Menu
Menu

Sorot mata gana itu diperlihatkan kepada semua orang. Inilah peringatan terakhir bagi si pencuri.


Oleh: Christiaan Rahmat |

Lahir di Laguboti, Kabupaten Toba pada tahun 1998. Menulis puisi, cerpen, esai. Saat ini tinggal dan bekerja di Kota Jambi. Kumpulan puisinya berjudul Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiriterbit pada tahun 2022. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen berjudul Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan.


Tomu mengisap rokoknya dalam-dalam sampai baranya meraih filter dan panas menyentuh bibirnya. Asapnya diembuskan kuat-kuat seolah dengan begitu segala masalah hidupnya akan menguap bersama asap itu.

Danau Toba. Tomu mendayung sampannya jauh ke tengah. Bahkan para pardoton tidak akan berlayar sejauh itu. Tomu mengambil waktu sejenak hanya untuk diam, merokok, merasakan angin danau, menyaksikan senja yang berlarian di lengkung cakrawala. Sebentar-sebentar ditatapnya gana di dalam sampan. Tomu mengingat-ingat kembali bagaimana ia bersama patung itu telah bertahun-tahun—menyambung puluhan tahun yang dipikul oleh ayahnya—menjadi penjaga kedamaian dan ketenteraman di Onan Harbangan.

***

Hari belum gelap sepenuhnya. Kilatan-kilatan senja masih tampak di balik-balik awan yang membuatnya seperti nyala lampu neon. Anak-anak di Onan Harbangan sibuk mencari-cari kaleng bekas, botol bekas, hingga potongan bambu. Pokoknya, barang-barang bekas yang melahirkan bunyi, mencipta keriuhan jika dipukul. Seorang di antara kerumunan bocah itu bahkan sengaja pergi ke dapur ibunya, dan memilih piring kaleng paling buruk. Bocah-bocah itu kini berkumpul tepat di ujung batas kampung. Dari sana, mereka mulai berjalan sambil memukul-mukul barang-barang bekas yang mereka pegang dengan tongkat kayu yang mereka patahkan dari dahan pohonnya atau yang telah jatuh berserakan di sekitar pohon yang mengitari kampung mereka.

Tinting ale! Mago haminjon ni Ama ni Balikkas!

Demikian anak-anak berseru sekuat yang mereka mampu. Perintah untuk melakukan tinting mereka terima tadi pagi dari Raja Patik. Semua orang perlu mengetahui, bahwa haminjon Bapak Balikkas telah kecurian. Mereka yang mendengar seruan dari anak-anak itu bersikap biasa saja. Besok atau lusa, si pencuri pasti mengaku, mendatangi rumah pemilik haminjon dan memberi alasan-alasan di balik tindakannya mencuri haminjon itu. Seperti kemarin, bisa jadi ada anak yang uang sekolahnya mendesak untuk segera dibayarkan.

Besok sudah berlalu. Lusa juga telah terlewati. Tapi tidak ada yang mengaku. Dalam lamunannya, Raja Patik mulai gusar. Ia mulai menimbang-nimbang cara terakhir untuk menyelesaikan perkara pencurian itu. Tapi, sungguhkah? Ah, sudah mulai hilangkah solidaritas orang-orang di kampung ini? Bukankah dulu mereka kompak bersisian menumbuk baion, yang kemudian mereka anyam menjadi lage yang terkenal sampai ke desa na ualu itu? Bukankah dulu mereka seerat anyaman lage yang membuat nama Onan Harbangan itu mahsyur. Onan Harbangan yang diresmikan langsung oleh Raja Sisingamangaraja XII, yang kelak dikenang oleh seantero negeri sebagai pemimpin Perang Batak yang dahsyat itu.

Raja Patik keluar dari lamunannya. Cara terakhir itu memang harus ditempuh. Tidak ada jalan lain. Dia segera mengutus seseorang pergi ke Kecamatan L. Menemui seorang bernama Tomu. Pemilik gana yang digunakan sebagai pengantar sumpah kepada Mulajadi Nabolon. Di hadapan gana itu, setiap orang harus mengucapkan sumpah. Siapa pun yang telah mencuri haminjon itu, segala yang buruk dari yang paling buruk akan ditimpakan kepadanya!

***

Tomu menggendong gana laiknya seorang bayi. Telinga gana dipasangi cabai merah sebagai anting-anting. Tomu menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, membakarnya lalu mulai berjalan menyusuri kampung, dari rumah di ujung yang satu ke rumah di ujung lain. Sorot mata gana itu diperlihatkan kepada semua orang. Inilah peringatan terakhir bagi si pencuri. Anak-anak yang kemarin malam mengumumkan berita pencurian itu berbondong-bondong hendak melihat Tomu dan gananya. Anak-anak itu gemetar mengingat cerita-cerita mengerikan yang meliputi gana, tapi tak kuasa menahan rasa penasarannya.

Tomu sudah mencapai rumah terujung di kampung itu. Belum ada pengakuan. Maka bersiaplah semua orang dewasa untuk melakukan sumpah gana sigadap. Disebut sigadap, karena di hadapan gana itu, mereka akan bersumpah bahwa siapa pun yang telah melakukan kejahatan itu, akan gadap, mati tersungkur saat itu juga. Tapi Tomu tak sedikit pun punya firasat, bahwa sore itulah ujung dari senjakala keyakinan yang telah dijaga selama berpuluh-puluh tahun, dan telah teruji mampu menjaga ketenteraman di Onan Harbangan.

Lasang, yang juga dikenal dengan nama Hesekiel, menolak bersumpah di hadapan gana.

“Tidak sekali-kali aku bersumpah di depan berhala!” seru Hesekiel. Ia lalu mengangkat Bibel tinggi-tinggi.

“Kalau aku harus bersumpah, inilah yang akan aku pegang. Di atasnyalah aku menyatakan sumpah. Atas nama Tuhan Yesus yang maha pengasih dan pemurah.”

Tomu melirik orang-orang di sekelilingnya dengan raut muka mencari jawaban atas kegilaan itu. Pada saat bersamaan, orang-orang berjalan ke arah Hesekiel, dan berdiri di belakangnya. Tanpa berkata-kata, menyatakan sikap yang sama: bersumpah dengan Bibel!

Pirhot, satu dari beberapa orang yang berada di luar barisan Hesekiel bertatapan dengan Tomu. Dia menggelengkan kepala. Menatap tajam ke arah Hesekiel lalu meludah ke tanah.

Bursik!” katanya kesal, lalu kembali menatap Tomu, memberi isyarat agar sumpah segera dilakukan.

Tomu belum mampu mencerna peristiwa itu sepenuhnya. Apa arti Bibel itu? Siapa Yesus yang dimaksud oleh Lasang? Kenapa Pirhot meludah-menajiskan Lasang? Tomu menepis kebingungannya, memantas-mantaskan diri lalu berkata bahwa Lasang dan kelompoknya bisa bersumpah dengan Bibel, tapi bunyi sumpahnya harus sama seperti yang diucapkan oleh mereka yang bersumpah di hadapan gana. Tidak ada lagi debat, dan sumpah dilanjutkan sampai orang terakhir. Sore itu pun usai. Tomu menerima uang masi demban yang sempat ditolaknya dari Raja Patik, lalu pulang ke Kecamatan L. Semua orang sudah mengangkat sumpah, tapi tak seorang pun yang mengaku, dan tak seorang juga yang mati di tempat.

***

Tomu mengira-ngira waktu. Jangan sampai hari kelewat gelap saat ia menepikan sampannya. Tomu meraih gana dan menggendongnya. Saat akan melemparnya ke danau, pertanyaan-pertanyaan dari hari kemarin masih berkelebatan di kepalanya. Jika si pencuri turut angkat sumpah sore itu, kenapa ia tidak mati, gadap pada saat itu juga?

Tomu mengingat-ingat kembali apa yang sempat diceritakan Pirhot padanya sebelum ia berbalik meninggalkan Onan Harbangan. Ihwal Yesus yang oleh Lasang dan kelompoknya sebut sebagai tuhan yang maha pengampun. Bahwa kejahatan paling jahat sekalipun akan diampuninya. Mencuri haminjon saudara sendiri barangkali cuma perkara ringan. Maka jika benar apa yang dikatakan Pirhot, dan pencuri itu ternyata seorang Kristen, mungkinkah tuhan mereka lekas-lekas memberi ampun, alih-alih menghukumnya karena telah merampas hak saudaranya sendiri?

Tomu tidak sedikitpun dikejutkan oleh kemusnahan takhayul, tapi keretakan semangat kebersamaan orang-orang Onan Harbangan masih sulit ia terima. Jika selama ini mereka bisa dieratkan oleh takhayul, kenapa sekarang mereka mau dipecah oleh tuhan yang tidak kelihatan?

Tomu mengakhiri riuh di kepalanya. Ditenggelamkannya gana ke danau. Anak-anak dari anak-anak terakhir yang menyaksikan gana itu di Onan Harbangan kelak hanya akan mendengar cerita dari orang tua mereka. Tidak ada lagi gana. Dan kepercayaan jadi teramat mahal. Jauh lebih mahal dibanding harga jual haminjon mereka yang juga rutin dicuri oleh entah siapa.[*]


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Kesaksian Mata Cecak – Cerpen A. Waritz Rovi
Pengadilan Terakhir – Cerpen Karel Čapek


4 thoughts on “Panakkok Gana”

  1. anggri berkata:

    alur nya bagus hanya saja, bahasa terlalu berat untuk dipahami, kemudian untuk end nya terlalu cepat mengambil keputusan sehingga puncak konfliknya kurang memuaskan

  2. Dari cerita ini yang telah saya baca sangat menarik sekali terlihat dari cover dan judul yang begitu terlihat menarik oleh pembaca serta dengan alur cerita yang dapat dirasakan oleh para pembaca.

  3. erlya berkata:

    sukaa bagus banget ceritanya

  4. azizah berkata:

    Wihh keren critanya asli saya baca sampe selesai

Komentar Anda?