Menu
Menu

Oleh: Triskaidekaman |

Penulis paruh waktu yang menetap di Jakarta. Novel pertamanya “Buku Panduan Matematika Terapan” (Gramedia Pustaka Utama, 2018) adalah pemenang I 2017 Unnes International Novel Writing Contest, terpilih dalam daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2017/18 Kategori Karya Perdana/Kedua, dan daftar pendek Karya Sastra Prosa Terbaik Tempo 2018. Novel keduanya Cara Berbahagia Tanpa Kepala (Gramedia Pustaka Utama, 2019) termasuk dalam daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2018/19 Kategori Prosa. Beberapa tulisannya yang lain pernah memenangkan kompetisi menulis di Storial dan Bookslife. Bisa dicegat di Instagram /triskaidekaman dan Twitter @triskaidekaman, di mana dia lebih terlihat seperti komentator balapan Formula 1 daripada manusia.


[sisifos (adj.)]

Adalah salahmu
kala perasat kadang-kadang lekang.
Namun kauyakin bukan salahmu
kala beban tak henti membandang.

Gelinding matahari seperti hasrat khianat:
dibasmi jingga ufuk barat
kausiasatkan balas dendam semalaman,
tetapi lagi-lagi medali perunggu:
Utarid, Zohrah, baru pelanting jarimu
yang putus tergigit.

Demikian juga dengan keringat.
Dan tenggat.
Dan akibat.
Dan niatmu bertobat.

Yang selalu berulang bukanlah sejarah,
melainkan
segala-galanya.

Bukan hidup namanya kalau adil:
matahari selalu kembali lagi
musim selalu datang lagi
tetapi lahir sampai mati
kita cuma garis lurus,
cuma bisa ditempuh satu kali.

Kami terbiasa miring dalam timpang,
tetapi engkau tidak.
Dalam naung ringkukmu yang makin lekang,
kepal marahmu membelah langit:
adakah saatnya
Persefon akan maafkan aku?
Jawabku: tidak, tidak, dan tidak
Tidak akan, sampai busur katumbiri
bisa berdiri sendiri
bujur kaku, dua kaki.

Jakarta, 29/03/2019

 

[lazarus (adj.)]

Kelabu kedap membirai sebentuk wajah
terbungkus maut, kain, dan tanah
sudah empat hari.
Sedengus napas jagapati di hidungmu
bertanya-tanya,
“Warna apakah engkau tadinya?”
sementara yang kauingat hanya
warna karangan bunga dan mata istrimu.

Bukan engkau yang minta
berkas kematianmu ditinjau ulang, tetapi
mereka gigih merongrongkan wasangka:
“Katakan mengapa harus engkau yang kami pilih!”
Jagapati mengajakmu
bertukar napas.
Engkau tak punya,
jadi kaubalas dengan sodoran pipi kiri.

Apakah karena mereka mati berdiri
dan engkau mati berlari?
Apakah karena mereka berjalan dengan kaki
dan engkau melayang sepenuh hati?
Apakah karena mereka mati di hari biasa
dan engkau di hari Jumat?

Pada akhirnya semua kelabu akan
menghitam.
Atau memutih.
Pada akhirnya semua ombang-ambing akan
berpihak.
Pada akhirnya selalu ada yang
bersedih
apabila engkau
menerima kesempatan ketiga itu.
Pada akhirnya selalu akan ada yang
membunuhmu ulang
karena mati yang cuma satu kali itu
tidaklah
menarik.

Jakarta, 26/03/2019

 

[orientasi (n.)]

Camkan ini, tepat di kilap kening berpeluhmu:
Ucapanmu fana. Ucapan dia
sama fananya.
Kita kamerad yang sefana kepala bayi:
giat melawan kempit kutang ibu
yang mengaku-ngaku tungku,
“Simpan kepala Plath ini.
Buat sangumu esok hari.”

Banyak orang akan
lupa bedanya Lidah dan Gulma
liar, meliuk, cepat berpinak
tangan-tangan, juga tang-tang
bisa cerabut lidahmu
sampai akarnya, tapi
gulma-gulma, juga tuma-tuma
runduk dalam sekam,
rajalelakan dusta dalam lakon padi.

Di balik lekuk rakung cekungmu yang bukan Adam,
sisa lidah purbamu
buntung, tercabik, gelisah
meronta pada puting kerontang ibumu
—yang kausangka kacang
dan mengekarlah tulang
dalam sekujur daging kerdilnya.

Maka telinga Gogh-mu
akan kian nyalang
pada kelupas-kelupas seulas bawang
menyesap simbah air matamu
seperti lintah bergigi empat:
“Tiga hal yang pasti di dunia ini:
hidup, mati, dan
dikhianati setidaknya satu kali.”

Janji-janji kaset rusak
usang, basi, rumpang, berulang
berdesakan minta tanda terima.
Larik-larik urat di pucuk labirin
memintalkan pukat,
menyumpalkan pikat,
“Kami akan lebih baik dari yang sebelumnya.”

Muak pada nasi retorika yang jadi bubur,
kauhabiskan sore pekan senyap
dengan satu tangan di pundak Atlas,
“Aku ingin cerita sedikit padamu.”
Atlas tak menjawab
—tenang ia mengecupmu,
sambil menyerahkan bola besar itu.

Jakarta, 01/04/2019

 

[thanksgiving]

soal mencari zona nyaman:
ini ceritaku.

di palung,
terlalu padat
tetes keringat tak cukup banyak untuk
merendam dada ayam tanpa kulit yang
kaubeli di pasar tradisional.

di tengah,
rasa piramida kentara:
bawah merindukan surya,
atas merindukan bumi
tetapi aku tak rindu siapa-siapa,
siapa-siapa juga tak rindu padaku.
kutempelkan syak wasangka di wesel,
menyuap sup ayam tanpa garam
untuk bungkam mulut-mulut celopar
biar kelunya menggelepar.

di puncak,
tempat paling pas untuk main
ayam lawan musang
sembunyikan senjata tak tertebak di balik
setiap jaket bulu ketika
melewati rumah jagal
dalam pincang sunyi yang
kalau bergerak sakit sekali.

bangkit dari palung,
menjegal sampai puncak,
tetapi sup ayam itu
tak juga ada karena
ini bukan musim ayam.

denyut nyerimu minta direbus.

pedih nelangsamu minta ditungku.

tunggu lima menit,
aduk rata,
selamat makan.

pertengahan November ini hangat,
dia tetanggamu,
terima kasih banyak, sup ini enak.

Jakarta, 21/07/2018

 

[gaudeamus igitur]

Apa pun akan kaulakukan:

1. Mencampakkan kutang dan cawat di lemari. Ada aturan mudah di mata kuliah pembunuh itu: sang profesor tak pernah menyentuh mahasiswa perempuan dengan tangannya. Dia menyentuh, dalam-dalam, dengan matanya. Uang sewa dibayar kontan: B plus sampai A minus. Kau tak ingat apa yang kaulakukan; itu satu-satunya A plus-mu di semester lalu.

2. Membakar buku modul pembelajaran. Suhu seratus dua puluh satu derajat, lulus autoklaf. Aduk rata dalam segelas penuh air mata. Minum setiap malam, mulai dari 14 hari sebelum ujian. Kaudapat resep ini dari senior—sudah tahun keenam kuliah, sekarang malah sibuk di lapak jus, kantin kampus. Kau—dan semua mahasiswa lain—tak berani bertanya bagaimana nasib status kemahasiswaannya.

3. Menghadiri klub belajar bersama, lebur berbagai kampus, empat jam sehari. Awal bulan: meja paling besar, smoking area, kopi dua shot, sebotol anggur 1958, kentang dan ikan, sepiring buat berempat. Akhir bulan: pindah tempat ke salah satu nisan terbesar di Karet Bivak, yang di depannya sudah terhampar kursi, tertata rapi seakan itu kelas sungguhan. Kalian bertanya-tanya, merinding dan menulis begitu jelek: apakah kalian sedang minta pertanggungjawaban mengapa beliau menciptakan ilmu yang begitu keriting, atau membiarkan ketakutan kalian terhadap hantu bersanding dengan ketakutan tak lulus ujian.

4. Menyimpan salinan soal ujian tahun 2001, 2004, 2007, 2010, 2013, dan 2016; hanya untuk mendapati semuanya sama dari nomor satu sampai terakhir. Jawaban senior berbeda-beda: mungkin karena mereka beda-beda kepintaran, juga karena pengaruh zaman. Kau suka dengan soal ujian tahun 2008 dan 2012 yang beda sendiri dan tak pernah diulang dua kali. Sabtu berselang, kau mendengar kisah lama tentang seangkatan yang semua tak lulus kecuali satu orang—dan pekerjaannya sekarang tak sesuai dengan jurusanmu.

5. Menghadiri mancakrida semester genap; ada pengumuman bahwa otak pendiri fakultasmu—yang katanya serbabisa dan genius—telah diabadikan di museum Iptek di Taman Mini. Terlalu jauh dari kos-kosan, kau memutuskan tidak usah datang—tak perlu buang uang untuk bualan begitu. Kamu memilih akhir pekan paling panjang, mendaftar karyawisata untuk anak-anak seragam putih biru; hanya untuk mendapati bahwa pendiri fakultasmu tidak pernah mengajar mata kuliah itu—mata kuliah yang sudah kamu ambil untuk ketiga kalinya, D plus dan D plus.

6. Merampok dompet maba paling lugu—isinya cuma dua ratus ribu—demi menambal lubang kebodohanmu. Uang yang seharusnya kaupakai untuk mendaftar semester ganjil malah kaupakai untuk beli indomie dan beli tiket pulang.

7. Melampiaskan kejatuhanmu dalam ketidaklulusan yang saru memisahkan C minus dan D plus. Kautuliskan begitu banyak kata mengapa di mana pun: tembok kos-kosan, dipan tempat tidur, pesan singkat, surel, obrolan daring, media sosial, buku catatan, lembar pengesahan, surat penolakan. Juniormu membukukannya, membaca berulang-ulang: sejenis kitab Ratapan versi akademis.

8. Menerapkan apa saja yang dibilang majalah tentang “cara meningkatkan kecerdasan dalam waktu singkat”. Kau tak lagi peduli masuk-tak masuk akalnya sebuah tips: berlatih musik, mengurangi vetsin, menambah bubuk lada, minum ginkgo biloba yang diseduh kopi, bermain sudoku, tidur delapan jam sehari (dalam mimpi), atau minum cairan mani milik profesor (yang kebetulan juga dosenmu).

Apa pun akan kaulakukan
sejak Mama hanya mau tahu nilai-nilaimu,
dan Papa hanya mau tahu kapan kamu lulus.

Apa pun akan.

Kaulakukan.

Jakarta, 17/08/2018


Ilustrasi: Foto karya Kaka Ited

Baca juga PUISI TERJEMAHAN di rubrik TERJEMAHAN.

Komentar Anda?