Menu
Menu

Keretamu saat itu beda jauh dengan kereta yang kau tumpangi saat ini. Tiap penumpang dalam kereta yang sekarang ini sudah punya tempat duduk masing-masing.


Oleh: Maria Antiona SFS |

Sr. Maria Antonia SFS lahir di Klaten 14 Februari 1948. Lulus Tingkat III IKIP Negeri Solo Jurusan Bahasa Indonesia. Cerita pendeknya pernah dimuat di Harian Suara Merdeka, Kompas Digital, dan berbagai majalah. Kumpulan cerita pendeknya yang baru terbit berjudul Kutapaki Jalan-Mu (Obor, 2023).


Engkau duduk dengan manis setelah portir itu menaruh koper kecilmu di atas tempat duduk, dan engkau memberikan sejumlah uang kepadanya serta mengucapkan terima kasih. Sekali lagi kau periksa kursimu, apakah benar sesuai dengan nomor yang tertulis dalam tiket, dan ternyata memang benar. Beberapa penumpang yang naik di gerbong itu masih mengurus bawaannya. Tak lama kemudian kereta api itu melanjutkan perjalanan.

Engkau lega bahwa dirimu telah duduk dengan nyaman di kursi kereta api di samping jendela, dan di sebelahmu tak ada penumpang. Anakmu telah memberi tahumu lewat WhatsApp bahwa kau tak perlu terburu-buru melihat cucumu kalau tak ada yang mengantarmu ke Jakarta. Bahkan menantumu juga sudah mengirimkan foto cucumu, cucu pertama, bayi laki-laki yang nampak lucu. Tapi kau memaksakan diri juga untuk pergi. Diantar ke stasiun kota oleh anak tetanggamu yang sejak kecil suka main ke rumahmu.

“Aku hanya perlu duduk sekitar delapan jam dan akan sampai di stasiun Gambir. Engkau bisa menjemputku di situ, lalu… beres sudah,” begitu kau bilang pada anakmu. Ia dengan berat hati menyetujuinya. “Ibu tidak usah membawa apa-apa ya. Bawa baju saja seperlunya. Satu koper kecil cukup. Supaya Ibu tidak ribet dalam perjalanan.” Engkau menuruti kata anakmu. Satu koper kecil dan tas yang kau gantungkan di pundak. Itu saja.

Kini kau leluasa memandang ke luar jendela. Hamparan sawah menghijau. Kadang berseling dengan rumah-rumah kumuh di sepanjang tepi rel kereta api. Atau makam-makam yang ada di areal persawahan. Lalu langit yang biru kala itu. Pikiranmu mengembara ke mana-mana, ke masa silam. Tapi aku hanya mau mengambil sepotong saja dari pengembaraanmu itu. Sepotong yang ada sedikit hubungan dengan kereta api.

Siang itu kau naik kereta api dari Solo untuk pulang ke kampungmu. Sebulan sekali kau pulang kampung untuk meminta kepada orang tuamu biaya hidup untuk satu bulan berikutnya. Meski dengan susah payah kau bertekad menyelesaikan kuliahmu karena hanya dengan selembar ijazah yang akan kau dapatkan itu, kau akan menggantungkan peruntunganmu untuk mendapatkan pekerjaan. “Bapak tak akan membedakan anak laki-laki atau anak perempuan. Semua harus sekolah supaya nantinya dapat mencari rezekinya masing-masing. Bapak tidak bisa memberikan warisan apapun.”

Di kampus, kau memang punya perasaan minder. Kau lihat teman-teman gadismu selalu lebih unggul dari dirimu. Entah itu lebih cantik, lebih berwarna penampilannya, atau lebih pandai dalam aneka mata kuliahnya. Lalu kau merasa bahwa tak akan ada seorang teman laki-laki yang tertarik padamu. Kau sendiri sangat tertarik kepada seorang teman laki-laki. Dia mahasiswa tugas belajar. Tapi dengan cemas kau memendam dalam-dalam rasa hatimu itu. Kau takut menuai kecewa. Siapakah aku ini sehingga berharap laki-laki itu tertarik padaku? Begitu pikirmu saat itu.

Bahkan kau diam-diam juga memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Celana panjangnya selalu warna gelap. Kehitaman, begitulah. Kemejanya, kemeja lengan pendek. Ada yang berwarna putih, jambon, biru muda, juga ada yang kotak-kotak besar. Kemeja kotak-kotak besar yang sedang ngetren saat itu. Di matamu kemeja-kemeja itu seperti punya cahaya. Warnanya begitu enak dipandang. Kemeja jambon atau merah jambu itu tidak terasa norak, tapi lembut, seperti tersenyum. Lalu biru muda itu juga bukan biru langit, bukan pula biru laut. Biru kulit telur bebek? Juga bukan. Kulit telur bebek terkesan kusam. Tapi biru kemeja Sunardi itu biru muda yang berbinar-binar. Diam-diam kau juga mengartikan namanya. Nama yang sederhana itu. Sunar kau artikan sebagai sinar. Di, kau artikan sebagai adi atau indah. Sinar yang indah. Lalu diam-diam kau tersenyum dalam hati.

Dia laki-laki yang cukup tinggi. Kau membayangkan ujung kepalamu hanya akan sejajar dengan pundaknya bila kau berdiri di sampingnya. Kulitnya kuning bersih, tidak seperti kulitmu yang kecoklatan dan mungkin tidak halus karena engkau biasa mandi dengan sabun cuci. Kau juga sangat mengagumi tangannya yang ramping dan jari-jarinya yang panjang. Kau lalu melihat jari-jarimu sendiri yang pendek dan kokoh, padahal kau menginginkan jari-jari yang lentik dan terkesan rapuh.

Kau sangat senang bila dia meminjam buku catatanmu. Sesekali dia memang tidak masuk kuliah. Kau dengar karena ada urusan dengan pekerjaannya. “Kau pinjam ke teman lain saja. Catatanku biasa tidak lengkap.” “Itu dia, aku pinjam bukumu karena aku mau melengkapinya,” katanya sambil tersenyum dan mengambil buku yang kau sodorkan ke atas mejanya. Kau merasa senang dengan ucapannya, tapi juga menggerutu dalam hati. Senang karena mengira catatanmu cukup berharga sehingga pantas untuk dipinjam. Menggerutu karena dugaanmu keliru. Dan ketika ia mengembalikan bukumu, kau melihat tambahan-tambahan dengan tulisannya yang bagus, rapi, nyaman dibaca.

Dan siang itu, ketika kau berebut masuk ke pintu kereta api, satu kakimu yang sudah mencapai pijakan itu hampir saja terlepas dari pijakan karena kaki lain yang mendesak kakimu. Tapi tangan yang terulur segera menarikmu masuk gerbong sehingga kau selamat, sementara peluit sudah berbunyi tanda kereta mau melanjutkan perjalanannya. Keretamu saat itu beda jauh dengan kereta yang kau tumpangi saat ini. Tiap penumpang dalam kereta yang sekarang ini sudah punya tempat duduk masing-masing. Tidak perlu berebut. Kereta juga baru akan diberangkatkan kembali sesudah semua pintu ditutup. Keretamu yang dulu itu tidak menutup pintunya saat melanjutkan perjalanan. Bahkan sambungan gerbong digunakan juga oleh penumpang untuk berdiri. Tidak ada jaminan dan nomor untuk mendapatkan kursi.

“Widya, itu tadi sangat berbahaya.” Kau menoleh kepada si empunya suara, yang tadi mengulurkan tangannya untukmu. Suara itu sudah akrab di telingamu. Kau akhirnya melihat bahwa si empunya tangan dan suara itu adalah Sunardi. Ia segera menarikmu ke dua kursi yang masih kosong. Kau masih diam karena membayangkan kecelakaan yang bisa saja menimpamu. Kau terjatuh dan entah bagaimana kelanjutannya, jika tidak ada tangan yang menarikmu. Setetes air jatuh dari sudut matamu. Lalu setetes lagi, lagi dan lagi. Sunardi memberikan sapu tangan. “Pakailah, ini masih bersih. Belum kupakai.” Kau terima sapu tangan itu dan mengusap air matamu. Kau tidak pernah membawa sapu tangan karena tidak punya. Kau menangis karena merasa begitu banyak hal yang harus kau tanggung untuk bisa menyelesaikan kuliahmu. “Andai saja aku masih punya uang untuk naik becak. Pasti aku tak akan terlambat sampai di stasiun ini,” begitu pikirmu, dan kau menahan isak tangismu.

“Sudahlah, jangan menangis. Tersenyumlah. Kau manis sekali kalau tersenyum.” Sunardi membisikkan kata-kata itu di depan telingamu. Kau terpana, kaget, dan salah tingkah. Apalagi ketika ia merengkuh bahumu sekejap, menatapmu, dan tersenyum. “Kau mau ke mana?” Kau bertanya kepadanya untuk menyembunyikan gugupmu. “Pulang kampung” jawabnya. “Kau sendiri mau ke mana?” “Sama, aku juga mau pulang kampung.” Kau isi kebersamaanmu di gerbong itu dengan percakapan ringan. Tahu-tahu kota Klaten sudah dekat. Kau akan segera turun, dan Sunardi melanjutkan perjalanannya ke Yogya.

Sejak itu hari-harimu di kampus serasa penuh bunga, penuh warna. Kau tahu ada seseorang yang memperhatikan dirimu.  Meski sebenarnya keadaan masih tetap sama. Kau tak pernah punya cukup uang. Meski untuk biaya makanmu sehari-hari sekalipun. Tapi waktu terus berputar, berlalu. Kebahagiaan dan kegembiraan terus mendekatimu. Sampai waktu perkuliahan kalian selesai. Dan Sunardi dengan sederhana bertanya kepadamu: “Widya, maukah kau menjadi istriku?” Kau juga menjawab dengan sederhana: “Ya, aku mau.”

Tujuh tahun pernikahanmu, belum juga berkunjung si buah hati. Kau merasa sepi meski tetap bersyukur atas cinta dalam rumah tanggamu. Pada tahun yang ke delapan lahirlah anak pertamamu. Seorang bayi laki-laki yang menghapus sepimu, dan membawa suka cita dalam hidupmu. Kebahagiaan mengasuh, mendampingi, mendidik, hari demi hari, tahun demi tahun anak tunggalmu. Sampai ia beranjak remaja, SMP kelas tiga. Duka itu bagai hujan badai yang datang tanpa tanda-tanda. Suamimu meninggal di sampingmu tanpa kau tahu. Hanya saat kau terbangun dari tidur, malam terasa begitu sepi. Tak kau dengar suara apa pun. Juga suara napas suamimu. Atau gerak tubuhnya. Suamimu terbujur rapi dengan kedua tangan mengatup di atas dada. Kau bangunkan dia, tapi ia tetap diam saja. Dengan gugup kau ketuk pintu rumah tetanggamu. Mohon bantuan memanggil dokter. Ketika dokter datang dan memeriksa, suamimu dinyatakan meninggal dunia karena serangan jantung. Kau berduka cukup lama. Sering kau putar bayangan kebersamaanmu dengan Sunardi kala di kampus dulu.

Tapi kau sadar untuk bangkit dari dukamu. Menyongsong masa depan, bukan meratapi masa lalu. Khususnya untuk anakmu. Dengan bersemangat kau mengusahakan pendidikannya. Sampai ia berhasil, sampai mendapat pekerjaan yang menjanjikan. Engkau kembali memeluk suka. Sesudahnya beberapa tahun kemudian kau dihinggapi rasa gelisah. Jejaka tercintamu tak juga kunjung menikah. Toh saat itu akhirnya datang juga. Seorang gadis manis menjadi menantumu. Kau berharap segera punya cucu. Tapi kau harus sabar, lima tahun baru cucu yang kau tunggu itu hadir, membawa binar-binar bahagia di hatimu.

Kau dengar pengumuman bahwa kereta akan segera memasuki stasiun Gambir.

Hari mulai senja. Kereta semakin pelan berjalan, sampai berhenti dengan sempurna. Seorang portir mendekatimu. Kau tunjukkan barang bawaanmu. Hanya satu koper kecil. Dia lalu menggandeng tanganmu karena melihat kau berjalan sedikit terhuyung. Apa lagi banyak orang lalu-lalang mengejar kebutuhan masing-masing. Dan… kau melihat anakmu yang menjemput. Kau merasa berada lagi di puncak bahagia. Dengan tersenyum kau ulurkan uang dan berterima kasih kepada portir.

“Mari Bu …, mobilnya ada di sebelah sana,” kata anakmu. Diangkatnya koper kecilmu dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menggandeng tanganmu. Kau terus tersenyum. Meresapkan kebahagiaan yang tengah kau dapati saat ini. Sambil jauh di lubuk hatimu, kau tetap bersiap untuk menerima duka, bila ia datang bertandang lagi dalam hidupmu.[*]


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Bejo Menanti
Tentang Sajak Huruf Tak Cukup


5 thoughts on “Dari Balik Jendela Kereta”

  1. putri pipiana berkata:

    terima kasih suster, cerita yang terkesan, ijin menganalisis untuk tugas ya suster.

  2. Swidati Geri berkata:

    Ceritanya singkat, namun betul-betul bisa membuat pembaca seolah-olah masuk ke dalam cerita itu.

    1. Sr. Antonia SFS berkata:

      Terima kasih ….

    2. Sr. Antonia SFS berkata:

      Terima kasih…

  3. Octavia berkata:

    Terima kasih suster ceritanya indah

Komentar Anda?