Menu
Menu

Sastra bisa jadi memiliki pengaruh yang sangat mendalam terhadap jiwa manusia.


Oleh: Koko Hendri Lubis |

Tinggal di Medan. Menjalankan sebuah komunitas bernama Klub Komik dan Roman Medan. Hadir sebagai peserta dan pembicara di MIWF 2019. Bukunya yang berjudul “Roman Medan, Sebuah Kota Membangun Harapan” diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2018.


Apa yang terjadi jika penulis-penulis perempuan dikumpulkan dalam sebuah forum untuk saling membaca karya satu sama lain, kemudian mempresentasikan hasil pembacaannya?

Di perhelatan Makassar International Writers Festival ke-IX yang diadakan Juni kemarin, Period Workshop bekerja sama dengan MIWF 2019, didukung oleh bacapetra.co mengadakan Period Reading Circle; Sisterhood in Literature.

Period Workshop sendiri adalah sebuah program kelas menulis dan diskusi yang digagas dan dijalankan oleh Intan Paramadhita dan Lily Yulianti Farid.

Period Reading Circle yang dilaksanakan di Chapel Fort Rotterdam Makassar pada Jumat, 28 Juni 2019 adalah forum pembacaan karya-karya yang direkomendasikan oleh Period Workshop.

Forum ini memungkinkan para penulis perempuan untuk saling membaca karya satu sama lain, melibatkan 8 penulis perempuan, yaitu: Maria Pankratia (Alumni Period Workshop) yang membaca karya Dhianita Kusuma Pertiwi. Shinta Febriany yang membaca karya Henny Triskadeikaman. Avianti Armand yang membaca karya Shinta Febriany. Intan Paramadhita yang membaca karya Lily Yulianti Farid.

Selanjutnya ada Lily Yulianti Farid yang membaca karya Reda Gaudiamo. Dhianita Kusuma Pertiwi (Ruang Perempuan dan Tulisan) yang membaca karya Maria Pankratia. Henny Triskadeikaman yang membaca karya Intan Paramadhita. Dan Reda Gaudiamo yang membaca karya Avianti Armand. Bertindak sebagai moderator, ada Dewi Noviami (Komite Buku Nasional).

Menurut Dewi Noviami, acara kali ini selain memberikan kesempatan bagi para penulis perempuan berpartisipasi untuk membaca karya penulis perempuan lainnya, juga sekaligus pemetaan terhadap perkembangan sastra di Tanah Air.

Dijelaskan Lily Yulianti Farid, salah seorang pengagas PERIOD, wadah ini didirikan sejak lima tahun lalu di Australia. Ia bersama Intan Paramaditha—novelis yang juga bermukim di Australia, gelisah melihat carut marut perkembangan sosial, dan politik di Indonesia. Menjawab kegelisahan itu, mereka punya gagasan untuk berkontribusi terhadap dunia sastra. Sastra dipilih sebagai ladang untuk menciptakan karya.

Tujuannya, sastra menjadi jembatan yang mengusung keberagaman. Diharapkan ke depannya akan lahir karya-karya penulis perempuan yang memperjuangkan hak, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Menurut Intan, sambil menciptakan karya, diskusi sesama penulis perempuan dirancang untuk menajamkan wacana. Lebih jauh Intan menjelaskan, dengan adanya pembacaan terhadap karya para penulis perempuan di Indonesia, akan menciptakan akses terhadap suatu lokakarya.

Intan kembali menuturkan, tahun lalu, mereka telah mengadakan kelas kritik sastra, dan film. Semua hasilnya, telah didiskusikan kepada Melani Budianta. Ia setuju supaya kritik terhadap karya sastra sebaiknya diadakan terus menerus. Tetapi, hendaknya jangan “bersifat kejam”. Masih kata Intan, kritik sastra bertujuan untuk melihat hal-hal yang esensial, dan bermakna. Pembaca buku harus tahu, bahwa kritik itu perspektifnya dibentuk dari apa yang telah kita baca.

Tampil sebagai pembicara pertama, Lily membicarakan cerpen Reda Gaudiamo, Anak Ibu. Reda yang populer dengan buku yang ditulis bersama Soca Sobhita dan Cecilia Hidayat, Aku, Meps, dan Beps (POST Press, 2018), juga cerita Nawilla : Serial Catatan Kemarin, sangat menarik tatkala menyemaikan kisah antara anak dengan ibu.

Tokoh utamanya selalu bermasalah dengan ekspektasi ibunya. Romantikanya, hubungan ibu dan anaknya tak selalu berjalan manis. Dalam keseharian, tokoh perempuan memang sering mendapatkan tekanan. Keadaan ini membuat efek yang tidak menyenangkan dalam lingkungan keluarga. Sang Ibu jika tidak mendapatkan apa yang dicapainya, biasanya akan melekatkan obsesi purba pada anaknya. Misalnya, ketika ia gagal menjadi penari balet. Maka, anaknya akan dipoles dan dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi seorang pebalet.

Melihat dinamika satu keluarga kelas menengah, selalu muncul pertanyaan yang dijadikan ukuran eksistensi diri, seperti : anaknya rangking berapa? Pun, mereka akan bangga, jika sang anak masuk ke kelas yang jurusannya IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Sudah barang tentu ini merupakan penilaian perseorangan.

Namun, pola pikir demikian sudah berakar. Situasi ini tak pelak membuat sosok ibu di mata anaknya menjadi semacam “diktator”. Tidak akan ada pertanyaan yang selesai di tengah masyarakat. Meskipun demikian, bukan Reda namanya jika ia tak mampu memecahkan beragam masalah dalam karyanya. Kesimpulan akhir menurut Lily, cerita yang dibuat Reda berhasil, dan efektif.

Kemudian, buku kumpulan puisi karya Avianti Armand, yang judulnya Museum Masa Kecil (Gramedia Pustaka Utama, 2018), dibahas oleh Reda Gaudiamo. Berangkat dari kekagumannya akan sesuatu yang megah, klasik, Reda menfasirkan, isi buku ini indah—sangat mempermainkan perasaannya. Reda membacakan puisi Meja Perjamuan Panjang secara perlahan-lahan. Menurut Reda, puisi ini telah membuka cakarawala cintanya terhadap dunia petualangan. Ia seakan-akan terbawa kisah Ivanhoe, Robin Hood, dan Peter Pan.

Novel Henny Triskaidekaman, yang berjudul Buku Panduan Matematika Terapan (Gramedia Pustaka Utama, 2018), dibahas oleh Shinta Febriany.

Menurut Shinta, membaca novel ini, kita akan terbawa arus, dan terus berusaha menebak-nebak tujuan akhir penulisnya. Shinta mengakui, konstruksi novel memang abstrak dengan segudang elemen matematika.

Layaknya satu teka-teki yang menggetarkan. Sudut pandang penceritaan mengalir lewat tokoh Mantisa dan Prima, yang sekiranya diciptakan melalui proses yang cukup matang oleh penulis. Menyerupai sesuatu yang hidup— berjiwa. Makanya, novel ini harus terus dibaca, dan diselesaikan sampai tuntas. Inti dari keseluruhan novel, yakni bukan soal matematika itu semata. Akan tetapi, melihat segenap esensi dari kehidupan itu sendiri.

Dhianita Kusuma Pertiwi, menulis kumpulan naskah drama yang judulnya Pasar Malam untuk Brojo (Pelangi Sastra, 2016) dan dibahas oleh Maria Pankratia.

Maria menyukai kerapian Dhianita menuliskan naskah drama tersebut, sederhana dan tidak berusaha menghadirkan konflik dengan terburu-buru. Tokoh sentralnya adalah Brojo. Ibunya seorang aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang hilang ketika terjadi prahara ’65. Ayah Brojo yang kalut akibat kehilangan istrinya, mendadak lebih curiga pada siapapun. Termasuk kepada Simon, tetangganya yang adalah seorang tentara.

Ayah Brojo adalah sosok pria perasa dan mudah terharu, ia menjadi bingung ketika harus menjelaskan situasi ini kepada Brojo. Saat ayah Brojo mencoba membujuknya untuk mencari hiburan di pasar malam, Brojo menolaknya. Brojo lebih memilih menunggu ibunya pulang dan ke pasar malam bersama-sama. Pada akhirnya, setelah sekian lama menghilang, ibu Brojo pulang ke rumah.

Namun, pada bagian Brojo bertemu dengan ibunya kembali, Dhianita samasekali tidak menghadirkan adegan tersebut di dalam naskah dramanya. Maria berpendapat, pada beberapa bagian Dhianita sebagai penulis sepertinya mengintervensi tindakan yang dilakukan tokoh di dalam cerita. Dhianita juga cenderung menggunakan teknik telling (semacam monolog) daripada showing. Fungsi narator diambil alih oleh karakter.

Kumpulan cerita pendek Maria Pankratia dibahas oleh Dhianita. Jumlahnya sebanyak 10 cerpen, ditulis sejak tahun 2016 sampai 2018. Menurut Dhianita, di beberapa cerpen Maria, relasi kuasa antara anak dengan orang dewasa tidak berimbang. Hal ini nampak dalam cerita pendek Ketika Bapak Hilang lewat tokohnya Lukas — yang selalu menganalisa lingkungannya secara kritis. Cerpen berjudul Tanta Marsi menampilkan keberanian menembus batas ruang, dan waktu.

Di dalam cerpen Rok untuk Lanny dan Celana Dalam, ada upaya Maria untuk menentang moralitas, dan tradisi lama. Tokoh LGBT terekam dalam konstruksi moralitas-gender. Persisnya, ada impulse buat melawan kemapanan. Di beberapa cerita pendeknya, Maria juga menyertakan unsur lokal yang kuat (khas dengan latar NusaTenggara Timur).

Kumpulan Cerita pendek Lily, Ayahmu Bulan, Engkau Matahari (Gramedia Pustaka Utama, 2012) dibahas oleh Intan. Buku yang memuat 17 cerita pendek ini, ditulis dalam rentang waktu 2004-2009.

Kali ini Intan memakai kata kunci “Kelokan”, “Pengelana” dan “Perjalanan”.

Kumpulan cerita pendek Lily dipenuhi kelokan. Ini terlihat dari keputusan yang diambil tokohnya. Struktur dalam narasi hidup. Cerita pendek berjudul Kecap berlatar kerusuhan ‘98. Alkisah, Nayu, seorang perempuan biasa, dicitrakan punya solidaritas tinggi kepada orang Tionghoa. Babah Liong menghadiahinya kecap karena telah membantu menjaga keluarganya dari ancaman perusuh.

Setelah dewasa dan berumah tangga, Nayu kemudian diceraikan suaminya karena tak kunjung punya keturunan. Ia menjadi seorang perempuan yang mandiri, dan punya harga diri. Itulah risiko dalam hidup. Lantas mau ke mana kita?

Dunia memang tampak rumit bagi kebanyakan orang. Sayangnya, sebagai insan, kita tak akan pernah tahu banyak tentang apa yang akan terjadi pada masa depan. Bagaimanakah perjalanan hidup selanjutnya? Kejadian apa yang paling kita benci dan takuti? Rentetan kejadian dan jawaban atas peristiwa ini ternyata lebih mencengangkan dibanding fantasi kita, dan begitu seterusnya.

Pelukisan watak pengelana, tampak dalam cerita pendek Jois dan Sang Malaikat.

Tokoh Aku merasa sejak kecilnya sebatang kara. Oleh sebab itu, ia merasa dekat dengan pengasuhnya, Jois, ketimbang dengan orang tuanya sendiri. Pada usia 25 tahun, Aku ingin menjelajahi Eropa. Sedangkan Jois yang renta, sedang berjuang melawan penyakit bronchitis dan stroke. Pengembaraannya ke Eropa ternyata memperjelas “keterasingannya”. Imaji yang ada di dalam pikirannya, tak sesuai dengan kenyataan. Aku memang lebih membutuhkan Jois sebagai tempat mengadu dan jalan keluar dari semua masalah hidupnya.

Cerita pendek Ruang Keluarga menggambarkan, bahwa rumah bukan tempat yang nyaman dan utuh. Dulu ada pendapat dari kritikus sastra, Jakob Sumardjo, bahwa penulis perempuan di Indonesia sibuk sekali dengan isu-isu domestik. Dengan demikian, tidak bisa bicara isu politik. Dengan hadirnya cerita pendek ini, Lily mencoba menggugat pendapat Jakob tersebut.

Mari kita tinjau cerita pendek Ruang Keluarga. Si Aku, bertugas menjemput bapaknya yang telah ke luar dari penjara, dan membawanya pulang ke rumah. Menurut suaminya, mertuanya dulu terkena sial, dan kena “mangsa” permainan politik tingkat tinggi, hingga diharuskan meringkuk di dalam tahanan. Sampai di rumah, aku terus mengikuti gerak-gerik suaminya, kakaknya, bapaknya, ibunya, dan anggota keluarga lainnya dengan pandangan dingin.

Semua pembicaraan berlangsung secara membosankan. Jauh dari optimis. Cerita pendek ini berusaha membongkar “rumah” sebagai tempat “bersembunyi” yang aman. Kebenaran akan muncul ke permukaan, jika rumah sebagai tempat bernaung telah “runtuh”.

Setelah Intan selesai, Henny menyampaikan hasil pembacaannya terhadap novel Intan, Gentayangan, Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (Gramedia Pustaka Utama, 2017).

Henny mengakui gaya mengarang Intan lakonik, dan lugas. Tokohnya muncul dengan sikap gamang dalam pelbagai situasi. Bagi Henny, Intan berangkat dari pengamatannya sehari-hari. Kejadian yang menurut orang tidak penting, diolah menjadi satu kisah yang memikat. Maka dari itu, ikuti langkah sepatu merah yang akan membawamu bertualang ke New York, Tijuana, Haarlem, dan tempat lainnya. Henny menemukan ada sekitar 30 kemungkinan “jalan cerita” dari novel Gentayangan yang bisa ditemukan oleh pembacanya ketika memutuskan untuk membaca buku ini.

Tak hanya itu, Henny menjelaskan, kita akan bersua dengan kelompok masyarakat di Indonesia yang suka sekali bertengkar. Termasuk jika memperbincangkan satu definisi. Kebiasaan yang telah berlangsung lama, tak pernah dipertanyakan. Nah, perjalanan dengan sepatu merahlah yang akan mentransformasikan pemikiran dari segala arah. Mau berkembang, berubah— atau tidak, tergantung pilihan saja.

Di akhir pembahasan, Avianti Armand membahas buku kumpulan puisi Shinta berjudul Gambar Kesunyian di Jendela (Gramedia Pustaka Utama, 2017).

Menurut Avianti, manusia selalu dihadapkan pada dua situasi yang berlainan. Puisi-puisi Shinta, mengeksplorasi batin. Mengajak pembaca untuk berani bertualang. Tentang kebimbangan, obsesi, wajah-wajah asing, perasaan tersesat, orang-orang yang mengalami kehilangan, dan kehadiran rumah yang sesungguhnya. Rumah itu maknanya bukan sekadar tempat. Dalam pembacaan Avianti, puisi Shinta ditonjolkan secara visual.

Pembacaan terakhir oleh Avianti ini memperlihatkan unsur-unsur visual yang ada dalam buku puisi Shinta dengan tampilan slide di layar putih. Kita serasa memasuki sebuah ruang pertunjukan dengan atmosfer yang segar dan baru.

Demikian, sastra bisa jadi memiliki pengaruh yang sangat mendalam terhadap jiwa manusia. Semakin banyak perempuan yang menulis— apa lagi jika mutu karya mereka kian cemerlang, bukan tidak mungkin martabat kebudayaan kita akan semakin tinggi. (*)

Komentar Anda?