Menu
Menu

Wawan Kurniawan dalam lima puisinya mengingatkan kita pada cerita besar yang barangkali sedang disamarkan.


Oleh: Wawan Kurniawan |

Menulis puisi, cerpen, esai, novel, dan menerjemahkan. Menerbitkan buku puisi berjudul Persinggahan Perangai Sepi (2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Diundang sebagai penulis Indonesia Timur di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015. Salah satu novel karyanya yang berjudul Seratus Tahun Kebisuan menjadi Novel Pilihan Unnes International Novel Writing Contest 2017.


Autopsi Masa Silam M

dari rekam ingatan para pembunuh
penguasa, dan dia yang menuang racun.

namamu telah menjelma jalan panjang:
namun dilalui dengan pelan penuh hirau
mereka tak ingin segera tiba di hadapan
pertanyaan-pertanyaan yang mencari.

biarlah lorong-lorong peraduan bersaksi,
waktu tak pernah ingin menua sama sekali
sebab nanti, akan datang orang-orang dalam puisi
melakukan autopsi dan menemukanMu kembali

namamu telah menjelma jalan panjang:
menujuMu…

Racun Arsenik

racun arsenik yang menjalar melalui darahmu
———————————–adalah ketakutan,
setelah gagal menggedor kepalamu dengan
ujung senapan yang dingin beku.

kematian yang tiba-tiba bukanlah kematian
melainkan jawaban bagi sehimpun keyakinan
yang mengisi detak jantungmu hingga teteskan
bening air mata, melahirkan sungai
tempat kekasihmu berlayar selamanya
setelah melepaskan diri dari kutukan ketakutan.

Pemandangan di Depan Istana

Pernahkah kau melihat orang-orang
berbondong-bondong mengangkat
bangkai musim kemarau di depan istana?
kau menghirup aroma bara yang baru padam
tapi tak merasakan panas ketidakpastian musim
di mana angin tak lagi mengetahui arah
dan peta dibentangkan menuju kemurungan
dan kecemasan menjadi matahari di atas kepala.

Pencarian di Hutan Hitam

kini seorang perempuan tersesat di gelap hutan hitam
setelah lewati jalan berembun, panjang dan hening.
mereka mulai tak percaya ceritanya tapi dia tetap menggebu
seikat mawar putih dia bawa tuk ditanam pada makam!

bebatuan berlumut bicara pada bayang-bayangnya
sudah sejak lama—jejak di sebuah peta kuno tersembunyi
di dokumen hijau tua, namun setengahnya terbakar hapus arah.

semua kabar telah rela jadi abu, terhembus angin kemarin.
mereka belajar terbang seperti burung kecil memanggil
angin demi kepak sayap, semesta demi segala lepas udara.

dia menghilang, kehilangan kita—kelak ditemukan
bersarang duka berdiri menggenggam gagang payung
di tengah deras hujan air mata kepedihan menahun.
selalu seperti itu, kehilangan ditemukan berkali-kali.

di hutan ini—dia mencari walau jatuh pada lembah kelabu
mawar putih di tangannya tak lagi terlihat jelas
racun jamur merekah, abadi: payung hitam tak terkatup.

Di Museum Kehilangan

hari-hari telah mencuri wajahmu
esok hanyalah nahkoda pemabuk
dari neraka dengan beribu cerita
menemukan harta karun yang kita cari

di museum kehilangan:
terpajang cermin, terpasung
wajahmu dan kesunyian.


Ilustrasi: Daeng Irman | Klik di tautan ini untuk gambar dengan resolusi penuh.

2 thoughts on “Puisi-Puisi Wawan Kurniawan – Di Museum Kehilangan”

  1. Fian N berkata:

    di museum kehilangan:
    terpajang cermin, terpasung
    wajahmu dan kesunyian.

    di museum kehilangan:
    terpajang cermin, terpasung
    wajahmu dan kesunyian.

    ….
    Kucoba untuk menerjemahkan semua kesunyian itu. Yang ditemukan adalah diriku.

    Yang menarik
    Yang menggugah
    Yang akan selalu segar dalam ingatan.
    Proficiat dan Bacapetra semakin maju dalam berliterasi. Salam literasi.

  2. wawan berkata:

    terima kasih

Komentar Anda?