Menu
Menu

Adakah lelaki yang bukan nabi mendapatkan mukjizat hanya demi sebuah kebenaran?


Oleh: Ken Hanggara |

Lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).


Tak ada seorang pun yang mendengarku. Akhirnya aku duduk untuk beberapa lama dan membayangkan tubuhku tiba-tiba mampu menembus tembok.

Kubayangkan tubuh ini seringan kapas, sehingga aku tak perlu cemas dengan kedua kakiku yang dipatahkan. Aku akan terbang melayang, menembus tembok besi itu, menuju kebebasan.

Ada berapa lapis tembok besi yang dibangun untuk orang sepertiku? Sesuatu telah mengancam keberadaanku sejak kugaungkan kebenaran-kebenaran yang selama ini tak terungkap di mata publik. Puluhan foto kusebar dengan berbagai cara dan sejak hari itu, hidup atau mati, orang-orang menjadikanku sasaran buruan.

Ada beberapa harga yang pantas bagiku, tapi seseorang, bekas anak raja dari suatu masa yang kelam, menawarkan harga yang cukup tinggi, bahkan hanya untuk sepotong jemariku. Sidik jarinya saja cukup, begitu katanya, menurut sebuah rumor yang beredar.

Maka, orang-orang yang bersamaku, meski mereka tak terlalu berani bersuara atau membelaku di depan orang lain (bahkan di depan orang-orang dengan kelas sosial yang rendah di kota yang belum lama berdiri ini), memberiku perlindungan secara bergantian. Mereka mengundi nama-nama tertentu yang harus memberiku tumpangan sampai waktu kabur ke luar negeri tiba.

“Aku tidak harus ke luar negeri. Aku bisa menghadapi semuanya di sini, asal kalian mau berdiri bersama-sama denganku,” kataku. “Nanti kita bikin pasukan bersenjata dan kita persiapkan teknologi terbaik kreasi generasi muda untuk menggempur para bangsat yang pernah mengacau-balau masa lalu itu.”

Hanya segelintir yang mengira ucapanku bagus, meski sungguh gila. Peluangnya pasti kecil, kata mereka. Dan pula, jika tertangkap, kami tidak lagi bisa berjuang seperti biasa.

“Pakai cara-cara lama. Dari bawah tanah,” kata Mariana suatu ketika. Kudengar dia berbisik sekali lagi, di ruang gelap dengan tembok besi yang mengurungku ini. Itulah di saat kami terakhir kali bertemu. Sejak itu, Mariana dan yang lain tak lagi bersamaku.

Sebenarnya, kalau saja malam itu tak terjadi kecelakaan pada bus yang kutumpangi, aku masih sempat pergi bersama Ali Mugeni, teman lamaku, pebisnis kelas atas, yang mau memberiku bantuan walau diam-diam, karena dia cukup dekat juga dengan Sapono, kerabat keluarga raja dari masa yang kelam. Ali Mugeni tidak bisa berbuat banyak tanpa menjadikan dirinya turut dicurigai berada di balik kebocoran informasi lama terkait apa yang orang-orang sebut sebagai malam berdarah, kecuali mengantarku ke rumah salah satu sahabatnya yang siap menampungku sebelum mengirimku kabur ke Afrika.

Sesuatu yang mengerikan, dulu sekali, pernah terjadi di lembah kami yang indah. Orang-orang tak berdosa ditebas begitu saja, dan kepala mereka dilarung ke laut, sedang tubuh mereka dijadikan santapan anjing atau sarana latihan menembak. Pada masa itu, dongeng-dongeng hantu tersebar di berbagai desa tentang pemilik kepala-kepala malang itu, yang belum juga mati karena menganut ilmu tertentu. Dikabarkan tubuh mereka dari tanah pekuburan massal bangkit setiap malam untuk mencari-cari kepala mereka yang telah hilang demi melancarkan perlawanan yang tadinya telah gagal.

Kata pamanku, yang tak lama kemudian hilang dibawa orang-orang misterius dan tak pernah kembali, “Jangan percaya omong kosong Raja!”

Kenyataannya, tanah kuburan massal itu sama saja, dan akan selalu sama tiap kali aku dan beberapa teman pergi bermain ke kawasan itu. Kami tak terlalu sering ke sana, karena orang-orang dewasa melarang kami. Mereka tak ingin segala sesuatu soal malam berdarah harus menyeret mereka sekali lagi ke masa-masa yang tak menyenangkan.
“Biar itu berlalu dan tak perlu diungkit kembali,” kata kebanyakan dari mereka.

Aku dengar sendiri, para pasukan dari Raja lama di masa kelam memang sungguh biadab. Barangsiapa yang dianggap punya kaitan dengan orang-orang yang harus mati karena melawan Raja, akan mendapat kesialan. Cara paling umum adalah hilang secara tiba-tiba seperti pamanku, yang kemungkinan besar sudah pasti dihukum mati karena tak ada lagi yang bisa dipikirkan selain itu, mengingat belum lama itu orang-orang desa yang bahkan tak melek politik pun juga ditebas tanpa ampun. Cara yang kadang-kadang terjadi: orang-orang itu mati begitu mendadak dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Pembunuh berdarah dingin itu, yang bekerja diam-diam itu, tentu saja, terdiri dari para pasukan Raja lama sendiri. Konon, unsur kemanusiaan mereka lenyap karena Raja yang ketika itu berkuasa mengajak iblis sebagai sekutu.

Untuk memberi makan para iblis, ada harga yang harus dibayar, demikian yang dulu sempat kudengar. Harga yang sepadan dengan kuasa dan kekuatan tanpa batas.

Sayangnya, ucapan legendaris itu, yang dulu menjadikan kami berpikir bahwa Raja lama adalah sejenis makhluk yang abadi dan tak mati bahkan di hari kiamat, tak terbukti berpuluh tahun setelah kejadian malam berdarah. Orang-orang turun ke jalan dan tidak ada seorang pun yang takut demi tujuan menggulingkan kediktatoran raja tersebut.

Tentu saja terjadi keributan dan perang saudara. Banyak yang gugur pada peristiwa tersebut, tetapi Raja lama kabur dan membiarkan singgasananya kosong tanpa penghuni. Pada akhirnya, rakyatlah yang mengisi bangku-bangku pemerintahan di istana. Mereka menata hidup sekali lagi, meski menyadari anak-cucu dan para sahabat, serta antek Raja lama tak akan tinggal diam demi membungkam semua orang agar raja dan rekan-rekan tak diadili karena kejahatan di masa lalunya.

Tentu saja, aku termasuk di antara sedikit orang yang berjuang demi keadilan yang sia-sia itu. Pada kenyataannya, meski Raja lama telah mati di kemudian hari, tidak ada yang pernah menegakkan keadilan.

Suatu ketika, melalui perkenalanku dengan pebisnis Ali Mugeni, aku mendapatkan akses ke ruang rahasia mantan petinggi di istana pada masa kelam raja lama. Foto-foto itu kudapat persis setelah si penyimpan berkata, “Tak lama lagi aku mati karena usia. Tak lama lagi aku menderita oleh siksa Tuhan atas perbuatan kami yang keji pada kalian selama berpuluh tahun. Bawa foto ini. Kuharap dengan begini Tuhan akan memberiku sedikit keringanan.”

Tak diragukan lagi, pembicaraan singkat dari orang-orang seperti pamanku terbukti benar. Dalam foto-foto itu, terpampang jelas siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu; malam berdarah yang melahirkan banyak dongeng dan mitos di kepala anak-anak yang dibesarkan pada masa itu.

Dengan disebarkannya foto-foto itu, kukira, tak akan lagi ada sisa-sisa Raja lama di lembah kami yang indah, sebab, meski telah dicabut nyawanya, ia seakan masih hidup saja melalui tangan semua anak-cucu dan para sahabatnya di negeri ini. Sebagian orang dalam foto termasuk mereka masih hidup dan menjadi orang berpengaruh sampai saat ini. Kupikir, mereka akan membawaku ke dalam bahaya.

Memang benar, aku berada dalam bahaya sejak foto-foto itu kusebar. Suatu malam, bus yang kutumpangi mendadak hilang kendali dan menabrak sebuah dasar jurang. Tak ada yang selamat dalam kejadian itu, kecuali dua orang penumpang lain dan diriku. Roy, rekan yang mengantarku ke rumah Ali Mugeni, tewas seketika dengan tubuh terbelah oleh dempetan kursi. Tak berapa lama, sebuah ambulans meluncur, membelah gelap di kawasan hutan rimba itu. Orang-orang berbadan tegap turun dan menyeretku usai tanpa perasaan menembak mati dua penumpang yang selamat. Aku dibungkam dengan kain lap dan kedua mataku ditutup dengan kasar oleh berlapis-lapis sarung bantal yang amat bau. Dengan tinjuan di titik tertentu, aku tak sadarkan diri.

Aku bangun di ruangan aneh dengan alat-alat operasi di kanan-kiriku. Seseorang di dekat tempatku berbaring memberi perintah kepada orang-orang berbadan besar untuk mengikatku dengan kencang.
“Jangan ada obat bius,” katanya menambahkan.

Aku mengerang kesakitan. Aku berteriak. Aku berada antara hidup dan mati demi berbagai siksaan yang kuterima. Tubuhku lemah dan kedua kakiku dipatahkan sebelum dilempar ke ruang gelap pekat bertembok besi. Udara di sini begitu tipis. Bahkan tidak kudengar suara seekor tikus pun. Aku terus bertanya-tanya, bagaimana aku bisa lari dari tempat ini?

Kemudian, kubayangkan Mariana dan teman-teman lain mendapat kesialan serupa. Mereka jelas tidak ada yang benar-benar bersuara demi kebenaran, tapi anak-cucu serta para sahabat Raja lama juga kurasa tak sebodoh itu. Aku hanya bisa menangis beberapa lama. Lalu aku berteriak dengan sia-sia. Lalu kubayangkan tubuhku seringan kapas dan Tuhan memberiku semacam mukjizat agar tubuhku yang payah dapat menembus setiap benda yang menghalangiku dari kebebasan. Hanya saja, aku bukan nabi. Adakah lelaki yang bukan nabi mendapatkan mukjizat hanya demi sebuah kebenaran? (*)


Ilustrasi: Oliva Nagung

Komentar Anda?