Menu
Menu

Bejo selalu menanti, tapi waktu berasa singkat dan penantian selalu saja terasa panjang. Bejo Menanti.


Oleh: Fajar Satriyo |

Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan studi di program Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan tergabung di Teater Gapus Surabaya, kini menjadi jurnalis di Jakarta. Buku pertamanya adalah kumpulan cerpen berjudul Rona Merah (Pagan Press, 2022). Bejo Menanti.


Bagaimanapun Bejo tidak ingin mati sebelum menyelesaikan tugasnya. Menyelesaikan gambar dari satu bilik bak truk yang lama ditunggunya. Pagi berubah siang lalu menjadi malam. Dari satu penantian ke penantian lain yang janggal hingga ia sendiri pun lupa sudah berapa lama menanti.

Mungkin saja sketsa yang telah dibuat sudah memudar. Atau baknya telah diganti dengan bak baru. Tapi gambaran itu masih melekat di kepala; setiap garis, sudut, dan ketebalannya. Tak akan pernah lekang dalam ingatanku, pikir Bejo dalam penantiannya.

Bengkel itu kumal, sekumal pemiliknya, dengan coretan-coretan yang memenuhi dinding menutupi sketsa seorang gadis yang kini wajahnya tampak berantakan tertutup tulisan. Bejo yang mengenakan celana jeans belel yang entah dulu berwarna apa saat dibeli—mungkin biru dongker atau abu-abu, akan menyambut para sopir truk yang singgah ke bengkel dengan sebungkus kretek cap jagat warna kuning.

Mereka akan menyeduh pembicaraan mengenai perkiraan kondisi ombak apakah rawan dilewati atau tidak dengan muatan penuh di bak truk mereka. Biasanya ketika penat melanda mereka akan menggelar tikar, bermain gaple dan mempertaruhkan beberapa lembar uang yang ada di dompet. Tak jarang para sopir itu mampir hanya sekadar kencing dan berak.

Kekumalan bengkel dan Bejo terjadi beberapa tahun silam pada masa paceklik, saat gerakan-gerakan penurunan pembesar terus tersiar. Sebuah truk berwarna kuning pudar karena lama terpampang cahaya matahari berhenti di depan bengkel Bejo yang dulunya menjual onderdil.

“Truk ini butuh sebuah gambar, bukan perawatan sebenarnya,” ungkap si sopir dengan wajah muram, menghampiri Bejo.

Bejo tak mengindahkan gumaman si sopir, karena tak sekali dua kali orang datang ke bengkelnya berkata demikian. Ia tetap melanjutkan tidur siangnya di kursi bambu di bawah rindangnya pohon jambu.

“Seandainya saja ada yang dapat menggambar di bak truk belakang itu, berapa pun aku rela membayar,” Bejo seperti mendengar desingan lebah yang dahsyat sehingga mengacaukan tidur siangnya yang menyerupai tidur beruang kutub di musim dingin.

“Apa yang perlu kulakukan?” tanyanya yang terhenyak bangun dari kursi bambu malasnya.

Keduanya kini saling memandang dalam satu transaksi yang aneh tanpa saling berbicara, tapi mengerti apa yang dimaksud satu sama lain. Setelah beberapa menit transaksi itu berakhir, saat sang sopir yang sudah keriput dan wajahnya penuh oli yang bercampur daki mengelap keringat yang bercucur dari dahinya.

“Paman kau harus tahu, yang kumengerti hanyalah uang. Tak peduli bagaimana caranya nanti kau bisa membayarku nanti, tapi uang tetaplah uang,” kata Bejo sambil menyodorkan rokok kretek dan korek yang diambil dari sakunya.

Sopir berambut botak dengan alis putih menyerupai uban itu sepertinya tahu berapa harga yang harus dibayar. Memang luapan kekesalannya kali ini tak mengenal ampun, berapa pun uang yang harus dikeluarkan, ia siap.

Bagaimanapun Bejo sebenarnya tak bisa menggambar di bak truk. Tetapi terdorong akan hasrat yang sama dengan si sopir, hasrat manusia yang timbul karena uang, ia akhirnya memberanikan diri mengambil tawaran itu. Setelah mengecek bak truk dalam sandiwara murahan menyerupai seorang pelukis, ia bergegas membeli beberapa cat juga kuas di toko bangunan di Jalan Merdeka, yang berada tepat di samping bengkelnya.

Ia lantas mulai mencoret-coret sketsa dalam satu ketekunan menggambar, menyerupai Basuki Abdullah dengan pensil yang diselipkan di telinganya, menggantikan sebatang rokok yang biasanya berada disitu.

“Gambar itu harus selesai sebelum malam,” kata si sopir yang duduk di tempat Bejo sebelumnya tidur.

“Itu tidak mungkin,” jawab Bejo, khawatir gambaran tidak mungkin selesai.

“Tapi aku membutuhkannya segera. Berapa pun akan kubayar asal gambar itu selesai,” tutup sopir itu sebelum menemui mimpi indah di siang bolong.

Dalam satu ketergesaan, tulisan di belakang bak truk itu pun jadi. Tampak mengagumkan dengan goresan cat warna hitam mengkilap. Mengorbankan satu bungkus rokok yang membuatnya tetap dapat dalam satu titik konsentrasi yang mengagumkan. Tapi mata Bejo tak dapat berbohong, ia bergegas masuk bengkel dan menyeduh dua cangkir kopi yang akan menemani malamnya.

Menjelang Maghrib, saat lampu-lampu jalan mulai menyala, sang sopir bangun dalam keadaan segar dan tampak jauh lebih baik daripada semula. Ia menengok hasil kerja Bejo, mengamati setiap pekerjaannya dengan mata tua menjelang rabun. Bejo menghampirinya dengan membawa dua cangkir kopi hangat.

“Sepertinya tulisan ini lebih dari cukup,” kata sopir tua itu sambil menerima secangkir kopi dari Bejo.

“Tapi itu masih belum selesai. Aku harus menyelesaikannya, sebagaimana gambar itu dibuat dalam pikiranku.”

“Apa memang hal semacam itu dibutuhkan? Aku harus segera pergi.”

“Maka bayarlah aku ketika kau kembali.”

“Kuharap itu dapat terjadi segera,” sopir tua itu kemudian menghabiskan isi cangkir dan segera masuk ke dalam truk, beranjak pergi menembus sinar kuning merkuri lampu jalanan yang melawan keremangan malam. Sialan, aku lupa mengatakan kalau kopi tadi harusnya dibayar, gumam Bejo.

Entah dari mana datangnya keberuntungan, keesokan harinya truk-truk lain datang ke bengkel Bejo dan meminta juga agar Bejo mengggambar bak truk mereka.

“Aku melihat tulisan di bak belakang truk plat P 1982 TRS. Sopir tua itu memberitahu bahwa ada bengkel yang bersedia menggambar bak belakang trukku,” kata Gito sopir itu.

“Tapi kau harus membayar mahal.”

“Tidak masalah, asal kau gambar seorang gadis dan sebuah tulisan.”

“Sebuah tulisan?” tanya Bejo.

Gito segera menyodorkan secarik kertas kucel yang bertuliskan MUATAN PAPA HARAPAN KELUARGA. Bejo mengambil tawaran itu dengan menyelesaikannya dalam semalam. “Ini cuma persoalan menggambar, bahkan Bandung Bondowoso pun dapat menyelesaikannya dalam semalam,” kelakarnya.

Begitulah yang terjadi pada bengkel onderdil yang sepi milik Bejo, secepat hari berlalu, tempat itu kini menjadi bengkel jasa gambar bak truk dengan pelanggan yang tak pernah surut, meski tarifnya terlampau mahal. Entah keberuntungan apa yang selalu menyertai Bejo, lukisannya di bak truk tidak pernah mengecewakan pelanggan.

Ia sudah melukis hewan seperti garuda dan banteng. Juga lukisan perempuan menyerupai sampul majalah, yang tak terhitung jumlahnya. Tulisan di bak truk itu juga bervariasi mulai dari ungkapan hati para sopir hingga corat-coret protes kepada pembesar. Awalnya ia kerjakan sendiri semuanya, sebelum berhasil merekrut satu anak buah, Jiwo Jongos.

Pemuda itu cukup terampil melukis sesuai dengan pesanan para sopir. Membuat Bejo tidak berpikir panjang untuk merekrutnya. Setidaknya, dengan adanya Jiwo Jongos, Bejo tidak terlalu ngos-ngosan menghadapi antrian panjang truk-truk yang ingin disolek. “Bahkan Bandung Bondowoso tidak akan sanggup melakukan kerja semacam ini. Pantas saja dia dulu meminta bantuan setan. Ah! sialan,” keluh Bejo.

Bisnisnya tidak bertahan lama. Itu terjadi kala pesaing-pesaing baru bermunculan dengan menawarkan lukisan yang jauh lebih menarik dan harga yang jauh lebih terjangkau untuk kantong-kantong sopir. Lalu tak berselang lama juga terjadi huru-hara di ibukota yang membuat sopir-sopir truk itu gagal memperoleh muatan, yang berarti tak ada seorang pun yang sudi meminta dilukiskan Bejo. Jiwo Jongos pun dipecat tak lama kemudian, ketika kantong Bejo telah bolong, hanya menyisakan satu rongga kecil di dalamnya. Hidup Bejo tidak menentu. Saat-saat itulah ia mulai teringat akan hutang si sopir tua yang tak kunjung juga datang.

Ia tak pernah pulang ke rumah, tidur di bengkel yang sekarang lebih pantas disebutnya galeri. Menghabiskan setiap hari dalam penantian kepada si sopir tua yang tak kunjung datang.

“Mungkin si sopir itu telah mati,” ucap istrinya.

“Tak peduli dia sudah mati. Hutang tetaplah hutang,” ungkap Bejo.

Bejo selalu menanti, tapi waktu berasa singkat dan penantian selalu saja terasa panjang. Dari penggulingan pembesar satu ke pembesar yang lain, si sopir tua itu tak juga kunjung kembali. Bejo berpikir, jika pun sopir tua itu mati atau tidak dapat ke bengkel, hutang tetaplah hutang. Bahkan di dalam dunia orang mati hutang akan tetap ditagih.

Ketika malam kelam, suara deru yang telah ia hafal melaju dalam kecepatan yang tak kencang dan berhenti di depan bengkel Bejo. Ia masih belum tidur dan terjaga dalam penantiannya yang entah sudah hari, bulan atau tahun keberapa. Ia menengok dari celah bilik kayu bengkel, truk yang berplat P 1982 TRS.

Bejo meraih kaleng cat dan kuas dan keluar menemui sopir tua itu. Sopir tua itu muncul dengan lubang peluru tepat menembus dahinya. Darah merah kental mengucur dari badannya yang telah pucat. Sopir tua itu berdiri mematung melihat Bejo.

“Kau harusnya segera datang. Aku telah menunggumu cukup lama.”

Sopir tua itu tidak menggubris Bejo begitu pula Bejo yang tak menggubrisnya. Bejo lantas mengamati bak belakang truk yang dalam kondisi sama saat pertama kali datang di bengkelnya, meski beberapa bagian truk telah penyok dan menyeruakkan bau wewangian aneh.

Dalam satu ketenangan, petapa Bejo memulai pekerjaan yang telah ditunggu-tunggunya.

DOA IBU MENYERTAI REVOLUSI!!!

Tulisan itu masih sama sebagaimana dulu dibuat. “Harusnya dari dulu aku tidak menuliskan ini. Setidaknya kami semua tidak berakhir seperti ini bahkan juga nega…” Bejo tak melanjutkan ucapannya dan langsung mengecat hitam seluruh bak belakang truk itu. [*] [Bejo Menanti]


Ilustrasi dari Wikiart.org. Bejo Menanti.

Baca juga:
Berita Penculikan – Cerpen Rici Swanjaya
Ramuan Pekasih – Cerpen Rio Johan


Komentar Anda?