerasan yang telah menyebar ke seluruh penjuru negeri. Gelombang kekerasan ini dikabarkan memiliki motif politik. Dan ke mana pun kau pergi, entah itu ke pasar, bazar India, atau duka[1] Afrika yang terpencil, kau pasti akan mendengar berita tentang pembunuhan itu. Ada banyak dugaan dan tafsiran terkait peristiwa ini.

Tak ada tempat yang lebih tuntas dalam membahas peristiwa ini selain sebuah rumah terpencil yang dibangun di atas bukit yang, sudah sepantasnya, dimiliki oleh Nyonya Hill. Suaminya, seorang pendatang veteran dari periode perintis, meninggal pada tahun lalu setelah terjangkit malaria sewaktu berkunjung ke Uganda. Putra dan putrinya sekarang sedang menempuh pendidikan di ‘Rumah’—istilah yang digunakan untuk menyebut Inggris. Sebagai salah satu pendatang perintis dan tuan tanah yang memiliki perkebunan teh besar yang tersebar di seluruh negeri, Nyonya Hill sangat dihormati oleh tuan tanah yang lain, jika tidak oleh semua orang.

Memang ada beberapa orang tidak menyukai sikap Nyonya Hill yang dianggap terlalu ‘liberal’ terhadap ‘pribumi.’ Maka ketika Nyonya Smiles dan Nyonya Hardy berkunjung ke rumahnya dua hari kemudian untuk membicarakan tentang pembunuhan itu, keduanya menampilkan raut berseri-seri campur sedih – sedih karena orang Eropa (bukan hanya Tuan dan Nyonya Garstone) telah dibunuh, dan senang karena kebobrokan moral dan kebiadaban bangsa pribumi telah diperlihatkan sedemikian gamblangnya. Nyonya Hill tak dapat lagi mempertahankan pendapatnya bahwa penduduk pribumi bisa dijadikan beradab apabila mereka ditangani dengan tepat.

Nyonya Smiles adalah seorang perempuan setengah baya bertubuh kurus dengan hidung kokoh dan bibir rapat yang akan mengingatkan seseorang pada sosok misionaris. Sedikit banyak pembawaannya memang begitu. Berbekal keyakinan bahwa dia dan bangsanyalah yang membentuk oasis peradaban di sebuah negeri liar yang dihuni orang-orang biadab, dia merasa sudah menjadi tanggung jawabnya untuk terus mengingatkan kepada penduduk pribumi dan semua orang tentang kenyataan itu, baik lewat cara jalan, cara bicara, maupun sikapnya secara umum.

Nyonya Hardy merupakan keturunan Boer dan sewaktu kecil bermigrasi ke negeri ini dari Afrika Selatan. Berhubung tidak memiliki pendapat pribadi tentang segalanya, kebanyakan dia akan menyetujui pandangan apa pun yang paling selaras dengan pandangan suami dan rasnya. Sebagai contoh, belakangan ini dia selalu sepakat dengan segala ucapan Nyonya Smiles. Nyonya Hill tetap memegang teguh pendapatnya dan bersikukuh, yang memang sudah menjadi wataknya, bahwa penduduk pribumi sebenarnya patuh dan yang dibutuhkan hanyalah memperlakukan mereka dengan baik.

“Hanya itulah yang mereka butuhkan. Perlakukan mereka dengan baik. Maka mereka akan menerimamu dengan baik juga. Lihatlah ‘bujang-bujangku’. Mereka menyayangiku. Mereka akan menuruti apa pun yang kuminta!” Itulah filosofinya, yang juga dianut oleh sebagian besar kaum progresif dan liberal. Nyonya Hill telah melakukan sejumlah hal liberal bagi ‘bujang-bujangnya’. Dia tidak hanya membangun pondok bata (bata, bayangkan itu) tetapi juga mendirikan sekolah untuk anak-anak. Tak jadi soal apakah sekolah itu kekurangan guru atau murid-muridnya hanya belajar setengah hari lalu sisanya bekerja di perkebunan; itu pun sudah jauh melampaui keberanian yang dilakukan kebanyakan pendatang lain.

“Sangat keji, itu tindakan yang sangat keji,” kata Nyonya Smiles dengan suara lumayan keras. Nyonya Hardy setuju. Nyonya Hill tetap netral.

“Tega-teganya mereka melakukannya? Kita ini telah memperadabkan mereka. Kita telah menghentikan perbudakan dan perang antarsuku. Bukankah mereka menjalani kehidupan biadab dan menyedihkan?” Nyonya Smiles berbicara dengan mengerahkan seluruh kepiawaian berpidatonya. Kemudian, dia menutupnya dengan gelengan kepala sedih: “Tapi aku selalu mengatakan bahwa mereka tak akan pernah jadi beradab, benar-benar tak bisa diajak maju.”

“Kita harus menunjukkan kesabaran,” saran Nyonya Hill. Nada bicaranya lebih misionaris dibandingkan wajah Nyonya Smiles.

“Sabar! Sabar! Sampai kapan kita harus terus bersabar? Siapa yang lebih sabar dari keluarga Garstone? Siapa yang lebih baik hati? Dan lihatlah semua penghuni liar yang telah mereka tampung!”

“Nah, bukan penghuni liar yang …”

“Lalu siapa? Siapa pelakunya?”

“Mereka semua harus digantung!” Nyonya Hardy memberi saran. Suaranya bernada yakin.

“Dan coba pertimbangkan, mereka benar-benar dibangunkan tengah malam oleh pelayan mereka sendiri!”

“Sungguh?” | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

“Ya. Pelayan mereka sendiri yang mengetuk pintu dan mendesak mereka untuk membuka pintu. Katanya ada orang yang mengejarnya–”

“Mungkin ada–”

“Tidak! Itu sudah direncanakan. Tipu muslihat. Begitu pintu terbuka, gerombolan itu langsung menerjang masuk. Semua itu diberitakan di koran.”

Nyonya Hill memalingkan wajah dengan rasa bersalah. Dia tidak membaca koran.

Waktunya minum teh. Nyonya Hill mohon diri dan menuju ke pintu lalu memanggil dengan suara lantang namun ramah.

“Njoroge! Njoroge!” | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Njoroge adalah pelayan Nyonya Hill. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berbahu bidang, usianya mendekati paruh baya. Dia telah melayani keluarga Hill selama lebih dari sepuluh tahun. Dia mengenakan celana panjang hijau yang dikencangkan dengan bengkung merah di pinggang dan kopiah merah. Dia berdiri di ambang pintu dan mengangkat alisnya bertanya-tanya—satu tindakan yang biasanya diiringi dengan kata-kata, “Ya, Memsahib?’ atau “Ndio, Bwana.”[2]

Leta chai.”[3]

Ndio, Memsahib!” dan Njoroge menghilang lagi setelah melirik sekilas ke arah para memsahib yang hadir di sana. Percakapan yang terputus oleh kemunculan Njoroge kembali dilanjutkan.

“Mereka terlihat sangat polos,” ujar Nyonya Hardy.

“Memang. Bagaikan bunga polos yang menyembunyikan ular.” Nyonya Smiles mengutip Shakespeare.

“Sudah melayaniku sepuluh tahun lebih. Sangat setia. Sangat menyayangiku.” Nyonya Hill membela ‘bujangnya’.

“Sama saja, aku tak suka padanya. Aku tak suka wajahnya.”

“Aku juga sama.” | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Teh disajikan. Mereka minum, sambil mengobrol tentang kematian, kebijakan pemerintah, dan para demagog yang merupakan unsur tak diinginkan di negeri yang sebenarnya indah ini. Tetapi Nyonya Hill menyatakan bahwa para demagog semi buta huruf yang pergi ke Inggris dan mengira mereka telah mendapatkan pendidikan ini tidak mengetahui aspirasi sebenarnya dari bangsa mereka. Kau masih bisa mengambil hati ‘bujang-bujangmu’ dengan bersikap baik kepada mereka.

Meski begitu, ketika Nyonya Smiles dan Nyonya Hardy sudah pergi, Nyonya Hill terus memikirkan tentang pembunuhan itu dan percakapan tadi. Dia merasa gelisah dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa rumahnya terlalu jauh dari pertolongan terdekat seandainya terjadi penyerangan. Namun, mengetahui dirinya memiliki sepucuk pistol menenteramkan hatinya. | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Makan malam telah usai. Itu mengakhiri tugas Njoroge untuk hari ini. Dia melangkah keluar dari cahaya menuju bayang-bayang tak terhitung banyaknya lalu menghilang dalam kegelapan. Dia menyusuri setapak yang menghubungkan rumah Nyonya Hill dengan pondok-pondok pekerja di kaki bukit. Dia ingin bersiul untuk menghalau keheningan dan kesenyapan yang menyelimuti sekelilingnya. Tapi tidak bisa. Dia justru mendengar suara jeritan burung yang melengking tajam. Aneh sekali seekor burung melengking pada malam hari.

Dia berhenti, diam mematung. Dia tak bisa melihat apa pun di kaki bukit. Namun di belakangnya, siluet rumah Memsahib yang besar—besar dan megah—dapat terlihat. Dia menoleh ke belakang, mengamati dengan marah. Diliputi kemarahan, dia tiba-tiba berpikir dirinya sudah semakin tua.

“Kau. Kau. Aku sudah bersamamu sangat lama. Dan kau menistakan diriku serendah ini!” Njoroge ingin berteriak ke rumah itu, menumpahkan kemarahannya dan banyak hal lain yang telah lama membebani hatinya. Rumah itu tetap bergeming. Dia merasa telah berbuat konyol, dan melanjutkan jalannya.

Kembali terdengar lengkingan burung. Dua kali!

Peringatan untuk perempuan itu, pikir Njoroge. Dan sekali lagi seluruh jiwanya bangkit oleh amarah, kemarahan terhadap orang-orang berkulit putih, para pendatang yang telah menyingkirkan putra-putra pribumi dari tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Bukankah Tuhan telah menjanjikan seluruh tanah ini kepada Gekoyo dan anak turunnya, selama-lamanya? Sekarang tanah itu telah dirampas.

Njoroge mengenang ayahnya, seperti kebiasaannya ketika sedang kerasukan amarah dan kebencian. Ayahnya mati sewaktu berjuang membangun kembali tempat-tempat keramat yang hancur. Peristiwanya terjadi pada waktu Pembantaian Nairobi 1923 yang terkenal itu, ketika polisi menembaki orang-orang yang melakukan demonstrasi damai menuntut hak mereka. Ayahnya termasuk korban yang meninggal. Sejak saat itu Njoroge berjuang mengais-ngais nafkah, mencari pekerjaan di sejumlah peternakan orang Eropa. Dia telah bekerja pada beberapa majikan dengan sifat beragam—ada yang kejam, ada yang ramah, tetapi semuanya umumnya menindas, memberi sekadar upah yang menurut mereka memang pantas diterimanya. Kemudian dia bekerja pada keluarga Hill. Sungguh suatu kebetulan yang aneh dia bisa bekerja di sini. Sebagian besar tanah yang dikuasai Nyonya Hill merupakan tanah yang ditunjukkan oleh ayahnya sebagai milik keluarganya. Mereka mendapati tanah itu telah diduduki ketika ayahnya dan beberapa anggota keluarga yang lain menyingkir ke Muranga demi menghindari bencana kelaparan. Dan ketika kembali ke sana, ternyata tanah itu telah diserobot.

“Kau lihat pohon ara itu? Ingat, tanah ini milikmu. Bersabarlah. Awasi orang-orang Eropa itu. Mereka kelak akan pergi dan saat itu kau bisa mengklaim tanah ini.”

Waktu itu Njoroge masih kecil. Setelah ayahnya meninggal, Njoroge lupa pada pesan ini. Namun ketika secara kebetulan datang ke sini dan melihat pohon ara itu, dia langsung mengingatnya. Dia langsung mengenalinya – mengenalinya tak ubahnya telapak tangannya sendiri. Dia tahu batas-batas tanah ini.

Njoroge tak pernah menyukai Nyonya Hill. Dia selalu benci pada kesombongan perempuan itu yang berpikir dirinya telah banyak membantu para pekerja. Dia pernah bekerja pada orang-orang yang sikapnya sekejam Nyonya Smiles dan Nyonya Hardy. Dan dia tahu harus bersikap bagaimana saat menghadapi majikan semacam itu. Tetapi dengan Nyonya Hill! Liberalisme perempuan itu nyaris melenakannya. Njoroge benci pada para pendatang. Terutama dia benci sikap yang dia anggap sebagai kemunafikan dan kesombongan. Dia tahu bahwa Nyonya Hill bukanlah perkecualian. Perempuan itu tak ada bedanya dengan orang Eropa lainnya, hanya saja dia suka berlagak mengayomi. Berbekal keyakinan inilah Nyonya Hill menganggap dirinya lebih mulia dari yang lain. Tetapi justru lebih buruk. Kau jadi ragu harus bersikap bagaimana sewaktu menghadapi perempuan seperti itu.

Sekonyong-konyong Njoroge berteriak, “Aku benci mereka! Aku benci mereka!” Kemudian dirinya dilanda sukacita jahat. Bagaimanapun, malam ini Nyonya Hill akan mati—menebus kesombongan liberalismenya, paternalismenya, dan membayar dosa-dosa kaum pendatang. Dengan begitu akan berkurang satu pendatang lagi.

Dia tiba di kamarnya. Asap tak terlihat lagi dari kamar-kamar milik pekerja lain. Bahkan kebanyakan lenteranya sudah padam. Barangkali beberapa sudah tidur atau pergi ke Tanah Suaka untuk minum bir. Dia menyalakan lentera lalu duduk di atas tempat tidur. Kamar itu sangat sempit. Ketika duduk di tempat tidur, seseorang akan bisa menjangkau keempat sudut ruangan dengan merentangkan tangannya lebar-lebar. Namun di sinilah, di kamar ini, dia bersama kedua istri dan beberapa anaknya harus tinggal berdesak-desakan selama lebih dari lima tahun. Begitu sempit! Namun Nyonya Hill pikir telah melakukan pertolongan besar sebatas membangun pondok-pondok ini dengan bata.

Mzuri, sana, eh?” perempuan itu sering bertanya begitu, “Sangat bagus, ‘kan?” Dan setiap kali kedatangan tamu, dia akan membawa mereka ke tepi bukit sembari menunjuk pondok-pondok pekerja ini.

Lagi-lagi Njoroge menyeringai jahat memikirkan bagaimana Nyonya Hill akan menebus untuk seluruh sanjungan atas kemuliaannya sendiri. Dia juga sadar dirinya memiliki motif pribadi. Dia harus membalas kematian ayahnya dan berjuang merebut tanah keluarganya yang telah dirampas. Dia sudah mempersiapkan tindakan berjaga-jaga dengan mengirim kedua istri beserta anak-anaknya ke Tanah Suaka. Mereka mungkin akan menjadi hambatan dan bagaimanapun juga dia tak ingin menjerumuskan keluarganya dalam masalah seandainya dia terpaksa melarikan diri setelah melakukan penyerangan ini.

Anggota Ihii (Pejuang Kebebasan) yang lain akan datang sewaktu-waktu. Dia akan memimpin mereka ke rumah. Pengkhianat, memang! Tapi ini perlu dilakukan. | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Lengkingan burung malam, kali ini lebih nyaring dari sebelumnya, terdengar olehnya. Suatu pertanda buruk. Itu selalu meramalkan kematian, kematian bagi Nyonya Hill. Dia memikirkan perempuan itu. Mengingatnya. Dia telah mengabdi kepada Memsahib dan Bwana selama lebih dari sepuluh tahun. Dia tahu Nyonya mencintai suaminya. Dia yakin akan hal ini. Nyonya Hill nyaris mati sedih setelah mengetahui kematian suaminya. Pada saat itu, keangkuhan khas pendatang dalam dirinya seakan lenyap. Pada momen-momen rapuh itu, Njoroge bisa mengasihaninya. Kemudian anak-anak Nyonya Hill! Dia mengenal mereka. Dia menyaksikan mereka tumbuh besar seperti anak-anak yang lain. Tak ubahnya anak-anaknya sendiri. Mereka menyayangi orangtuanya, dan Nyonya Hill selalu bersikap lembut dan penuh kasih kepada mereka. Dia memikirkan anak-anak itu di Inggris, entah di mana itu, tanpa ayah ibu.

Kemudian sekonyong-konyong Njoroge menyadari bahwa dia tak mampu melakukannya. Entah bagaimana caranya, tetapi tiba-tiba sosok Nyonya Hill menjelma menjadi seorang perempuan, seorang istri, sama seperti Njeri atau Wambui, dan terutama, seorang ibu. Dia tak sanggup membunuh seorang perempuan. Dia tak sanggup membunuh seorang ibu. Dia membenci dirinya sendiri karena perubahan pandangan ini. Dia merasa gelisah. Dia berusaha keras menempatkan dirinya dalam kondisi yang lain, dirinya yang sebelumnya, yang memandang Nyonya Hill sebatas sebagai seorang pendatang. Dengan menganggapnya sebagai seorang pendatang, tindakan itu akan mudah dilakukannya. Karena Njoroge benci terhadap pendatang dan semua orang Eropa. Andai dia bisa melihat perempuan itu seperti ini (hanya sebagai salah satu pendatang kulit putih) maka dia akan mampu melakukan tindakan itu. Tanpa ragu-ragu. Namun dia gagal memulihkan dirinya yang dulu. Setidaknya untuk malam ini. Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya untuk memandang Nyonya Hill seperti ini. Sampai hari ini. Meski dia tahu Nyonya Hill tetap perempuan yang sama, baik sekarang maupun seterusnya—seorang perempuan angkuh yang berlagak mengayomi. Saat itulah dia menyadari jiwanya telah terbelah dan mungkin keterbelahan ini akan ajek untuk selamanya. Sekarang mustahil baginya untuk mengenyahkan begitu saja hubungan yang telah terjalin selama sepuluh tahun ini, meskipun itu masa-masa penuh penderitaan dan tekanan batin untuknya. Dia berdoa dan berharap ketidakadilan ini tak pernah ada. Dengan begitu tak akan ada kesenjangan ini, jurang pemisah antara hitam dan putih. Maka dia tak akan pernah ditempatkan dalam dilema menyakitkan ini.

Sekarang apa yang harus dia lakukan? Akankah dia mengkhianati ‘Pejuang’? Dia duduk di sana, bimbang, kebingungan memutuskan tindakan. Andai saja dia tak memikirkan Nyonya Hill secara manusiawi! Dia benci pada pendatang, itu sudah jelas. Namun membunuh seorang ibu dua anak tampaknya adalah tugas yang terlalu menyiksa batinnya.

Njoroge keluar. | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Kegelapan masih menyelimuti dan dia tak bisa melihat apa pun dengan jelas. Bintang-bintang di langit seakan tampak cemas menunggu keputusan Njoroge. Kemudian, seolah tatapan dingin bintang-bintang itu mendorongnya, dia mulai melangkah menuju rumah Nyonya Hill. Dia telah memutuskan untuk menyelamatkan perempuan itu. Setelah itu mungkin dia akan kabur ke hutan. Di sana, dia akan berjuang dengan nurani lebih bebas. Itu tampaknya rencana yang bagus. Sekaligus sebagai tindakan penebusan atas pengkhianatannya terhadap ‘Pejuang’ yang lain.

Jangan buang-buang waktu lagi. Sekarang sudah larut dan para ‘Pejuang’ bisa sewaktu-waktu datang. Maka Njoroge berlari dengan satu tujuan, menyelamatkan perempuan itu. Di tengah jalan dia mendengar suara langkah kaki. Dia melangkah ke semak-semak dan bersembunyi di sana. Dia yakin itu adalah suara langkah para ‘Pejuang.’ Dia menunggu dengan napas tertahan sampai suara langkah itu tak terdengar lagi. Sekali lagi dia membenci dirinya yang telah berkhianat. Namun mengapa dia enggan menuruti suara hatinya yang lain ini? Dia kembali berlari setelah suara langkah itu tak terdengar lagi. Dia harus bergegas karena apabila para ‘Pejuang’ mengetahui pengkhianatannya, dia pasti akan menemui ajal. Namun dia tak menggubris pikiran ini. Dia hanya ingin menyelesaikan tugas lain ini terlebih dulu.

Akhirnya, dengan terengah-engah dan banjir keringat, dia sampai di rumah Nyonya Hill dan mengetuk pintu sembari berseru, “Memsahib! Memsahib!”

Nyonya Hill belum tidur. Dia sedang duduk, beribu pikiran melintas di benaknya. Sejak percakapan siang tadi dengan tamu-tamunya, perasaannya semakin gelisah. Setelah Njoroge pergi dan dia ditinggalkan sendirian, dia menuju ke brankas dan mengambil pistolnya, yang sekarang sedang ditimang-timang. Lebih baik waspada. Malang sekali suaminya telah tiada. Kalau tidak, suaminya akan terus menemaninya.

Nyonya Hill berulang kali mendesah sewaktu mengenang kembali masa-masanya sebagai golongan perintis. Dia dan suaminya telah menjinakkan belantara negeri ini dan mengolah besar-besaran lahan-lahan kosong. Orang-orang seperti Njoroge kini hidup tenteram tanpa perlu mengkhawatirkan pecahnya perang antarsuku. Mereka seharusnya berterima kasih kepada bangsa Eropa.

Memang dia berbeda dengan para politisi yang datang untuk menggerogoti bangsa pribumi yang sebenarnya patuh dan ulet, terutama jika diperlakukan dengan baik. Dia tidak suka pembunuhan keluarga Garstone ini. Tidak! Dia tidak menyukainya. Dan ketika menyadari bahwa dirinya benar-benar tinggal seorang diri, dia berpikir mungkin lebih baik pergi sementara waktu ke Nairobi atau Kinangop dan tinggal bersama teman-temannya. Tapi bagaimana dengan ‘bujang-bujangnya’? Menelantarkan mereka di sini? Dia bertanya-tanya. Dia memikirkan Njoroge. Laki-laki yang aneh. Apakah Njoroge punya banyak istri? Apakah anggota keluarganya banyak? Dia terkejut mendapati bahwa dirinya telah bersama Njoroge sekian lama tetapi tidak pernah memikirkan hal-hal semacam ini. Pikiran ini agak mengejutkannya. Ini pertama kalinya dia memikirkan Njoroge sebagai seorang laki-laki yang memiliki keluarga. Selama ini dia selalu menganggapnya sebatas sebagai seorang pelayan. Bahkan sekarang pun rasanya agak konyol memikirkan pelayannya sebagai sesosok ayah yang memiliki keluarga. Dia mendesah. Ini adalah kelalaian, sesuatu yang harus dibenahi ke depannya.

Dan pada saat itulah dia mendengar bunyi ketukan di pintu depan diiringi suara panggilan, “Memsahib! Memsahib!”

Itu suara Njoroge. Pelayannya. Keringat mengucur di wajahnya. Dia bahkan tak mendengar apa yang dikatakan pelayannya karena ingatan akan detail-detail pembunuhan keluarga Garstone seketika menguasai pikirannya. Inilah akhir hidupnya. Ujung perjalanan hidupnya. Jadi Njoroge-lah yang menuntun gerombolan itu ke sini! Dia gemetar dan merasa lemah.

Namun tiba-tiba kekuatannya pulih. Dia sadar dirinya sendirian. Dia tahu mereka akan mendobrak masuk. Tidak! Dia bertekad mati dengan gagah berani. Dia genggam pistol itu kuat-kuat, membuka pintu dan langsung menembak. Kemudian rasa mual melandanya. Dia telah membunuh orang untuk pertama kalinya. Dia merasa lemah dan ambruk sembari menangis, “Ayo, datanglah dan bunuh aku!” Dia tak tahu bahwa dia sebenarnya telah membunuh penyelamatnya. | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Besoknya, berita itu muncul di koran. Seorang perempuan mampu melawan lima puluh orang penyerang adalah keberanian yang tak terduga. Ditambah lagi dia telah membunuh satu orang!

Nyonya Smiles dan Nyonya Hardy sangat berlebihan dalam menyampaikan selamat.

“Kan sudah kubilang, mereka semua jahat.”

“Mereka semua jahat,” Nyonya Hardy menyepakati. Nyonya Hill tetap diam. Seluk-beluk kematian Njoroge membuatnya khawatir. Semakin dipikirkan justru semakin membingungkan baginya. Dia menerawang ke depan. Kemudian mendesah penuh teka-teki.

“Entahlah,” katanya. | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

“Entahlah?” tanya Nyonya Hardy.

“Ya. Memang begitu. Sulit diduga,” ujar Nyonya Smiles penuh kemenangan. “Mereka semua patut dicambuk.”

“Mereka semua patut dicambuk,” Nyonya Hardy menyepakati. (*)

—-

[1] Toko.

[2]Memsahib merupakan panggilan kehormatan untuk perempuan kulit putih (nyonya); Bwana merupakan panggilan kehormatan untuk laki-laki kulit putih (tuan atau majikan); Ndio merupakan ungkapan untuk menyatakan kehadiran dan kesiapan diri seorang bawahan atau pelayan ketika dipanggil majikannya. ‘Ndio, Bwana’ kurang lebih artinya adalah ‘Hamba, Tuan.’

[3] Sajikan teh.

*** | Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o

Tentang Ngugi Wa Thiong’o |

Penulis kelahiran Kenya, 5 Januari 1938, ini menulis cerita pendek, novel, naskah drama, dan esai. Karya-karyanya banyak mengulas tentang kehancuran kehidupan bangsa pribumi akibat masuknya pengaruh kolonialisme. Novel pertamanya, Weep Not Child (1964), merupakan novel pertama karya penulis dari kawasan Afrika Timur yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Awalnya menulis dalam bahasa Inggris dengan memakai nama baptisnya, James Ngugi, mulai tahun 1970 dia mengganti nama menjadi Ngugi Wa Thiong’o dan menulis karya-karya selanjutnya dalam bahasa suku asalnya, Gikuyu, yang kemudian sebagian besar diterjemahkan sendiri ke bahasa Inggris.


Ilustrasi dari wikiart | African Tale.

Komentar Anda?