Menu
Menu

Perjalanan karya ini patut kamu rayakan. Terima kasih sudah bersabar menanti Coto Makassar di malam terakhir bersama formasi lengkap Emerging Writers MIWF 2019.


Oleh: Ilda Karwayu |

Tinggal di Mataram. Mengajar Bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI). Buku puisinya Eulogi (PBP, 2018). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Salah satu Emerging Writers di MIWF 2019.


Untuk kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Makassar, sepasang mata ini terpukau oleh sebuah gong raksasa di seberang kali dekat Benteng Fort Rotterdam. Tapi itu bukan inti dari perjalanan saya selama lima hari di sana. Terundang sebagai salah satu Emerging Writers Makassar International Writers Festival (MIWF) 2019 adalah alasan utama kehadiran saya di salah satu kota bersejarah ini.

Bersama empat penulis lainnya—Safar Banggai dari Banggai, Giovanni A. L Arum dari Kupang, Fadli Refualu dan Nurul Fitroh yang sama-sama berasal dari Makassar—saya mendulang pengalaman tak terlupakan.

Sebagai penulis, MIWF sudah seperti dermaga bagi para pegiat sastra dan literasi. Tentu ini bukan semata-mata sikap hiperbolis atas lokasi yang (kebetulan) di dekat dermaga-dermaga.

Dalam festival ini, berkumpullah para penulis buku, para penerbit buku, dan para pembaca buku. Ketiga lingkaran tersebut, bagi saya, adalah kumparan pembangkit semangat kesusastraan di Indonesia. Ketiga-tiganya bahu-membahu menjaga aliran distribusi buku agar tetap berputar. Penulis bertemu penerbit, buku lahir dan bertemu pembaca, pembaca merespons karya, penulis peraup “amunisi” sebagai bahan karya selanjutnya. Begitulah putarannya secara singkat.

Bagi sesama penulis, saling berkenalan dan mengomentari karya merupakan aktivitas menyenangkan! Saya, di samping aktivitas di atas, juga melakukan hal lain, yakni mencocokkan antara impresi dalam kepala dan kenyataan di depan mata.

Semisal, antara saya dan Mario F. Lawi. Sebelum berkenalan secara langsung, saya pernah memahat kesan pada sosoknya sebagai seorang sastrawan. Sosok laki-laki kelahiran Kupang pada 1991 ini terbentuk begitu dingin dan serius di kepala saya. Laki-laki brewok bersuara berat. Tentu saja pembentukan citra di atas didasari oleh pembacaan saya atas karya-karyanya: puisi-puisi “putih”.

Nyatanya, saat berkenalan secara langsung di booth Komite Buku Nasional, Mario F. Lawi hadir sebagai laki-laki brewok bersuara biasa saja—cenderung ceria, cukup ramah, dan lucu.

Lain lagi dengan impresi salah satu Alumni Emerging Writers MIWF 2017—yang tahun ini hadir sebagai salah satu pembicara, Maria Pankratia terhadap saya. Dipikirnya saya adalah perempuan pendiam dan iya-iya saja. Nyatanya? Tidak. Bahkan dari lima Emerging Writers MIWF 2019, justru sayalah yang paling ceweret dan gelisah jika lama duduk diam tanpa mengobrol.

Simpulannya, saya kaget dengan kekeliruan impresi terhadap Mario, dan Maria kaget terhadap saya. Aktivitas membanding-bandingkan karya dan penulisnya menjadi keasyikan tersendiri bagi saya. Sibuk memandangi para penulis sembari mengingat-ingat isi karya mereka membuat saya sering cekikikan sendiri atau mengangguk-angguk. Jangan tanyakan sebabnya. Saya tidak akan bagi tahu.

Selain aktivitas super-subjektif di atas, mendiskusikan progres berkarya pun menjadi aktivitas menyenangkan yang saya jalani. Duduk melingkar ditemani sosis bakar dan berbotol-botol air minum gratis, saya, bersama teman-teman Emerging Writers 2019 saling bercerita tentang proses kreatif masing-masing. Jika ada penulis yang sudah melahirkan banyak karya—dan kami membaca karyanya—cerita tentang progres berkarya darinya pun menjadi isi diskusi.

Salah satu penulis yang berdiskusi banyak dengan kami adalah Triskaidekaman. Ia banyak bercerita tentang proses kreatif hingga perjalanannya mengantar karya ke penerbit.

Bicara soal penerbit, kehadiran lebih dari 10 penerbit buku pada festival bertemakan “PEOPLE” ini pun menjadi jembatan emas antara para penulis yang sedang menyiapkan naskah dan para penerbit yang sedang mencari karya penulis-penulis baru. Jika tidak dipertemukan dalam forum istimewa seperti ini, akan ada banyak faktor yang mengaburkan jembatan antara keduanya. Semisal, kesibukan tim penerbit yang banyak menerima naskah sehingga perhatian harus dibagi tipis-tipis, terbatasnya akses informasi yang digali oleh penulis, dan faktor-faktor lainnya yang mungkin mempertebal kesenjangan antara penulis dan penerbit.

Menerbitkan buku tidak sekadar perkara satu bundel naskah dicetak lalu diberi cap oleh penerbit dan dijual ke pembaca. Bukan pula sekadar “nangkring” di label penerbit mayor, lantas meremehkan penerbit independen.

Memahami visi-misi penerbit, jenis karya apa yang menjadi sasaran mereka, lalu mencocokkannya dengan karya sendiri, adalah aktivitas yang bisa saya nikmati selama festival. Ditambah lagi, informasi baik ini pun bisa saya kemas dan bagikan kepada kawan-kawan penulis lain di Lombok. Sehingga, rantai informasi penerbitan di Indonesia Timur tidak putus di mereka yang terundang saja. Ada semacam tanggung jawab tak tertulis yang perlu dilakukan sepulang dari festival.

Membaca Penulis dan Pembaca

Pada festival inilah saya melihat beberapa penulis yang terlihat senang sekaligus kewalahan menandatangani buku mereka yang dibeli—atau dibawa—oleh pembacanya. Seperti Ibe S. Palogai yang baru saja menerbitkan buku puisi baru, “Struktur Cinta yang Pudar”; saat sedang asyik membincangkan hal-hal konyol bersama Mario, beberapa orang kerap datang minta bukunya ditandatangai oleh si penulis. Obrolan antara Ibe dan Mario jadi terpotong. Momen konyolnya pun ikut tersendat. Saya (sebagai penyimak) sedikit agak kesal karena merasa kehilangan hiburan gratis.

Pengalaman menandatangani buku secara intens tersebut pun dialami oleh Sabda Armandio, penulis novelet “Dekat dan Nyaring”. Ia sibuk tersenyum dan menandatangani buku sembari berusaha tetap terlibat obrolan dengan para penulis lain. Ia terlihat lebih menikmati ketimbang Ibe. Entah.

Pun saya melihat Lala Bohang di suatu sore. Ia seperti manisan di antara semut-semut. Ke mana manisan ditarik oleh tangan manusia (baca: editor), ke sana pula semut-semut mengekor. Lala terlihat lelah.

merayakan perjalanan karya

| Lala Bohang dan para pembacanya


Dari pengamatan spontan saya terhadap ketiga penulis di atas, saya membaca sikap para pembaca. Ada pembaca yang baru membeli buku di booth Gramedia dan langsung membuka segel plastik—lalu membuang plastiknya begitu saja, kemudian mendatangi si penulis. Setelah mendapat tanda tangan, mereka berfoto dan pembaca memasukkan buku ke dalam tas. Pergi.

Di lain kesempatan, ada pula yang mendatangi penulis sambil membuka tas. Dikeluarkannya beberapa buku karya penulis—karya lama dan karya baru. Disempatkan dirinya menjalin obrolan dengan si penulis sementara buku ditandatangai.

Keduanya mengungkapkan kekaguman kepada penulis dengan cara masing-masing. Menunjukkan eksistensi pembacaannya terhadap karya sastra dengan cara masing-masing. Menyikapi buku-buku yang dibelinya dengan cara masing-masing. Menatap penulis favoritnya dengan cara masing-masing. Tindak-tanduk pembaca yang  saya ceritakan di atas hanya dua dari sekian banyak orang yang selama lima hari wara-wiri di Fort Rotterdam—memburu tanda tangan penulis.

Pada akhirnya, saya menikmati MIWF 2019 dengan cara saya sendiri. Semua aktivitas penulis, pembaca, dan tim penerbit berlintasan di depan mata. Beberapa di antaranya ada yang saya ambil untuk dibawa pulang.

Dengan sedikit bersikap romantis kepada MIWF 2019, saya berterima kasih kepada diri sendiri; terima kasih atas kegigihanmu mengirim karya selama empat tahun berturut-turut. Perjalanan karya ini patut kamu rayakan. Terima kasih sudah bersabar menanti Coto Makassar di malam terakhir bersama formasi lengkap Emerging Writers 2019 dan beberapa Alumni—Wawan Kurniawan, Maria Pankratia, dan Ashari Ramadana. Terakhir, terima kasih sudah berani membuka diri kembali terhadap apa yang sebelumnya disudahi. Ia akan menemanimu penapaki tangga proses kreatif yang semakin menantang. Apa itu? Hanya tujuh orang pada dini hari terakhir yang tahu. Cheers! (*)

Komentar Anda?