Menu
Menu

Novel Rumah Kertas ini menghadirkan sebuah ciri khas orang yang hidup dalam pesona seni dan berani menunjukkan pikirannya sendiri kepada dunia.


Oleh: Dunstan Obe |

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Unwira. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Komunitas Cukil Ilmu Komunikasi Unwira.


Identitas Buku

Judul: Rumah Kertas
Pengarang: Carlos María Domínguez
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri (2016)

***

Semasa kecil, saya suka membayangkan bagaimana bentuk Rumah Bapa (Surga) yang orang idam-idamkan dalam setiap pergumulan hidup mereka.

Dalam Kitab Suci, ada banyak perikop yang menggambarkan surga bagai sebuah rumah. Selain itu, ada sejumlah kata yang berasosiasi dengan rumah. Dalam Yohanes 14:1-14 dapat ditemukan sebuah parabel tentang bangunan Rumah Bapa. “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.” (Yoh 14:2). Teks lain seperti: “…Ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Mat 7:7).

Saya bisa mengimajinasikan bagaimana fondasi Rumah Bapa itu tersusun dari iman yang kokoh dan dinding-dindingnya terbuat dari jiwa-jiwa orang kudus yang semasa hidup di dunia melakukan segala hal yang baik. Lalu dari kaca jendelanya, keindahan luar tampak sebagai kebahagiaan yang menyenangkan mata dan hati.

Dindingnya dihiasi dengan doa-doa yang, katakanlah, layak mendapatkan hadiah Nobel dari Tuhan karena doa-doa itu begitu murni dan menggambarkan kerendahan hati. Sementara di pintu, Petrus sedang sibuk mengurus administrasi orang-orang yang hendak mengurus Kartu Keluarga untuk menjadi anak yang kesekian dari Bapa.

Namun pertanyaan masa kecil ini kerap terlupakan karena, biasanya, kami lebih asyik bermain masak-masakan dan berteduh di bawah pondok jadi-jadian beratap alang-alang seadanya yang kami jadikan sebagai rumah.

Kami menganggap bahwa hidup yang sesungguhnya adalah hidup ketika kami saling berbagi, tertawa, dan bercanda di situ. Meskipun jadi-jadian, kami tetap menganggap bahwa itu rumah terindah, rumah bermain kami bersama. Acapkali kami pergi mencari buah-buahan seperti jambu dan cermelek kemudian mengumpulkannya sebagai persediaan makanan dalam rumah mungil kami.

Pikiran-pikiran tentang hal-hal tadi muncul (lagi) ketika saya usai menikmati novel tipis Rumah Kertas karya penulis yang lahir pada tahun 1955 di Buenos Aires, Argentina, Carlos María Domínguez.

Novel terbitan Marjin Kiri ini menampilkan banyak keunikan yang belum saya temukan dalam novel-novel lain. Terlepas dari khazanah baca saya yang masih terbatas, perlu dijelaskan bahwa tidak semua orang mampu berpikir dan bertindak seperti Carlos Brauer.

Novel ini menghadirkan sebuah ciri khas orang yang hidup dalam pesona seni dan berani menunjukkan pikirannya sendiri kepada dunia. Sapere aude! Beranilah berpikir sendiri! Seruan ini menggema keras di daratan Eropa pada abad ke-18. Saat itu, dunia Eropa, khususnya Inggris, Prancis, dan Jerman, memasuki gerbang optimisme zaman fajar budi (Aufklarung), yang sudah mulai dirintis sejak zaman Renaisans.

Seruan tersebut hendak menggariskan mentalitas zaman yang berlomba-lomba mengaktualisasikan rasio sebagai sinar baru yang menepis segala kegelapan ilusi manusia. Rasio ini tidak hanya membawa manusia pada kebenaran, tetapi kini juga menyumbangkan kebahagiaan dalam hidup manusia.

Manusia merasa bahagia hidup di dunia sekarang karena dimanjakan oleh berbagai penemuan dan pencerahan saintifik yang diakui sebagai produk rasionya. Manusia tercerahkan adalah manusia yang berani menggunakan pikirannya sendiri.

Kita tahu bahwa segala sesuatu yang digambarkan dalam sebuah cerita, khususnya bagaimana satu karakter digambarkan dalam sebuah jaring kehidupan sosial tertentu, menunjukkan bagaimana kematangan imajinasi dan pemikiran seorang pengarang.

[nextpage title=”Bluma Lennon Membangun Rumah dari Buku-Buku”]
Pilihan Brauer untuk membangun rumah dari buku-buku yang jumlahnya sangat banyak dari berbagai pengarang, tentu mengisyaratkan kepada pembaca: beranilah berpikir sendiri. Segala sesuatu yang kita sukai dan kita tekuni akhirnya akan membangun sebuah bangunan yang kokoh, atau akan menjadi suatu kesatuan yang utuh dalam diri kita.

Banyak hal bisa kita petik dari novel singkat ini. Salah satunya adalah kita hendaknya belajar mengumpulkan hal yang kita sukai. Proses mengumpulkannya tentu dengan pikiran sendiri, tindakan sendiri, hingga akhirnya membentuk ‘rumah’ sendiri.

Rumah di sini tak selamanya merujuk pada objek materi yang bisa dilihat, tetapi lebih ditekankan pada hal yang abstrak dan lebih mendalam. Misalnya, ketika dalam sebuah negara terjadi hujan permasalahan akibat menebalnya awan masalah sementara solusi yang ada sangat terbatas, orang bisa lari dan berteduh di rumahnya sendiri.

Orang dapat kembali pada hobinya atau hal-hal yang mereka sukai dan mengembangkan kreativitas mereka dalam seni sebab berkreasi dalam tekanan kerap menghasilkan sesuatu yang lebih tajam dan mengena. Selain itu, tak semua masalah harus kita hadapi secara bermuka-muka, tetapi masalah bisa dijadikan sebagai sebuah lingkungan yang memacu kita untuk terus berkreasi dan menciptakan penemuan-penemuan baru dalam seni.

Bentuk interpretasi lain yang bisa saya tawarkan ialah, kita sebaiknya menekuni apa yang menjadi hobi kita dan tak peduli apa pun tantangannya. Dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing kita mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Banyaknya kepentingan dan adanya penuntutan atas hak tersebut pada momen tertentu akan saling bertabrakan dan menimbulkan apa yang disebut konflik. Entah konflik sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang lain.

Masing-masing menuntut haknya sementara tak ada titik seimbang yang mampu menengahi. Tampak jelaslah bahwa tragedi dalam kisah Rumah Kertas menjelma dalam keadaan dan kenyataan kita hari-hari ini. Bahkan bertubi-tubi kita alami.

Kita tertabrak karena mengejar kepentingan kita sendiri sementara orang-orang lain juga sedang mengalami tabrakan di tempat berbeda (bdk. kisah Bluma Lenon di bagian awal novel).

Hari-hari kita penuh tabrakan dan kita adalah korban atas kepentingan kita sendiri. Memang, cara termudah untuk menghindari tabrakan adalah kita tak usah memiliki kepentingan. Hanya saja, manusia yang tak memiliki kepentingan sebenarnya sedang berencana untuk membunuh dirinya sendiri.

Kenyataan lainnya, banyak dari kita, ketika menekuni apa yang disukai tak peduli pada apa yang ada di depannya. Tak peduli pada apa yang formal dan kaku. Tak menggubris penilaian orang lain yang sebenarnya juga memaksakan diri menilai padahal tak tahu betul apa yang akan dinilai. Akhirnya tabrakan terjadi dan begitulah keadaan lalu lintas hidup kita.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan dalam dunia yang penuh dengan konflik kepentingan?

Berkaca pada kisah Rumah Kertas, masing-masing kita bisa saja beristirahat pada ‘rumah’ kita sendiri. Pada apa yang kita senangi. Tentu dengan penyaluran tersebut, banyak masalah dapat diredam bahkan dicegah agar tak muncul ke permukaan.

Kita dapat sebebasnya menciptakan keindahan dalam hidup yang pada kenyataannya tak seindah harapan kita. Mungkin itulah arti seni.

Sesungguhnya, banyak yang bisa dilakukan dalam ‘rumah’ kita. Kita bisa mandi dengan ide sendiri, mencuci dengan pikiran sendiri, memasak dengan kemauan sendiri, makan dengan cara sendiri, atau tidur untuk memimpikan harapan sendiri.

Namun demikian, hari-hari ini kita menyaksikan berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini sangatlah memilukan. Banyaknya masalah dan konflik kepentingan bahkan sampai menyerang dan menggusur ‘rumah’ yang kita huni.

Ini tentu menjadi persoalan mendasar: bagaimana solusi yang sebenarnya baik, tetapi karena kedahsyatan masalah, bahkan menyerang dirinya sendiri. Hobi-hobi kita dan apa yang kita senangi dalam ruang lingkup seni kini sudah dicampuri orang-orang luar rumah.

Kita tak bisa mandi dengan santai, mencuci dengan pikiran sendiri, tak dapat memasak dengan cara sendiri, cara makan kita diatur, bahkan cara tidur dan mimpi kita pun diatur-atur. Lantas bagaimana mengatasi solusi di atas solusi? Tentu ini menjadi tugas kita bersama untuk memikirkan dan menyikapinya.

Dalam seni, orang berani mengorbankan banyak hal yang takut dikorbankan oleh banyak orang. Orang yang mencintai seni adalah orang-orang yang jujur pada diri sendiri.

Mereka berani menentang segala tirani kekuasaan dan membela keyakinannya sendiri. Dan hanya orang-orang semacam inilah yang berani berpikir sendiri dan tak takut pada hambatan-hambatan dalam mewujudkan mimpi mereka. Mereka berada di garda terdepan dalam mendorong kemajuan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.

Demikianlah, pada tataran ideal, novel Rumah Kertas mengajak kita untuk berani berpikir sendiri. Menciptakan seni kita sendiri.

Ketika kita berani berpikir sendiri, tindakan kita pun akan menunjukkan ciri khas tersendiri tanpa mengesampingkan nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan.

Berani melakukan hal baik yang kita inginkan sejauh tidak merugikan orang lain. Semacam simbiosis yang saling menguntungkan, dan yang terutama ialah tidak merugikan diri sendiri. Menciptakan lingkungan kita sendiri, menyapu halaman kita untuk ‘rumah’ kita yang asri. (*)

Komentar Anda?