Menu
Menu

Melalui wesel pos, Ratih Kumala membantu pembaca memahami Jakarta; hanya orang-orang sakti yang mampu bertahan di kota itu.


Oleh: Margareth Febhy Irene |

Bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Menyukai traveling dan puisi.


Identitas Buku

Judul: Wesel Pos
Pengarang: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2018
Halaman: 100 halaman

***

Membaca 100 halaman secara serius dengan sajian bahasa yang ringan tentu saja bisa dilakukan dalam waktu yang tidak lebih dari sehari.

Saya menyelesaikannya, membaca novelet “Wesel Pos” karya Ratih Kumala ini, dalam waktu 2 jam 9 menit.

Di awal cerita, yang disajikan Ratih sebagai tokoh aku bukanlah tokoh ‘orang’ atau makluk hidup lainnya, melainkan benda. Sebuah wesel pos; hal menarik pertama. Ceritanya memang ringan, tetapi pada beberapa bagian, saya dikejutkan dengan kenyataan-kenyataan seperti: Ikbal, kakak Elisa yang ternyata sudah meninggal, lalu Fahri, teman sang kakak yang kemudian melanjutkan tugas Ikbal untuk mengirimkan uang bulanan kepada Elisa dan Ibunya melalui wesel pos.

Ada juga Memet, yang ketika malam, tiba-tiba berubah menjadi sosok perempuan dan mendendangkan lagu dari warung yang satu ke warung yang lain demi mendapatkan uang. Kemudian, kembali ke Fahri yang ternyata seorang kurir narkoba.

Apa pun itu, karya perempuan “sakti” ini mengantarkan fokus saya pada huru-hara Jakarta yang selalu memenuhi laman berita berbagai media dan atau memori tentang kemacetan Jakarta.

Saya baru sekali ke Jakarta. Ya, baru sekali dan langsung disambut kemacetan yang cukup parah, aktivitas kota yang tak pernah tidur, hingga orang-orangnya yang lebih memerlihatkan wajah cemas daripada menebarkan senyum. Semua itu sudah cukup membantu untuk mengambil keputusan agar liburan panjang ke Jakarta, harus segera dihapus dari daftar mimpi.

Itu liburan. Apalagi merantau. Hal ini menjadi gambaran, bahwa apa yang dikatakan Ratih pada novelnya memang benar. Harus jadi orang sakti untuk tinggal di Jakarta. Jika tidak, kau akan berhadapan dengan hukum rimba dan masuk ke dalam kategori “yang sakit.”

Tema yang tidak berat disertai alur maju pada cerita membantu saya sebagai pembaca untuk lebih mudah memahami isi cerita. Ya, karena sebenarnya membaca Wesel Pos hampir sama seperti menonton FTV yang saban hari tayang di televisi-televisi Indonesia.

Memahami Jakarta Melalui Wesel Pos

Elisa – perempuan muda yang datang jauh-jauh dari Purwodadi, salah satu kampung di Semarang – memberanikan dirinya ke Jakarta demi menemui kakaknya, Ikbal, keluarga satu-satunya setelah Ibunya meninggal. Bermodalkan wesel pos dan uang 150 ribu rupiah, Elisa nekat ke Jakarta dengan impian lain, yakni bisa bekerja dan memperoleh penghasilan seperti kakaknya yang setiap bulan mengirimkan Elisa dan ibunya uang.

Namun, apa daya, pada akhirnya Elisa harus berhadapan dengan kenyataan bahwa semua yang ia bayangkan sebelum tiba di Jakarta hanyalah sia-sia.

Mulai dari tas yang dibawa lari, harapan menemukan kembali tasnya dari petugas di kantor Polisi yang pada akhirnya sia-sia saja, alamat kantor yang malah membuatnya semakin pupus, kematian kakaknya, bertemu Farid dan menemani laki-laki itu yang ternyata adalah seorang kurir narkoba, jatuh cinta, hingga kenyataan lain saat ia harus menghadapi kebenaran bahwa satu-satunya orang yang tersisa dan ia sayangi juga menghilang; Fahri mati.

Tak hanya tentang hingar bingar kota Jakarta yang dibicarakan Ratih dalam Wesel Pos, melainkan juga tentang keberuntungan dan kemalangan para penghuninya.

Lalu, apa hal menarik yang bisa dibahas dari novelet Wesel Pos ini? Pertanyaan semacam ini mengantarkan saya pada beberapa hal penting tentang Jakarta, yang perlu diingat dan dipelajari dari karya Ratih Kumala ini.

Sajian cerita Ratih benar-benar memberikan gambaran tentang Jakarta yang begitu ribet: riuh, panas, buru-buru, marah-marah.

Dengan demikian, banyak hal yang kemudian dapat kita dapatkan dari buku ini. Sebagian besar orang mungkin saja berpikir bahwa Jakarta akan menjadi satu-satunya harapan dan sumber penghasilan terbesar di Negara Indonesia yang tercinta ini sehingga menjadi tujuan utama untuk merantau atau menemukan jawaban-jawaban atas semakin banyaknya kebutuhan hidup.

Melalui Wesel Pos, kita mungkin saja akan kembali berpikir dan mempertimbangkan bahwa Jakarta tidak selalu menjadi jawaban, sebab akan banyak perang yang bisa saja kita hadapi, apalagi jika kita tidak bertekad untuk menjadi orang sakti. Khususnya, bagi kita di NTT yang lebih doyan merantau daripada mengerjakan kebun warisan keluarga.

Tentu saja selain merantau ke Kalimantan atau menjadi TKI, orang NTT banyak yang memutuskan bekerja di Ibukota – ada banyak yang kemudian menjadi sakti. Akan tetapi, sebanding dengan yang sakti, banyak juga yang pada akhirnya menjadi tokoh dalam berita kekerasan bahkan berujung kematian.

Sebagai orang yang telah lama menetap di kampung, saya merasa bahwa Wesel Pos juga mengajak kita untuk perlu mengurangi ‘mimpi Jakarta’. Apalagi tekad yang hanya mengandalkan modal karena memiliki keluarga atau sahabat dan kenalan di Jakarta, belum lagi hanya ijazah SD sampai SMA yang dibawa serta. Sama seperti Elisa, yang hanya mengandalkan alamat dari sepotong kertas wesel pos yang telah kusam.

Kekuatan, keberanian, dan kesiapan diri sendiri pun harus menjadi senjata untuk menghadapi keributan-keributan kota. Lebih-lebih jika kau adalah seorang perempuan. Sebab kemungkinan-kemungkinan yang berujung pada kriminal receh hingga human trafficking juga bisa saja menjadi musibah yang menyambut kita di Ibu Kota.

Bagi saya, rentetan kejadian yang pada akhirnya dihayati sebagai pelajaran dan informasi telah menjadi kelebihan dalam buku ini. Sedangkan beberapa istilah yang masih asing, tentu saja masih menjadi pertanyaan. Butuh informasi lebih untuk memahami Jakarta. Saya mungkin saja bisa langsung mengunjungi Google, tetapi bisa jadi hal tersebut tidak berlaku bagi para pembaca lain.

Pada akhirnya, saya merasa sudah menjelajahi sebagian kecil Jakarta dalam imajinasi melalui Wesel Pos karya Ratih Kumala. Semoga Wesel Pos tidak akan berhenti dibicarakan pada pertemuan Bincang Buku Petra, tetapi terus diceritakan pada diskusi-diskusi berikutnya, entah bersama keluarga, sahabat atau siapa saja, bahwa menjadi penghuni Jakarta tidaklah mudah. Kita harus menjadi sakti dan jangan sampai menjadi sakit.

Saya ucapkan Terima kasih kepada Klub Buku Petra karena telah menghadirkan ruang diskusi seperti Bincang Buku bulanan Klub Buku Petra, sehingga semangat membaca dan mencoba belajar menulis bisa kembali dilakukan. Sukses.

Komentar Anda?