Menu
Menu

Membanggakan identitas secara berlebihan, sayang sekali, malah bikin orang lain mencibir.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Buku kumpulan cerpennya “Telinga” (2011) dan “Perjalanan Mencari Ayam” (2018).


Percakapan tentang orang-orang yang pindah agama sepertinya tidak akan mudah selesai.

Beberapa waktu lalu, beberapa selebriti memutuskan memeluk keyakinan yang lain. ‘Isu hijrah’ itu terus saja digoreng-goreng. Gosong tidak, medium rare tidak, matangnya tepat juga tidak. Pokoknya digoreng saja terus.

Pada proses goreng-menggoreng itu, yaitu ketika identitas seseorang di KTP berganti, ada dua kelompok yang biasanya muncul. Kelompok yang ditinggalkan dan kelompok yang dituju.

Kelompok yang ditinggalkan, umumnya: 1) menuduh orang-orang yang hijrah sedang berusaha jadi trending topic—tuduhan paling remeh yang dapat munculpada kesempatan pertama; 2) menuduh perkara jodoh sebagai penyebab hijrah (karena sepertinya banyak yang begitu); 3) berharap agar para penyeberang itu segera menyadari kekeliruannya—harapan paling narsis yang dapat muncul dari hati yang paling ingat diri. Begitulah.

Kelompok yang dituju? Umumnya akan dengan senang hati (tetapi agar tidak terkesan terlampau gembira terutama jika yang datang adalah orang terkenal) menyampaikan bahwa hal tersebut adalah sebenar-benarnya tanda bahwa pencarian seseorang akan kebenaran duniawi dan kebahagiaan surgawi telah tercapai.

Mereka merasa orang yang pindah agama itu telah mendapat petunjuk dan bimbingan Tuhan.

Konsep itu terdengar anggun sekali dan seolah tanpa cacat cela, sampai kita sadar bahwa kalimat agung itu telah mengecilkan kelompok yang ditinggalkan. Jadi, dia pigi ke sana karna di sini kurang baik? Demikian kira-kira pertanyaan dalam hati masing-masing mendengar atau membaca reaksi standar kelompok yang dituju itu.

Berikutnya, keluarlah narasi banding-membandingkan di jagat raya media maya tentang agama atau identitas siapakah yang paling baik. Ujaran kebencian muncul; pernyataan membanggakan identitas sendiri secara berlebihan, dan pikiran-perkataan-perbuatan lain yang, sayang sekali, malah bikin orang lain mencibir.

“Eh, katanya agama situ paling bener. Kok mulut pemeluknya bau comberan ya?” Dijawab dengan: “Biar to. Daripada kamu punya mulut? Bau got!”

Hisssh… Itu kan sama saja, Kakak. Sama-sama bau. Lalu mereka berkelahi, Pak. Seperti jagoan di lagu ciptaan Iwan Fals yang bikin Bapak Umar Bakrie kaget bukan kepalang—itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, Bakrie kentut, cepat pulang.

Namun, begitulah yang selalu muncul. Kita sewot setengah mati kalau dihina dan senang minta ampun kalau berhasil menghina identitas orang lain. Pada saat yang sama, dalam situasi adem-ayem, ketika tak ada yang hijrah atau simbol identitas tertentu sedang dihinakan, kita asyik-asyik saja. Dan lupa siapa kita.

Saya misalnya. Boleh jadi tidak terlalu sering ke Gereja setiap hari Minggu atau tidak ikut sembahyang Rosario di Kelompok Basis Gerejani, tetapi begitu ada yang mengganggu identitas saya, bisa dimulai dari seseorang meninggalkan Katolik lalu berujung ke percakapan tak sehat seperti di atas tadi, saya akan serentak bangkit berdiri. Bela agama! Mammamia e.

Situasi Lain yang Mirip

Reaksi yang seperti itu, yakni soal kita tersinggung perkara identitas tadi lantas terjun ke perkelahian bebas, rasanya mirip dengan situasi lain. Seperti apa? Seperti orang-orang yang punya pacar tetapi jarang beri perhatian, lalu meradang-menerjang-garang ketika seseorang memberi perhatian lebih pada kekasihnya itu.

Hah? Analogi macam apa ini? Hmmm… mungkin tidak terlalu tepat tetapi rasanya begitu.

Maksud saya soal keterkejutannya. Kita (atau kamu saja?) selalu terkejut setelah sadar bahwa reaksi spontan atas sesuatu justru ibarat menepuk air di dulang, basah kuyup badan sendiri. Itu dulangnya kenapa menampung air banyak sekali? Ooops.

Misalnya yang tadi itu. Yang mau bikin narasi bahwa agamanya adalah yang paling baik tetapi justru memasukkan air comberan dan got ke dalam mulut ketika melakukannya. Narasi bau itu lalu dia muntahkan ke media sosial atau apa saja dan baunya bertambah tujuh kali tujuh puluh kali menyengatnya. Menjauhkan kita dari apa yang sedang ingin diperjuangkan.

Contoh lain adalah ketika ada sekelompok orang mengklaim produk budaya kita sebagai milik mereka. Malaysia pernah melakukannya pada lagu Rasa Sayang-e, batik, angklung, juga yang lainnya, dan rakyat di negeri jales veva jaya mahe ini marah-marah padahal mereka sendiri tidak tahu apa-apa perihal angklung. Tidak juga berminat mengenalnya dengan baik.

Kami di NTT juga begitu. Beberapa waktu lalu, motif tenunan Sumba diklaim jadi motif tenunan Jepara. Muncul petisi di Change.org agar klaim tenun Sumba sebagai milik masyarakat Trojo Jepara tidak boleh didiamkan.

Memang harusnya begitu. Tidak boleh didiamkan. Dan, diamnya tidak boleh terlalu lama. Kan su lama ada peluang untuk daftar dan dapat Sertifikat Indikasi Geografis to? Kenapa baru bergerak setelah orang lain gesit membuat pengakuan?

Ini juga analogi yang aneh. Sama aneh dan jelek rupanya dengan soal sikap kekasih terabaikan tadi.

Tapi yang paling jelek adalah mereka yang gemar mengklaim: 1) kebenaran sebagai milik kelompok mereka sendiri dan menyampaikannya dengan cara mencaci maki orang lain, dan 2) pacar atau budaya orang lain adalah miliknya hanya karena pemilik yang sah jarang memberi perhatian.

Untunglah di luar dua kelompok besar bernama pro- dan kontra-, selalu ada kelompok yang berjuang terlihat bijak dan mengedepankan narasi soal toleransi. Yang terakhir ini biasanya menulis artikel yang berisi pertimbangan-pertimbangan (yang mereka pikir) matang, lalu menulis artikel seperti ini. Padahal dalam hati tetap saja senang jika dia ada di pihak yang dituju/mengklaim dan gusar jika dia di kelompok yang dikhianati, ditinggalkan/diabaikan.

Seperti saya ini. Yang kadang berharap bahwa seorang selebriti besar pindah ke kelompok saya. Kalau bisa, selebriti yang besar sekali. Tetapi apa ada yang mau?

Maksud saya, di luar alasan-alasan spiritual, apakah ada yang rela bergabung ke kelompok minoritas dan merasa bahwa semua akan baik-baik saja di dunia yang serba mainstream ini? (*)


Foto: Kaka Ited

Komentar Anda?