Menu
Menu

Mohon periksa sedikit uang kertas seratus yen di dompetmu. Mungkin aku berada di dalamnya. Aku sudah lelah, …


Oleh: Yid Herlan |

Seorang penikmat karya sastra lulusan Shizuoka Sangyo University, Jepang. Saat ini bekerja sebagai penerjemah dan interpreter di salah satu perusahaan Jepang di Indonesia. Beberapa tulisannya diarsipkan di https://yid-herlan.blogspot.com/.


Dalam beberapa bahasa asing, setiap kata benda memiliki gender laki-laki dan perempuan. Dan kata benda “uang”, dianggap sebagai kata benda perempuan.

Aku adalah uang kertas seratus yen dengan nomor seri 77-851. Mohon periksa sedikit uang kertas seratus yen di dompetmu. Mungkin aku berada di dalamnya. Aku sudah lelah, tidak tahu lagi di mana aku berada sekarang. Entah di saku seseorang atau sudah dibuang ke dalam tong sampah, aku sudah tidak tahu lagi.

Aku sempat mendengar desas-desus kalau uang kertas model modern akan keluar, dan semua uang kertas lama seperti kami akan dibakar. Kalau dipikir-pikir, daripada hidup dalam keadaan tidak jelas seperti ini, aku lebih memilih untuk dibakar dan meninggal dengan tenang. Setelah dibakar, apakah aku akan pergi ke surga atau neraka, itu terserah pada Tuhan, tetapi mungkin aku akan jatuh ke neraka.

Saat aku dilahirkan, aku tidak serendah dan sesedih sekarang. Belakangan, ada banyak uang kertas yang lebih dihargai daripada aku sendiri, seperti uang kertas dua ratus yen dan seribu yen, tetapi pada saat kelahiranku, uang kertas seratus yen adalah ratunya uang, dan ketika aku pertama kali diserahkan kepada seseorang di loket bank besar di Tokyo, tangan orang itu sedikit gemetar. Sungguh, aku tidak berbohong.

Dia adalah seorang tukang kayu muda. Dia dengan lembut menempatkanku di saku perut apron kerjanya tanpa melipatku, dan terus memegangi saku perutnya dengan tangan kiri seperti sedang sakit, baik ketika berjalan kaki, maupun saat dia naik kereta api, atau dengan kata lain, sepanjang jalan dari bank sampai ke rumahnya.

Ketika sampai di rumah, dia segera meletakkanku di altar keluarga dan berdoa. Sungguh, permulaan hidupku terasa sangat bahagia seperti ini. Aku ingin tinggal di rumah tukang kayu itu selamanya. Tapi ternyata, aku hanya bisa tinggal di rumah tukang kayu itu satu malam saja.

Malam itu, suasana hati tukang kayu itu sedang sangat baik, hingga dia minum banyak sake, kemudian menoleh pada istrinya yang masih muda dan mungil sambil banyak meracau seperti, “Jangan mengolok-olok begitu. Biar begini, aku punya pekerjaan sebagai laki-laki,” lalu kadang dia berdiri, menurunkanku dari altar, dan bertingkah seolah menyembahku dengan kedua tangannya, membuat istrinya yang masih muda itu tertawa, tetapi akhirnya pertengkaran terjadi di antara pasangan itu dan aku akhirnya dilipat jadi empat dan dimasukkan ke dalam dompet kecil milik istrinya.

Keesokan paginya, aku dibawa oleh istrinya itu ke pegadaian, dan ditukar dengan sepuluh kimononya. Aku diletakkan di dalam brankas dingin dan gelap di pegadaian. Saat aku merasa sangat kedinginan, hingga sakit perut, aku akhirnya dibawa keluar dan kembali bisa melihat cahaya matahari. Kali ini, aku ditukar dengan satu mikroskop mahasiswa kedokteran.

Aku melakukan perjalanan jauh bersama mahasiswa kedokteran itu. Hingga akhirnya, di penginapan di sebuah pulau kecil di Laut Seto, aku dibuang olehnya. Selama hampir satu bulan, aku ditinggalkan di dalam laci penyimpanan kecil di penginapan itu, tetapi dari apa yang kudengar dari pelayan-pelayan wanita di sana, tidak lama setelah membuangku dan meninggalkan penginapan itu, mahasiswa kedokteran itu pergi ke Laut Seto dan mati menenggelamkan diri di sana. “Bodoh sekali mati sendiri. Kalau dengan laki-laki tampan seperti itu, kapan pun aku rela mati bersamanya,” kata pelayan wanita gendut berjerawat berusia sekitar empat puluh tahun di sana, membuat semua orang tertawa.

Kemudian, aku berkelana selama lima tahun ke Shikoku dan Kyushu, dan menjadi sangat tua. Seperti itulah akhirnya aku menjadi diabaikan, dan ketika aku kembali ke Tokyo setelah enam tahun, aku sendiri merasa sangat miris melihat perubahan yang kualami. Sebab, ketika kembali ke Tokyo, aku hanya menjadi wanita pesuruh yang bekerja di pasar gelap. Selama lima, enam tahun pergi dari Tokyo, aku memang banyak berubah, akan tetapi perubahan di Tokyo bagiku terlalu besar.

Sekitar pukul delapan malam, seorang broker yang mabuk membawaku dari Stasiun Tokyo ke Nihonbashi, lalu ke Kyobashi, sepanjang Ginza hingga Shimbashi, sementara itu gelap gulita seolah-olah sedang berjalan melewati hutan lebat yang sepi, tanpa ada satu orang pun yang lewat. Tempat itu tampak tidak menyenangkan, seperti kota kematian yang mengerikan. Kemudian, dengan cepat, serangkaian suara ledakan dan desingan peluru mulai terdengar di sana-sini.

Bahkan di tengah kekacauan besar setiap hari dan malam, aku masih harus terus berpindah dari tangan satu orang ke tangan lainnya, seperti tongkat estafet dalam perlombaan. Karena itu, bukan hanya wajahku yang kusut dan berkerut, tetapi tubuhku juga dipenuhi dengan berbagai macam bau menyengat, membuatku merasa malu dan hancur.

Pada masa itu, sepertinya seluruh Jepang tengah terpuruk. Kurasa anda cukup tahu dan bisa membayangkan, tentang ke tangan orang seperti apa, dengan tujuan macam apa, dan dengan percakapan mengerikan seperti apa aku dipindahtangankan. Karena itu, aku tidak akan menjelaskannya terlalu rinci, akan tetapi, menurutku yang berubah menjadi binatang buas di sini bukan hanya para tentara.

Aku merasa bahwa situasi buruk ini bukan hanya bagi orang Jepang saja, tetapi juga bagi sifat manusia pada umumnya. Aku pikir, ketika seseorang menghadapi kemungkinan kematian malam ini, apakah tidak seharusnya semua keinginan dan nafsu duniawi itu lenyap begitu saja? Tetapi tampaknya tidak demikian. Ketika manusia terjebak dalam labirin kehidupan, bukannya saling tertawa bersama, mereka lebih cenderung saling melahap satu sama lain.

Padahal, merasa diri sendiri tidak bisa bahagia selama ada satu orang saja yang tidak bahagia di dunia ini seharusnya merupakan kodrat manusia. Namun, demi mendapatkan kenyamanan sesaat untuk diri sendiri atau keluarga sendiri, banyak orang memaki-maki, menipu, menindas tetangga mereka. (Tidak, anda juga pasti pernah melakukannya setidaknya satu kali. Lebih menyinggung lagi jika anda melakukannya tanpa sadar dan tidak menyadarinya. Anda seharusnya merasa malu. Malulah jika anda adalah manusia. Karena malu adalah perasaan yang hanya ada pada manusia). Aku seperti disuguhi serangkaian adegan yang konyol sekaligus menyedihkan, seolah-olah para penghuni neraka bergulat satu sama lain.

Akan tetapi, dalam kehidupan yang rendahan ini, aku bukannya tidak pernah sekali atau dua kali merasa bersyukur telah dilahirkan. Sekarang, karena dipergunakan sedemikian rupa, aku memang merasa sangat lelah hingga tidak tahu lagi sedang berada di mana, seolah berada di tempat sampah, tetapi aku punya beberapa kenangan menyenangkan yang tidak bisa kulupakan. Salah satunya adalah ketika aku dibawa oleh seorang wanita tua di pasar gelap ke sebuah kota kecil yang berjarak tiga atau empat jam dengan kereta api dari Tokyo. Mari aku ceritakan sedikit tentang kenangan ini.

Aku telah berpindah dari satu pasar gelap ke pasar gelap lainnya, tetapi tampaknya para pelaku pasar gelap wanita menggunakanku dua kali lebih efektif daripada pelaku pasar gelap pria. Tampaknya keserakahan seorang wanita bahkan lebih parah dan kejam daripada pria.

Wanita tua yang membawaku ke kota kecil itu bukanlah orang sembarangan. Dia memberikan sebotol bir kepada seorang pria dan sebagai gantinya ia menerimaku, lalu datang ke kota kecil itu untuk membeli anggur. Biasanya, harga anggur di pasar gelap sekitar lima puluh hingga enam puluh yen per botol (satu botol anggur biasanya berisi 1,8 liter), tetapi wanita itu menghabiskan waktu yang lama dan menggoda sambil tertawa nakal, hingga akhirnya berhasil mendapatkan empat botol dengan satu lembar aku tanpa terlihat terbebani dan membawanya pulang. Singkatnya, di tangan wanita tua pasar gelap ini satu botol bir bisa menjadi empat botol anggur. Dengan menambahkan sedikit air, apabila dimasukkan ke dalam botol bir, aku kira bisa dapat sampai dua puluh botol. Bagaimanapun, keserakahan wanita ini sungguh tak terkira. Meskipun begitu, wanita tua itu tidak menunjukkan kegembiraan sedikit pun. Dia hanya mengeluh tentang betapa buruknya dunia ini dan pergi dengan wajah muram.

Aku disimpan di dalam dompet besar milik pedagang anggur pasar gelap dan hampir tertidur pulas saat aku kembali ditarik keluar dan diserahkan kepada seorang kapten tentara berusia sekitar empat puluhan. Kapten ini juga tampaknya sesama pedagang di pasar gelap. Aku ditukar dengan seratus batang “Homare”, tembakau khusus tentara (begitulah yang dikatakan oleh kapten ini, akan tetapi ketika pedagang anggur pasar gelap itu menghitungnya, hanya ada delapan puluh enam batang di sana, membuatnya sangat marah dan menyebut kapten ini sebagai penipu). Yang jelas, malam itu aku ditukar dengan satu bungkusan kertas bertuliskan “isi seratus batang”, lalu diselipkan begitu saja di dalam saku celana kapten ini dan harus menemaninya menaiki tangga ke lantai dua restoran kecil yang kumuh di pinggiran kota. Kapten ini adalah seorang pemabuk parah. Dia meminum anggur langka bernama brendi dan memiliki kebiasaan mabuk yang buruk hingga memaki-maki pelayan wanita di sana dengan kejam.

“Wajahmu itu, dilihat bagaimanapun mirip wajah rubah!” Ia mengucapkan kata rubah dengan dialek yang aneh. “Ingat baik-baik. Rubah itu punya mulut yang lancip dan kumis. Tiga kumis di sebelah kanan dan empat di sebelah kiri. Bau kentut rubah itu tak tertahankan! Asap kuning pekat membubung tinggi, dan jika anjing menciumnya, mereka akan berputar-putar dan tiba-tiba tumbang. Ah, bukan, itu bohong! Wajahmu memang kuning! Sangat kuning! Pasti jadi kuning karena kentut. Ah, bau! Pasti kau yang melakukannya, ya? Tidak sopan. Kentut di depan hidung tentara, sungguh tak tahu aturan. Aku ini cukup sensitif, tahu! Tidak mungkin bisa tetap tenang kalau hidungku dikentuti rubah!” Begitu dia berkata-kata kasar.

Ketika terdengar tangisan bayi di lantai bawah, ia mendengarnya dan mengomel, “Dasar bocah berisik! Merusak kesenangan saja. Aku ini orangnya sensitif! Jangan macam-macam! Apakah itu anakmu? Aneh, ya. Anak rubah tetapi menangis seperti anak manusia, mengejutkan. Kamu itu keterlaluan! Membawa anak kecil sambil bisnis seperti ini, keterlaluan sekali. Karena wanita bodoh dan tak tahu diri sepertimulah Jepang jadi menderita. Orang bodoh sepertimu pasti mengira Jepang akan menang, ‘kan? Bodoh, bodoh. Perang ini sudah tidak ada gunanya lagi. Rubah dan anjing. Berputar-putar dan tiba-tiba tumbang. Bagaimana bisa menang? Karena itulah aku begini setiap malam, minum-minum dan membeli wanita. Apa salahnya?”

“Maaf, ya,” kata pelayan itu dengan wajah memucat.

“Apa masalahnya dengan rubah?” tanyanya.

“Kalau tidak suka, tidak usah datang! Di Jepang sekarang, hanya kalian yang minum-minum dan bersenang-senang dengan wanita seperti ini. Kamu kira dari mana gajimu datang? Coba pikirkan. Sebagian besar pendapatan kita diberikan kepada pemilik restoran, dan dia memberikan uang itu kepada kalian, dan itu yang membuat kalian minum-minum di sini. Jangan sembarangan. Wanita bisa melahirkan anak. Para wanita yang sekarang menggendong bayi mereka, kalian tidak akan pernah bisa memahami betapa sulitnya itu. Air susu dari payudara kita sudah habis, sudah tidak ada satu tetes pun. Anak-anak itu hanya mengisap payudara kering kita! Tidak, bahkan untuk mengisap saja mereka sudah tidak punya tenaga lagi. Ya, benar, dia adalah anak rubah. Dengan dagunya yang runcing, wajahnya berkerut, menangis sepanjang hari. Mau saya tunjukkan? Dengan keadaan begini, kami masih mampu bertahan, sementara kalian apa?” Tepat saat pelayan itu akan menyelesaikan perkataannya, sirene peringatan serangan udara berbunyi, bersamaan dengan suara ledakan dan tembakan di sana-sini, membuat shoji (panel rangka kayu berlapis kertas transparan khas Jepang) di ruangan itu berwarna merah.

“Akhirnya datang juga!” seru sang Kapten sambil bangkit, namun anggur brendi yang dia minum membuatnya terlalu mabuk sehingga dia berjalan goyah.

Pelayan itu turun dengan cepat ke lantai bawah, kemudian naik kembali dengan menggendong bayi di punggungnya.

“Ayo, kita lari, cepat. Di sini berbahaya, pegang erat-erat.”

Dia mengangkat tubuh Kapten yang tampak lemah seperti tanpa tulang dari belakang dan membimbingnya menuruni anak tangga ke bawah, mengenakan sepatunya, dan kemudian menarik tangan sang Kapten ke halaman kuil terdekat, di mana Kapten akhirnya terbaring telentang dengan lengan terbuka, mengeluh ke arah langit yang terus berdentum, sambil mengucapkan umpatan yang tak henti-hentinya. Bam bam bam! Hujan api terus turun dan kuil mulai terbakar.

“Tolong, Tuan Tentara! Ayo lari lebih jauh. Akan sangat membosankan kalau mati di sini seperti anjing. Ayo lari sebisa mungkin!” Seru pelayan itu.

Wanita berkulit gelap dan kurus ini, yang disebut-sebut melakukan pekerjaan manusia yang paling rendah, justru terlihat paling berharga dan mulia dalam masa hidupku yang kelam. Oh, keserakahan, pergilah. Oh, kesombongan, pergilah. Jepang kalah karena dua hal tersebut. Pelayan wanita itu, tanpa keserakahan atau kesombongan, hanya ingin menyelamatkan tamu yang mabuk di depannya, dia menarik sang kapten dengan sekuat tenaga dan menyeretnya ke arah sawah. Sesaat setelah berlindung, halaman kuil tersebut sudah berubah jadi lautan api.

Dia menarik Kapten yang mabuk itu ke dalam ladang yang baru saja dipanen, meletakkannya di bawah naungan tanah yang sedikit tinggi, dan pelayan wanita itu sendiri duduk di dekatnya sambil terengah-engah. Sementara Kapten itu sudah mendengkur dengan keras.

Malam itu, setiap jengkal kota kecil itu terbakar. Kapten terbangun saat menjelang fajar, ia bangkit dan menatap kosong ke arah api besar yang masih menyala, dan melihat wanita yang menyajikan minuman untuknya semalam tertidur di sampingnya. Dia mengambil lima lembar rekan-rekanku, uang kertas seratus yen dari saku bagian dalam jaketnya, lalu menarikku keluar dari saku celananya, menumpuk enam lembar uang kertas di atas satu sama lain, melipatnya menjadi dua, lalu menyelipkannya ke bagian belakang di antara baju dalam dan punggung bayi itu, dan berlari dengan cepat. Pada saat itulah aku merasa bahagia dengan diriku sendiri. Seandainya saja uang bisa digunakan untuk tujuan seperti itu, aku pikir, betapa bahagianya kami.

Punggung bayi itu kering dan sangat kurus. Tetapi aku berkata kepada rekan-rekanku sesama uang kertas. “Tidak ada tempat lain yang baik seperti ini. Kita beruntung. Kuharap kita bisa tinggal di sini selamanya, menghangatkan punggung bayi ini dan membiarkannya tumbuh besar.” Yang lain mengangguk serempak.

***

Tentang Osamu Dazai

Shūji Tsushima (津島 修治, Tsushima Shūji, 19 Juni 1909 – 13 Juni 1948), dikenal dengan nama penanya, Osamu Dazai (太宰 治, Dazai Osamu), adalah seorang penulis Jepang. Sejumlah karya populernya, seperti Shayō dan Ningen Shikkaku dianggap sebagai karya sastra klasik modern. Akutagawa, Shikibu dan Dostoyevski adalah beberapa nama penulis yang memengaruhinya. Cerpen di atas diterjemahkan Yid Herlan dari bahasa Jepang.


Ilustrasi: Journey To Go (Kay Sage), dari Wikiart.org.

Baca juga:
Salib – Cerpen Jean Giono
Akulah Perempuan Milik Allah – Puisi Alda Merini


6 thoughts on “Uang – Cerpen Osamu Dazai”

  1. Karmila berkata:

    Cerita yang sangat menarik, ide cerita yang cermelang, saya suka cerita ini semoga saya bisa membuat cerita seperti ini di masa yang akan datang. salam kenal pak Osamu Dazai dan terima kasih juga buat penerjemah berkatnya lah saya dapat menikmati tulisan ini

  2. Nandi Nugraha berkata:

    Saya suka cerita ini. Coba saya bayangkan bagaimana jadinya saya jika saya berada di posisi uang itu, pelayannya juga hebat. Sebenarnya, apa yang dipikirkan penulis hingga menciptakan cerita yang begitu indah? Saya masih baru dalam mempelajari semuanya. Itu membuat saya sangat senang melihat semua hal yang indah. Terima kasih kepada penulis atas kerja kerasnya. Saya akan mendukung Anda.

  3. Choirunnisa A berkata:

    Cerita ini bagus, dan dari apa yg saya tangkap dari membaca cerita ini : Uang dari masa ke masa bisa saja berubah walaupun kegunaannya pun tetap sama dengan mengikuti perkembangan waktu dan zaman atau dengan kata lain juga uang yang sama yang seorang itu pegang gak akan selamanya ada ditangan orang tersebut sebab uang kebutuhan yang harus dilakukan

  4. Hayatun berkata:

    Saya suka dengan cerita ini. Membuat saya berimajinasi bagaimana saya jika ada di posisi uang tersebut, pelayan wanita itu juga hebat. Sebenarnya apa yang terpikirkan oleh penulis hingga dirinya bisa membuat cerita hebat seperti ini? Saya masih baru dalam mempelajari semuanya. Dan melihat semua hal2 hebat membuat saya sangat bahagia. Terima kasih atas kerja keras penulis. Saya akan mendukung anda. ????????

  5. Rasyid Nur Syaban Prayogi berkata:

    Ini sangat menarik sekali untuk Di baca,
    Author bisa membuat pembaca merasakan apa yang Di alami para tokoh tersebut

  6. Khalil berkata:

    Bagus..cerita nya menarik

Komentar Anda?