Menu
Menu

Ribuan kisah sukses dituturkan sendiri oleh orang-orang dalam tanpa benar-benar tahu apakah kisah itu benar-benar menyentuh orang-orang lain: sesama perantau di lino dokong ho’o.


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Bergiat di Komunitas Saeh Go Lino dan Klub Buku Petra.


Gad Elmaleh ke Amerika. Meninggalkan panggung-panggung besarnya di Prancis dan mulai dari nol, hendak meraih apa yang disebut sebagai American Dream, sebuah konsep yang sudah mulai ada sekitar tahun 1930-an dengan ide besar bahwa siapa saja berhak atas hidup yang sukses, dari ras atau lingkungan mana pun dia berasal.

American Dream, secara sederhana berarti kesuksesan yang bisa diraih oleh seseorang melalui kerja keras dan keberaniannya dalam mengambil resiko, bukan disebabkan ia memiliki akses yang lebih mudah karena latar belakang sosial, ekonomi, dan keluarganya. Frase ini dipopulerkan James Truslow Adams (1878-1949) melalui bukunya The Epic of America (1931), dan Gad Elmaleh termasuk satu dari jutaan orang hendak mencoba peruntungan itu.

Gad Elmaleh adalah stand-up comedian berdarah Maroko yang meraih sukses di Prancis. Tahun 2015 dia pindah ke Amerika, dalam apa yang disebutnya sebagai ‘challenging my self‘, dan memulai karirnya di sana. Dia menuturkan pengalaman menariknya di negerinya yang baru itu dalam cukup banyak penampilan panggungnya.

Salah satunya adalah tentang interaksinya dengan seorang sopir taksi yang mengoreksi ucapannya. Gad Elmaleh hendak ke bandara dan bilang ke sopir taksi itu untuk mengantarnya ke JFK Airport. Gad membunyikan abjad J dalam bahasa Inggris (jay/ pronounced /ˈdʒeɪ/) dengan bungi G (gee/ pronounceddʒi/). Gad Elmaleh tentu saja kesal sebab dia mungkin salah menyebut J tetapi membunyikan F dan K dengan tepat dan ada kata Airport di belakangnya—sesuatu yang sesungguhnya dapat dengan mudah ‘dibaca’ sebagai Bandara John F. Kennedy. Dia juga kesal sebab sopir taksi itu adalah orang India yang membunyikan airport dengan eirput.

Itu kisah yang lucu tetapi sekaligus menjadi penuh makna sebab pada beberapa penampilannya, ketika menceritakan kisah itu, Gad Elmaleh menambah keterangan (protes): “Sir, we are both immigrants, we should be helping each other (Kita dua ini sama-sama perantau, kita seharusnya baku bantu—jangan bikin sulit ini situasi yang seharusnya sudah jelas)”. Saya ingin berhenti di bagian ini saja. Tentang perantau. Misalkan kalian tidak ingin berhenti di bagian yang sama, silakan simak salah satu penampilan Gad Elmaleh di sini.

Kita Semua Perantau

Di Indonesia, beberapa etnis kerap disebut sebagai ‘sangat kuat persaudaraannya’ di tanah rantau. Seseorang yang sudah lebih dahulu sukses akan membantu perantau baru sedaerah asal, agar meraih sukses pula. Sementara itu beberapa kelompok lain diidentifikasi sebagai sebaliknya; satu mau naik, yang lain sibuk kasi turun dia. Golongan terakhir inilah yang kira-kira mau ‘dibereskan’ cara pandangnya oleh Gad Elmaleh. Sesama perantau dilarang saling mendahului. Sesama perantau harus tolong-menolong. Jangan membunuh semangat bergerak dengan alasan yang terlampau sederhana; seseorang terlambat di bandara hanya karena misspelling huruf pertama dan yang melakukannya adalah seseorang yang mengatakan bandara udara untuk bandar udara.

Setiap menyaksikan penampilan Gad Elmaleh, saya biasanya ingat RD Ino Sutam untuk dua alasan. Pertama karena Romo Ino pernah kuliah di Prancis, tempat di mana Gad Elmaleh memantapkan identitasnya sebagai stand-up comedian (alasan ini rasanya terlampau mengada-ada), dan kedua karena tentang konsep perantau pernah saya tanyakan padanya.

Romo Ino adalah seorang rohaniwan, doktor, dosen, teman diskusi, dan kini mengajar di Unika Indonesia St. Paulus Ruteng. Beliau banyak melakukan penelitian tentang kebudayaan Manggarai, menulis puisi-puisi dalam bahasa Manggarai, dan adalah seorang pencerita yang baik.

Tentang perantau, Romo Ino menjelaskan beberapa hal.

Perantau, dalam bahasa Manggarai dikenal dengan frase Ata Long; berasal dari kata long dalam Kamus Verheijen yang salah satu artinya adalah berkebun di tempat jauh, sehingga tidak tinggal di kampung sendiri; merantau, berboyong (arti kedua). Arti lain kata ini dalam kamus itu adalah 1.bau busuk;… 3.upacara memperdamaikan (berdamai dengan darat); 4.tidak ada, tidak sampai (kurang jelas arti ini). Kata Ata sendiri berarti orang/seseorang/manusia. Frase ata long ini selanjutnya berhubungan dengan kata atau konsep lainnya, seperti: pendatang, mbéot, transmigrasi, dan lain sebagainya.

Pada bagian lain, menurut Romo Ino, ata long atau perantau jelas berhubungan dengan gerak perpindahan, sesuatu yang sangat manusiawi. “Bergerak dan menemukan tempat baru adalah kodrat manusia, sebagai makhluk peziarah dan petualang,” jelasnya. Kira-kira dapat kita baca sebagai: kita semua adalah perantau. Dan Gad Elmaleh bilang bahwa sesama perantau sebaiknya saling membantu. Nah! 

Lalu kita ke bagian yang lain, sesuatu yang lebih spiritual (sebut saja begitu). Romo Ino bilang: “Dalam perspektif religius: manusia diciptakan Tuhan, dan dia adalah peziarah di dunia. Dunia bukanlah tempat terakhir manusia. Dia akan kembali kepada Tuhan sebagai asalnya. Orang Manggarai juga meyakini hal ini. Di sinilah disebut manusia ata long oné lino ho’o (peziarah di dunia fana ini). Landing hitu campé cama haé, ahir ca arit, wingké ca irét, cahir ati, pati nai = saling membantulah, berbagilah sekecil apa pun yang kita miliki, kita membagi hati, dan membelah nafas untuk sesama. Ai mosé dokong oné lino long ho’o, karena kita hidup sementara di bumi tempat rantauan ini.”

Bagian ini kira-kira berarti bahwa hakikat manusia adalah berhasil menjadi pribadi yang utuh apabila kehadirannya berarti bagi orang lain dan oleh karenanya berhentilah terpaku pada bayanganmu wajahmu sendiri pada cermin air danau di hutan. Ah, ini kisah yang lain, barangkali. Ovidius, seorang penyair Romawi menulis dalam Metamorphoses tentang Narcissius yang memiliki paras yang menawan dan secara menyedihkan tidak mampu melihat (menghargai?) hadirnya keindahan lain di sekitarnya; ia jatuh cinta dengan tragis pada dirinya sendiri, menyesal dan terlambat. Tentu saja kisah Narcissius tadi saya potong sependek mungkin agar lebih mudah mengatakan sesuatu yang lain tentang kita: perantau.

Kau mengerti, bukan? Ribuan kisah sukses dituturkan sendiri oleh orang-orang dalam tanpa benar-benar tahu apakah kisah itu benar-benar menyentuh orang-orang lain: sesama perantau di lino dokong ho’o. Kesibukan demi kesibukan kita geluti, semakin hari semakin kita yakin bahwa kita telah berhasil melakukan sesuatu yang bermanfaat dan bahwa yang membaca dengan kritis gerakan kita adalah sekelompok orang yang sedang iri hati saja. Heh… omong apa ini?

Sebagai sesama perantau, si sopir taksi barangkali tidak pernah berpikir bahwa koreksinya atas misspelling J dari Gad Elmaleh dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu. Dia hanya ingin menolong. Gad Elmaleh yang datang dari Prancis itu tentu akan lebih cepat meraih sukses apabila membunyikan abjad itu dengan benar sebab dirinya sendiri juga sedang berjuang agar mampu membunyikan airport dengan benar. Tidak ada orang yang benar-benar melakukan sesuatu dengan sempurna, bukan? Sebagai perantau, kita sama-sama belajar. Sebagai perantau yang sama-sama belajar, kita harus menerima bahwa orang lain (yang tidak mampu membunyikan airport dengan benar) dapat membantumu membunyikan J dengan sempurna.

Perantau yang Lain

Di Manggarai, masih menurut Romo Ino Sutam, tentang perantau atau ata long, ada bagian lain yang menarik. Ada ungkapan: long ata lonto, lonto ata long = kadang-kadang perantau atau pendatang menguasai semua kehidupan di tempat baru di mana mereka tinggal, sedangkan penduduk asli menjadi penonton, menjadi asing, mengalami alienasi. Jangan juga kau sampai ‘sehebat’ itu. Sebelum terlambat, coba dengar Nimfa Echo dengan saksama; kata-kata apa dari mulutmu yang dia pantulkan? Kita semua perantau!


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Demonstrasi dan Pertanyaan-Pertanyaan
Semua Komunitas Baik Adanya, Kecuali…

 

Komentar Anda?