Menu
Menu

Pandangannya awas ke segala arah, kewaspadaan yang terpupuk dan terakumulasi dari penculikan dan pembunuhan teman seperjuangan membuatnya percaya diri berjalan sendirian ke tempat pertemuan.


Oleh: Rici Swanjaya

Lahir di Surabaya pada tanggal 18 Maret 1986. Menerbitkan buku pertama berjudul Awal Musim Kemarau (Penerbit Interlude, 2019). Sembari bekerja sebagai pekerja lepas di event organizer, juga sedang berjibaku menyelesaikan buku terjemahan pertama dan buku kedua. 


Dia menoleh ke belakang sebelum masuk ke dalam bar untuk memastikan tidak ada yang membuntutinya. Pukul satu kurang delapan menit di tengah kota Surabaya, tembok-tembok usang perumahan jalan Bawean berhasil menangkap udara dingin bersama siluet hitam kasar pepohonan kering. Tembok samping bar, coklat tembaga dengan bekas tempelan iklan dan event di sana-sini, gagal merekam suasana mencekam keheningan malam bulan Desember. Di meja panjang bartender, beku oleh hantaman pendingin ruangan tanpa ada panas dari tubuh-tubuh yang mabuk dan berdansa, masih tersisa gema keriuhan akibat bir, vodka lokal, dan ekstasi meski telah tutup lebih dari satu jam yang lalu. Residu asap rokok kretek berkitar-kitar di langit-langit, membungkus suasana muram menjadi semakin mencekam.

Antonius Felix Kasafi melanggar janji pada dirinya sendiri sekira hampir dua tahun lalu: dia memesan wiski dan membakar rokok, tertekan oleh delusi seorang pelarian. Beberapa minggu belakangan dia merasakan tajamnya tatapan penuh selidik yang mencengkeram segala indera. Gerak-gerik kerumunan tidak memantik perhatiannya kecuali tatapan-tatapan dari wajah pucat yang dilempar pada waktu yang ganjil: seorang ibu bersanggul yang sedang tawar-menawar daging sisa irisan, tukang pos yang memeriksa perangko di tiap amplop, dua pemuda berseragam sekolah yang bercakap-cakap tanpa pernah saling bertatapan; mereka membutuhkan perhatian lebih pada apa yang sedang mereka lakukan namun mereka memilih untuk memandang dirinya. Felix sadar itu, dan dia merasa bayangan hitam yang merayap di punggungnya bakal segera meringkusnya.

Ketakutan, Felix sempat menulis memo yang ditujukan ke teman karibnya. “Aku memutuskan untuk menuliskan hal ini,” dia memulai, “karena aku yakin sihir dari kata-kataku sudah tidak bisa lagi mereka tanggung, meski karya itu belum juga rampung.” Dalam lanjutannya, dan dalam nada sedih dari seseorang yang gagal mencapai impiannya, dia membuat daftar sikap yang harusnya dia lakukan sewaktu sikap semacam itu dibutuhkan, lengkap dengan alasannya; dan dari sana Buku Biru itu pertama kali disebut olehnya.

Tiga bulan kemudian, seminggu setelah jasadnya ditemukan telanjang di tepi jalan tol, memo itu diterbitkan oleh koran Redaksi Sore dan memantik simpati dari semua elemen masyarakat yang sebelumnya memilih untuk menonton dari samping. Dan kesedihan yang tertangkap pada tiap baris, dengan beragam interpretasi dari pembaca, bakal menjadi materi pembelajaran para akademisi serta premis yang subur bagi pencipta fiksi selama satu dekade selanjutnya.

Berbeda dengan Felix, dalam kasus Della Syaharini, tiga hari sebelum penculikannya, kejadiannya berlangsung dalam sekejap: dua puluh jam usai puisinya dimuat majalah Gumarah, tiga orang berambut cepak mendorongnya masuk ke dalam minibus putih tanpa plat nomer. Para saksi mata berkata, bila mereka ingat-ingat lagi waktu perkiraan kejadian, suasana malam itu tidak mengandung sesuatu yang berbeda atau aneh. Gadis berjilbab krem dengan blus berwarna seragam terlihat berjalan melewati toko ayam goreng tepung sambil melihat telepon genggam, beberapa langkah sebelum persimpangan sebuah minibus berhenti sebentar, lalu kembali melaju; tidak ada teriakan perlawanan atau meminta tolong. Delapan jam kemudian jasadnya ditemukan oleh pencari rumput di lahan kosong dekat bandara Juanda.

Dalam berita di televisi, kamar kos Della didapati porak-poranda saat polisi datang mencari bukti, dan dari narasumber terpercaya perihal kasus ini penyiar berita membacakan narasi baru yang menjadi hot news selama sebulan ke depan: sang penyusup mencari sebuah buku catatan berwarna biru.

Duduk santai bersama kolega di rumah dinas Dekan Fakultas Budaya, Prof. Lingga Adisuara mendadak berhenti memperhatikan pembacaan puisi sang tuan rumah saat mendengar berita itu; dia punya alasan kuat untuk itu: buku biru itu pernah ada dalam genggamannya. Membuang tisu usai mencuci tangan, dia langsung memencet tombol panggilan di telepon genggamnya. “Kita harus bertemu.” Hanya itu. Gerak lekasnya untuk bergegas pergi tersamar oleh riuh gelak tawa dan tepuk tangan yang membuat wajah tuan rumah memerah.

Rahmat berdiri bersandar pada tiang halte. Bangku kayu baru yang nyaman tidak dia hiraukan. Saat itu dia belum menerima memo dari kawan karibnya, juga belum memiliki firasat perihal semakin gawatnya situasi bagi mereka, para jurnalis dan penulis, dalam keadaan yang meruncing setelah tiga bulan lebih perjuangan mereka melawan pengingkaran. Pandangannya awas ke segala arah, kewaspadaan yang terpupuk dan terakumulasi dari penculikan dan pembunuhan teman seperjuangan membuatnya percaya diri berjalan sendirian ke tempat pertemuan.

Dua buah sinar muncul di kejauhan bagai seorang penjaga malam yang sedang berpatroli. Melihat itu dia semakin menciutkan tubuhnya, berusaha agar muat di celah antara tiang halte dan pohon trembesi. Dari jarak sekitar lima belas meter, sinar itu berhenti, lalu berkelip tiga kali; tanda itu membuatnya berjalan keluar dari kegelapan. Prof. Lingga membuang puntung rokok dari jendela dan segera menginjak pedal gas. Sinar itu membelah sunyinya kota dalam cengkraman teror.

Delapan belas kilometer dari sana, lima orang berjaket parasit gelap sedang mengintai sebuah bangunan. Tiga orang tinggal di dalam mobil berjarak enam belas meter, dua orang bersembunyi di balik pohon kamboja di kompleks pemakaman umum, cukup untuk memantau pintu belakang. Neon kuning dan ungu masih menyala tepat di atas pintu masuk, menampakkan kegenitan dua putri duyung yang memeluk sebuah tulisan: DO-RE-MI. Sudah lebih dari dua jam tidak ada satu orang pun yang keluar masuk, tapi kelima orang itu begitu ahli dalam pengintaian, dan kebosanan tidak lagi menjadi sesuatu yang mesti dihindari; momen ketiadaan aksi itu mereka gunakan sebaik-baiknya untuk bernafas dan melepaskan tegang.

Dalam laporan Tim Pencari Fakta, dua tahun setelah kejadian, bartender bar sempat melihat dua sosok saat membuang sampah di belakang. Terkejut, dia menjatuhkan tandon plastik separuh penuh, mengagetkan kedua pihak, dan masih dalam cengkraman rasa takut dan kaget, dia tidak lagi melihat kedua sosok itu. Di dalam, suara tandon tumpah membangunkan Felix dari lamunan. Hawa dingin memeluknya tiba-tiba, membangunkan bulu di sekujur tubuh. Merasa cengkraman tangan tersembunyi sudah sangat dekat dengan jantungnya, dia berinisiatif untuk menelepon seseorang. Meminjam telepon bar, dia mendengar nada tunggu telepon bagai langkah malaikat maut yang mendekat.

Dan ia memang mendekat, meski tanpa membawa maut di saat itu juga; setidaknya bagi Felix.

Kedatangan mereka diinisiasi oleh munculnya sosok yang keluar dari balik pepohonan, melangkah cepat seperti anak kecil yang enggan mengotori sol sepatu baru hadiah Natal untuk memamerkannya kepada teman-teman. Dan memang, Barry Hardianto, salah seorang pendiri sekaligus pemilik bar, baru saja memakai sepatu New Balance biru hadiah dari kekasihnya saat datang ke bar di luar rencana. Dengan keheningan sempurna, kelima orang itu merangsek masuk, berharap berhasil mendapatkan buruannya. Mereka mendapatkannya, tapi tidak tanpa kerusakan tambahan.

Sang bartender bercerita, masih dalam laporan itu, tidak lama usai masuk kembali dari belakang, mendapati Felix diam di depan telepon, dan melanjutkan lagi tugas menata perlengkapan bar, Barry masuk dengan senyum lebar di wajah. Baru saja dia ingin membalas senyuman dan sapaan, dua pintu bar didobrak keras. Barry diringkus dari belakang dan terjatuh ke depan, dua orang menindih tubuhnya bak pemburu yang siap melakukan serangan pamungkas pada hewan yang terjebak perangkap. Satu orang menembakkan senapannya ke udara, sambil beteriak, “Jangan bergerak!! Jangan bergerak!!” Tidak satu kali pun dia berkata siapa mereka, meski dalam penampilan fisik mereka jelas terlihat seperti seorang aparat.

Gerakan mereka taktis: cepat dan efektif. Dua orang dari belakang langsung berpencar, satu ke Felix, satu ke bartender; semua berdiri mematung dalam ancaman todongan senjata di belakang kepala. Suasana hening sejenak sebelum Barry, sadar dari keterkejutan, berontak pada kedua beban di atasnya. Sempat terjadi pergumulan, satu orang tetap meneriakkan frase yang sama, lalu nama itu disebut: “Namamu siapa?! Felix? Felix, kan?!”

Mendengar itu Barry semakin memberontak, yang semakin menambah keagresifan si peringkus. Karena insting pertemanan, atau hubungan profesional, si bartender melesat maju, berusaha menolong Barry. Keputusannya itu melahirkan rangkaian kejadian yang berlangsung cepat. Dimulai dengan letusan senapan, pergumulan di lantai, teriakan yang sama: “Berhenti! Jangan bergerak!” Lalu satu tembakan lagi. Si bartender pingsan segera setelah mendengar itu, setelah peringkusnya mengunci lehernya dalam kecakapan ilmu Jiujitsu mumpuni.

Rahmat bisa saja menjadi orang terakhir yang berbicara dengan Felix, kalau saja dia tidak berargumen hebat dengan Prof. Lingga dan mendengar dering telepon genggamnya di dalam tas sabuk. Orang yang mengenal profesor tampan itu akan mengatakan dia adalah seorang pemikir, pemuja ketenangan, menilai sesuatu tanpa mau menjelaskan bila belum benar-benar yakin, tapi kali ini dia melepas aturan itu. Rahmat yang menggebu-gebu menginginkan sebuah tindakan tegas harus segera dilakukan: boikot atau mogok kerja dari para pekerja media, satu dari serangkaian gerakan subversif. Tentu saja Prof. Lingga menolak, menjelaskan keadaan dan pentingnya memikirkan semua dengan kepala dingin.

Mobil mereka sempat berhenti di persimpangan jalan Hayam Wuruk, dekat Kodam V Brawijaya. Mereka beradu pendapat, mengisi kekosongan kota yang tidur dengan pendapat-pendapat, yang sebelumnya, di tempat dan waktu yang lain akan mereka bicarakan dengan cara berbisik—mengerti benar kalau tembok, lampu gantung, dan perabot lainnya dapat mencuri dengar segalanya. Perdebatan itu tak berujung, dan lelah menjadi faktor yang tidak bisa mereka lawan untuk melanjutkannya. “Kita tidak punya banyak waktu, sekarang ikut saja dulu, nanti kita bicarakan lagi dengan yang lain.” Rahmat menerima dengan helaan nafas panjang dan wajah yang masih terlipat oleh kemarahan. Di luar segala ego dan sikap yang diperlukan secepatnya, mereka berbagi ketidakpastian situasi yang sama, dan memilih berdamai dengan itu untuk sementara.

Sesampainya di rumah seorang kerabat, Prof. Lingga baru mengetahui perihal penculikan Felix, dan bisa jadi lebih buruk: Felix terbunuh dalam usaha penculikannya. Dua titik tembakan peluru, tiga selongsong peluru (kaliber 7,65 mm), dan bekas darah di lantai memberi gambaran menakutkan perihal kesimpulan itu. Rahmat, yang duduk dengan gusar di kursi teras, meloncat berdiri dan, tidak lagi bisa membendung emosi, mengutuk aparat dengan sumpah serapah, lalu pergi. Tidak ada yang bisa dilakukan, semua yang hadir hanya bisa melihatnya berlalu. Nantinya, lima orang yang tetap tinggal—dua jurnalis, dua akademisi, dan seorang sastrawan—menerbitkan sebuah pamflet berapi-api yang berisi penolakan mereka dan semua yang bertanda-tangan di lembar lampiran, terhadap tindakan pembungkaman yang dilakukan kepada kolega mereka dan pembiaran negara terhadap hal tersebut. Dua orang di antaranya diculik dan dibunuh tiga minggu setelah pamflet itu tersebar.

Berita penemuan jasad Felix, dua bulan dua puluh-dua hari setelah dia menghilang, menyalakan unggun perlawanan dari masyarakat. Rasa tidak aman dan ketidakpastian yang dirasakan oleh satu lingkaran eksklusif para intelektual kini menjalar ke bahu mereka dan membuat mereka merasa menanggung beban dan ketakutan yang sama, dan karena itu, perjuangan yang sama.

Buku biru, yang diduga berisi catatan harian seorang Kolonel Angkatan Darat dan menjadi sebab tunggal rangkaian teror pada pihak yang punya akses membaca dan membagi isinya, tidak pernah ditemukan. Tanggal 6 januari 2037, dua belas tahun setelah penculikan dan pembunuhan itu, satu novel berjudul “Tuan Tanah” terbit, berisi ratapan dan harapan seorang Kolonel terhadap tingkah para seniornya, para perwira yang lupa pada semangat seorang prajurit dan sekadar menyematkan hal itu pada seragam dan medali. Penulisnya: Antonius Felix Kasafi.

Tiga hari yang lalu, di ruang kerjanya yang ditempatinya selama delapan belas tahun, pukul 12.36 WIB, Prof. Lingga Adisuara diculik empat orang berjaket gelap. Besoknya, kantor Buana Aksara, penerbit novel terbaru Felix, dibakar orang tak dikenal.

“Sepertinya kita belum bisa berhenti mendapatkan berita tentang penculikan, semoga kali ini tanpa pembunuhan, dalam beberapa waktu ke depan. Dan sepertinya kita masih punya semangat yang sama untuk dapat menyelesaikan hal ini secepatnya.”

“Doa kami bagi orang-orang yang menjadi korban dan keluarga yang ditinggalkan. Dan kami berdoa bagi para pemberani yang bakal menghadapi perjuangan panjang dan melelahkan untuk, sekali lagi, memenangkan akal sehat ketimbang keserakahan dan kepicikan.”

Berita Penculikan


Ilustrasi: The Club (1993), Robert Goodnough.

Baca juga:
Sejarah, Ingatan, dan Fiksi
Kalimat Panjang dalam Novel Ibu Susu


Komentar Anda?