Menu
Menu

Cecak itu betah di rumah Duya, karena ia senantiasa mendapat pelajaran dari Duya dan keluarganya.


Oleh: A. Warits Rovi |

Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media Nasional dan lokal antara lain: Kompas, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Bali Post, basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang , Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang,  Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak dan beberapa media on line. Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM 2015. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018).


Cecak jantan itu merapikan posisinya di balik lemari kayu yang tersampir ujung gorden. Sengaja berdiam di tempelan debu tebal yang berwarrna sama dengan kulitnya sebagai upaya penyamaran.

Matanya lurus menatap Duya yang sedang mengaduk air kuning bening dengan sedikit buih di gelas transparan. Warna kuning itu berasal dari bubuk kental, yang Duya tuang sebelumnya dari sebuah saset, dan saset itu telah ia lipat rapi dan disembunyikan di balik kutangnya.

Cecak itu mengira Duya sedang menyiapkan minuman lezat untuk suaminya. Tapi cecak itu bingung, kenapa wajah Duya sedikit tegang; ia selalu mengedar pandangan seolah khawatir ada yang tahu pada yang ia lakukan.

Cecak itu kemudian menenangkan diri kembali setelah ekornya sedikit bergrerak dan duburnya menjatuhkan kotoran hitam-putih. Ia tetap megira, Duya akan mempersembahkan kejutan kepada suaminya sepulang kerja sore itu, sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Cecak itu betah di rumah Duya, karena ia senantiasa mendapat pelajaran dari Duya dan keluarganya, ditambah lagi lokasi rumah itu berada di lereng bukit yang sedikit jauh dari pemukiman umum, membuat cecak itu semakin nyaman menikmati riak-riak kesunyian. Dan yang paling membuat cecak itu tak ingin pindah tempat, karena rumah Duya sering didatangi Arakoya—arwah tetua Duya—yang sering berbincang banyak hal dengan cecak itu, terutama masalah alur kehidupan manusia yang suatu saat pasti akan pindah dari alam jasad ke alam arwah.

Di rumah itu, si cecak sudah mulai hafal dan bisa menafsir beragam kegiatan yang dilakukan Duya dan suaminya. Setiap melihat Duya bercinta dengan suaminya, cecak itu biasa berbunyi, meniru moyangnya yang sejak zaman nabi Zakariya selalu ingin menunjukkan hal-hal yang dilakukan manusia kepada alam. Karena seringnya ia berbunyi, suami Duya sampai paham jika bunyi cecak itu adalah tanda sebuah ritme percintaan, pantaslah ia tersenyum setiap kali usai bercinta.

Sore mejelang magrib, suami Duya baru tiba. Ia langsung menenggak minuman yang Duya suguhkan setelah mengecup kening Duya sejenak. Duya tak berkata apa-apa, hanya tersenyum di dekatnya seraya mengelus bahu suaminya. Cecak jantan itu semakin iri, tak sabar untuk menemui betinanya, ingin bercerita banyak tentang keromantisan yang dilakukan manusia. Cecak itu bahagia. Dalam dugaannya, Duya adalah wanita paling setia kepada suaminya. Cecak itu baru merasakan hal ganjil ketika malam harinya, suami Duya merasakan sakit perut di dalam kamarnya, sedang Duya merasa kesal melihat suaminya baik-baik saja.

“Huh! Kenapa usahaku tidak berhasil? Mestinya malam ini dia sudah tidak bernyawa,” suara Duya geram, kepalan tangan kanannya meninju keras telapak tangan kirinya. Beberapa kali ia mengintip suaminya dari luar ruangan melalui celah jendela, tapi wajahnya kurang berkenan, sebab apa yang ia kehendaki tidak terjadi malam itu.

Cecak jantan itu beranjak ke dekat ventilasi, menyembunyikan tubuhnya di area gelap yang tak tersorot lampu, di area itu si cecak bisa melihat ke luar dan ke dalam ruangan, sesekali ia melihat Duya yang kesal dan sesekali melihat suami Duya yang terbaring dan berusaha menyembuhkan sakit perutnya pelan-pelan.

“Ternyata minuman yang kausuguhkan tadi tidak cocok untukku, Sayang. Minuman apa itu?” tanya suami Duya dari dalam.

“I… I.. Itu minumaaaaan, minuman jus lemon, Mas,” Duya terkejut dan grogi, ia berusaha mendekat ke pintu yang sedikit terbuka, dan menampakkan diri dengan wajah yang menunduk, menyembunyikan kegugupannya.

“Besok jangan buat jus itu lagi ya.”

“Iya, Mas!”

Malam itu Duya dan suaminya tidur tanpa percintaan, bahkan posisi Duya memunggungi suaminya. Cecak itu menatap heran dari sudut ventilasi, perlahan ia merayap ke belakang dapur, di sanalah beberapa saat sebelum isya, Duya membakar saset yang ia simpan dalam kutangnya. Duya keburu pergi, tak sadar jika saset itu hanya terbakar sebagian, sisanya yang sempat dilalap api menimbulkan bau yang menyengat, membuat cecak itu pening. Terbersit keinginan untuk menanyakan keganjilan itu kepada Arakoya, tapi si arwah berwibawa itu seminggu terakhir mulai tak pernah datang lagi ke rumah itu.

#

Sejak suami Duya pamit untuk pergi bekerja ke luar kota dua minggu lalu, cecak itu semakin menemukan banyak keganjilan di rumah itu. Kini ia pindah posisi ke balik kalender berdebu yang tergantung kaku pada paku karat, tepat di dekat meja yang ada di samping ranjang Duya, demi mengamati keganjilan-keganjilan yang terjadi lebih jelas.

Cecak itu sudah melihat lima lelaki yang dibawa Duya masuk ke rumah itu. Semua lelaki itu melakukan hal yang sama, mula-mula ia memberikan uang yang banyak kepada Duya, bercakap mesra di tubir ranjang, kemudian tidur setelah Duya memadamkan lampu, pagi-pagi ia bangun dalam keadaan tak berpakaian dengan tubuh lemas dan loyo. Dan Duya akan membuang banyak tisu ke dalam bak sampah, baunya amis mirip telur. Keduanya tersenyum seperti merasakan sebuah kepuasan. Kemudian Duya akan menyuruh lelaki itu untuk segera pergi. Katanya, demi keamanan.

Di balik kalender tua, cecak itu mulai terusik dengan keganjilan yang sering ia lihat. Ia kerap membisu sepanjang hari, sambil mengharap Arakoya datang ke rumah itu, untuk membicarakan keganjilan yang ia temui kepadanya. Tapi harapan tinggal harapan, si arwah sudah lama tak datang, seolah ia membenci rumah itu.

#

Di luar, cahaya senja menjamah kulit pohonan. Burung-burung menukik dalam senyap, persis ketika Duya menutup jendela rumahnya, lalu bergegas ke arah meja tempat biasa ia membuat minuman. Jarum jam rebah di angka lima. Sebentar lagi suaminya akan datang dari perantauan, sebagaimana percakapannya lewat telepon tadi siang. Cecak itu masih di balik kalender, dengan keresahannya sendiri.

Setelah mengamati keadaan sekitar, Duya mengeluarkan selembar bungkus tablet dari saku celananya. Lalu ia mengambil dua tablet di bagian paling ujung dan memasukkannya ke dalam minuman itu. Butiran itu langsung menuju dasar gelas, mengeluarkan gelembung-gelembung sangat kecil yang membuih ke permukaan.

“Bukankah tablet itu yang diberikan lelaki kekar semalam saat keduanya sedang bercakap mesra di tubir ranjang?” Cecak itu bertanya pada dirinya sendiri. “Lelaki itu kan sudah bilang kepada Duya bahwa itu adalah racun paling ampuh, kenapa ia malah memasukkan tablet itu ke dalam minuman?” Cecak itu semakin gelisah.

Menit-menit setelah itu, Duya duduk di kursi rotan, sebelah kakinya dilipat ke paha sebelahnya. Ia berusaha menyembunyikan wajah culasnya dengan cara membaca koran bekas, menunggu detik-detik suaminya datang. Dan tak ada yang ia inginkan kecuali suaminya minum racun itu dan menamatkan hidupnya malam itu juga. Si cecak mondar-mandir melihat kenyataan itu. Berkali-kali ia berbunyi, berharap ada yang bisa mendengar dan memahami suaranya, supaya racun itu tak mencelakai siapa pun. Tapi sia-sia, hanya ada lesapan sunyi, desir angin dan pecut lirih gorden ke samping lemari.

Saat jam di tembok menunjukkan pukul 17.21, terdengar derit daun pintu didorong, suami Duya datang menjinjing tiga kardus besar dan sebuah tas sesak ada di punggungnya. Duya langsung menaruh koran yang dibacanya begitu saja. Berlari ke arah suaminya sambil tersenyum pura-pura bahagia. Ia memeluk erat tubuh suaminya, mengecup keningnya dua kali. Suami Duya pun balas memeluk Duya, membelai-belai rambut Duya dengan lembut. Cecak jantan yang mengintip dari ujung kalender itu berbunyi panik sambil menggerak-gerakkan ekornya. Cecak itu bermaksud agar segelas minuman yang tadi dibuat Duya tak diminum suaminya. Bunyi cecak itu terus berlanjut, bagai patukan jarum besar menembus karung, membelah kesunyian magrib. Suami Duya merenggangkan pelukannya, ia menoleh ke arah cecak itu. Tatapnya lurus terpaku hingga ia melepas pelukannya. Ia ingat, cecak itu biasanya akan berbunyi ketika mereka selesai bercinta.

“Jujurlah padaku, selama aku di rantau, kau tidur dengan siapa?” suara suami Duya meninggi, tatap matanya tajam.

“Kamu jangan ngawur, Mas, jangan menuduh yang bukan-bukan,” Duya berbohong, matanya mulai sedikit redup.

Si cecak panik, ia berbunyi sedianya untuk memberi tanda, agar suami Duya tak meminum racun yang dibuat Duya, tapi suami Duya malah menduga lain.

“Aku yakin kamu pasti selingkuh!”

“Jangan sembarangan nuduh, Mas!”

“Aku punya bukti kuat. Bunyi cecak itu adalah tanda jika tuannya baru melakukan hubungan badan.”

Hari telah malam, cecak itu semakin panik ketika melihat Duya dan suaminya bertengkar. Ia segera menggeser tubuhnya ke bawah, ke balik kalender bagian tengah yang tak terlihat mata. Di sanalah ia bersembunyi, merasakan kesunyian malam yang panjang. Dari balik kalender itu, ia hanya mendengar ada suara tusukan, erangan sakit, tubuh yang rubuh, napas yang lepas dari badan, lalu ada gerak langkah kaki yang gontai, disusul suara pisau dilempar, lalu suara gelas, air diminum, benda-benda berjatuhan, suara tubuh jatuh lagi, suara erangan sakit lalu lagi-lagi terdengar napas terlepas dari badan.

Keesokan harinya, saat matahari menebar cahaya kekuningan dari balik jendela, perlahan cecak itu megeluarkan kepalanya dari bagian kalender, ingin melihat keadaan, gerangan apa yang terjadi semalam. Ternyata tubuh Duya sudah tak bernyawa, bersimbah darah amis, mungkin ia dibunuh oleh suaminya, dan suami Duya juga menggelepar tak bernyawa di lantai, mungkin setelah membunuh Duya, ia minum racun di gelas yang memang disediakan oleh Duya, dan mungkin ia mengira minuman itu jus buah.

Si cecak jantan berada di puncak kepanikannya. Ia merayap ke celah ventilasi dengan tubuh gemetar. Tak disangka, dari balik lubang ventilasi itu, ia melihat Arakoya di alam arwah, sedang duduk bersila mendamaikan arwah Duya dan arwah suaminya yang masih terus berselisih di alam kematian.

“Kenapa kamu percaya suara cecak? Sejak zaman nabi Zakariya, cecak memang suka menipu,” suara Arakoya membuat cecak jantan itu seolah tak berhak hidup di dunia.

Gaptim, 04.08.19


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga CERPEN TERJEMAHAN di bacapetra.co.

Komentar Anda?