Menu
Menu

“Nyaris Lewat Tengah Malam” adalah satu dari empat puisi di bacapetra.co edisi pertama bulan Juli ini. Selamat menikmati!


Oleh: Zulkifli Songyanan |

Lahir di Tasikmalaya, 02 Juni 1990. Menulis puisi, esai, berita, dan iklan. “Kartu Pos dari Banda Neira” (2016) adalah kumpulan puisinya yang pertama. Saat ini tinggal dan bekerja di Jakarta.


Hasrat dan Kehendak

Beri aku hijau rumput segar
biru laut rindu
garis putih fajar
sebelum melukis kelabu.

Beri aku jerit ngilu batu-batu
sedu tertahan seorang ibu
sayup bisikan wahyu
sebelum melantunkan sebuah lagu.

Beri aku kertas luas lengang
kuas-kuas ilalang
kata-kata ngeri
demi merampungkan puisi ini.

 

Nyaris Lewat Tengah Malam

1/
Nyaris lewat tengah malam
kuhikmati nasibku
di bawah guyuran
——-cahaya hujan.

Usia baru lewat 27, syukur
——-(atau seharusnya rugi)
aku belum memasuki
——-negeri orang mati.

——-Di luar diri
ada kudengar
——-derum kendaraan
bikin ingar
——-kegelapan.

Cuaca amat gerah
——-dan insomnia.
Kota dan perilaku manusia
——-seolah baru tercipta
dari segala kisah
——-ihwal neraka.

Lalu ada juga kudengar
——-dalam diriku
detak jam demikian ringan
——-menembusi kesunyian.
Jarum-jarumnya yang merah
——-bahkan tampak jadi lebih tajam
tiap kali memandang
——-baris-baris puisiku
——-yang terancam.

Jam berdentang cuma sekali.
Takdir baru digelar
sehabis gema dan kesenyapan ini.

2/
Usia baru lewat 27, memang.
Namun tak jarang
bentangan hidup terasa demikian panjang
——-dan menjemukan.

Padahal ada sejumlah perjalanan
dengan pijar fajar dan rona senja keemasan;
peta demi peta, warna demi warna;
serta aneka suara yang menyibakkan
——-bermacam aib dan rahasia;

ada juga lembar-lembar sumber pengetahuan;
nama-nama perempuan dan tawa;
masa-masa yang getir dan menakjubkan;
bahkan agama—segala yang terasa ganjil
——-dan membosankan.

Sungguh segalanya terasa ganjil dan membosankan.

Mendadak aku sulit terpesona lagi pada apa pun.
Di sini dan kini. Jam sudah lewat tengah malam
——-segala yang kupandang
—————dan segala yang kupandang
tiba-tiba luruh, perlahan
bagai luruhnya penyesalan
——-dari jiwa seorang Adam.

Sungguh aku tak kuasa mengagumi apa pun sekarang.
——-Kecuali Tuhan dan air mata.
Maut dan kebaikan
—————manusia.

Segala yang tampak
menjelma jadi ilusi.
Tak terkecuali
baris-baris puisi ini.

3/
Maka, kalaulah sajak ini harus segera kuakhiri
——-meski usia 27 baru saja kulewati
tentu akan kutulis satu keinginan muluk begini:
——-Puisiku tak bakal mati.
——-Puisiku tak boleh mati.
——-Puisiku tak bakal boleh mati.
Walau telah lewat tengah malam.

Hanya, cukuplah hal demikian kukatakan pada maut
——-bayang-bayang diriku yang sejati.
Naungan yang memberi kasih dan pisaunya
——-ke mana pun aku pergi.

 

Restorasi Orang Mati

Lengan pejal bulan April yang pemurah
jembatan jiwaku.

Bentangan tengadah dan keluasan biru
——-yang merunduk
membangkitkan bunga duka
sekaligus arwah tulus
——-puisiku.

Aku tengah mensyukuri hidup
saat kubayangkan maut
melakukan hal serupa
pada rahasia dan kegelapan
——-kasih manusia
serta julangan teguh
——-kesementaraan.

Sedang tiap kali pagi yang jernih
menyulih embun dari kelopak mataku
kicau burung-burung meminjam keriangan
——-nyanyian bengis takdir hidupku
aku bergegas mengembalikan
dosa dan perasaanku
——-kepada air dan api
——-jiwa langit dan bumi
——-serta perkara
——-yang azali.

Setelah lengan pejal bulan April yang pemurah
tertatih menghimpun reruntuhan diriku
sebongkah pualam terpancang atas jiwaku

juru nasib mulai menatah namaku…

 

Sudah Lama Aku Tak Menulis Sajak Cinta

Sudah lama aku tak menulis sajak cinta
terlebih saat hari-hari terakhir bulan September
menegaskan dirinya sebagai sipir penjara:
gemar meludah dan penuh curiga.

Di hatiku, memang sempat berlangsung
musim bunga. Namun negeri yang kutinggali
juga penderitaan rakyatnya yang tak kupahami
hanya mampu menumbuhkan bunga api.
——-Kuntum-kuntum bunga api.

Terkenang padamu, jiwaku hangus
tiap kali hendak menulis sajak cinta.

Di televisi, seorang pemimpin masih sibuk
mendustai dirinya sendiri. Sebuah gunung
diramalkan bakal meledak sebentar lagi
——-bagai amarah sebuah negeri.
Namun jutaan orang masih akan terus turun ke jalanan
menyerukan nama Tuhan, menghendaki perubahan.

Negeriku, betapa lembut kau menggubah hatiku
dari sebongkah batu penuh lumut
——-menjadi sebilah belati.


Ilustrasi diolah dari foto Kaka Ited

Komentar Anda?