Pada akhirnya,/ ditunjuknya Desa Mulawarman, yang/ kini jadi padang tandus/ seperti kepalanya… Puisi-Puisi Novan Leany – Desa Mulawarman
Oleh: Novan Leany |
Asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina” pada tahun 2019. Puisi-puisinya pernah tayang di berbagai media massa, antara lain Koran Tempo, Mata Puisi, Koran Sumbar dan Beritabaru.co. Kini bergiat di komunitas Macandahan. Dalam waktu terdekat pula sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 Psikologi.
Kerinduan adalah racau julak
mengajak pulang bocah
kampung Ketupat
yang mandi di batang,
“Kemarilah nak, kita telisik
tragedi perang Gowa.”
Di pelabuhan ini pok,
nampak Mahakam
membelah dada kota,
“Minumlah seteguk
banyu sungai ini,
dan kita temukan jodoh
di seberang sana,” kata seorang
pedagang dari Makassar
Sebelum abad-21 pok,
kapal tua berlabuh subuh
dan lanun pikun mendustakan
kemenangan dalam keadaan lapar
menawak batu-batu di sampan
membajak garis-garis patah
di telapak tangan budak
Pada tahun kering
kedukaan terkurung
di rumah rakit yang hening
dan kanak suaka
semarak berkata,
”Batis kita sudah langgas
dari kolonial Belanda pok.”
(Sementara, luka tusukan
di perut Melantai, tak ditemukan pisaunya)
2021
.
bersama Ali Sadli & Endry Sulistyo
Akulah pengemis buta tuan,
yang saban malam berdoa
sebab esok atau lusa,
huma akan tandas di Samarinda
dan tak ada tempatku mengeduk
bakal menyumpal rasa lapar
Lapakku bersila ini tuan, bukan
undian Segiri Grosir,
pinjaman Thalib Bank,
atau sumbangan tragedi 2009
melainkan doa, dari diri seorang yang iba
sebab air mata mustahil dibarter logam
atau rumah rakit di Mahakam
Ungkapkan tuan, apa sejujurnya
yang telah kau lihat?
Balita dipaksa tidur,
bau amis iwak, pilu keringat awak
atau telinga cukong dijejali batu?
Sebilang bulan di kota persinggahan
gumpalan murka dan kepalan tangan
siaga menimpuk kepala para pedagang
di mana impian adalah hamparan
fajar di ujung sungai buntu
2021
. Puisi-Puisi Novan Leany – Desa Mulawarman
: Carl Bock 1879
Carl Bock,
andai kau hidup kembali
beri aku alasan,
kau bekaskan telapak kaki
di kota persinggahan ini
Tidak ada romusha di Norwegia
yang terhuyung pilu
menyepak sibak rimba
pada malam hari
sebelum istrinya makan nasi, barangkali
Apa kotaku behula begini? Pelabuhan
adalah mata angin lasak, yang
meniup kesedihan para bujang
dan tidak ada yang ditunggu pulang
selain kapal tua atau pedagang Cina
Andai kau hidup kembali
wartakan aku sebuah kebenaran,
”seorang pernah berteduh
di bawah daun nipah,
berlindung di kolong rumah panggung
sebelum datang barisan gedung agung
bagai hamparan bukit petilasan julakmu.”
Carl Bock,
silsilah huma kelahiranku
terburai di kaki-kaki sungai
dari kelat lidah orang-orang Kutai
maka, beri aku catatan selain air mata,
meriam berkarat, batu nisan timpang atau
bangkai tengkorak kepala
yang mulutnya menganga
seakan merapalkan
selamat tinggal
2021
. Puisi-Puisi Novan Leany – Desa Mulawarman
Kupandangi wajahmu
bagai rumah tua mengelambu
dalam keheningan
“Apa tak perlu ada seorang lagi
di rumah ini kanda? Sebab malam dingin nanti,
kesunyian akan mengerudungi kita kembali.”
Setelah ucap itu terlontar
kesedihan mulai meracuni pikiranku
Dewata,
umur ini telah di ujung jari
tak juga menimang seorang bayi
aku gamang mengukir tanda
maka, aku senandungkan tembang-
tembang pengantar lelap seorang diri
“Rumah ini hampa
wahai kanda Babu Jaruma,
seperti ruang di hati kita.”
Maafkan ayunda,
sungai hitam lebam
hutan tertimpa batu tajam
dan tak ada bekal
menunda lapar malam ini
Ah, jalan rumpang dan sisa suara sunyi
di hulu dusun Kampung Melanti
peristiwa terhampar, rindu merimbun, dan
pintu-pintu rumah bertirai senja di kaki sungai
Ayunda,
semalam aku mengigau
tabuhan gong riuh bertalu
seperti debaran rasa takut
dan seorang kanak tergopoh-gopoh datang
menanamkan wajahnya di antara dadaku,
”Ayah, ananda putrimu,
kemala sembunyi di balik kasau
kelak, banyu Mahakam
bergelombang buih-buih pelangi
serupa benih air mata ibu
naga, lembuswana
dan kembang pengharapan
kambang pula di sana
ayah, ananda putrimu,
permaisuri seorang raja.”
2021
. Puisi-Puisi Novan Leany – Desa Mulawarman
untuk kekasihku Elis
Coba kau ratapi karapas ini puan
di Muara Kaman, melingkar tak patah
namun retak tersadai lekang di musim
Beginilah jika aku tak punya kau
Serupa memikul batu di pundak
berat batis akan sampai pulang
sebab warga desa dalam tubuhku ini,
gempar merindukan bau wangi hutan hujan
Kultuskan aku sebagai mahar
atau sekadar kandang
tempat menyangkar putihmu
agar kusematkan sepahan banyu merah
dari sirih-sirih yang mengalir di tenggorokanmu
Puluhan lipan raksasa
ribuan serdadu perkasa
yang kau muntahkan ke danau
sampai kelak puan,
tak akan kau temukan silsilah moyangku
sebab aku pula rebung desa lupa nama ibu
Kau bertanya,
beginikah jika kau tak punya aku?
Langit tak bertanya,
mengapa wajahnya tak punya mata
dan matamu adalah kinang masa depan
seorang ibu di sana dalam telusur waktu
mengantarkanku untuk meminangmu
2021
. Puisi-Puisi Novan Leany – Desa Mulawarman
bersama Muhammad Al Fayed & Juniar
Dalam perjalanan panjang ini,
kau yang senantiasa aku doakan
walau aku tahu kau
sedang berdendang di Modang
tanpa merindukan aku pulang
Aku kunjungi kau dalam segala lekang
atas penantian lubang senja yang dibelah
adzan magrib dan jembatan Martadipura
Hutan belantara, semak belukar
belalang dan ilalang, aku lewati pula
lekuk bibirmu yang menyentak kantuk
serupa jalan raya Kota Bangun
Ini kali aku gegabah ingin melepas rindu
serupa monyet pusang mencari pisang
namun, masa lalu, dan pecahan waktu
seperti percikan api musim kemarau
yang membakar hutan Kalimantan,
“Serupa pohon kertas, aku kau beri subur tua
untuk ditebas dan dirampas,
serupa pohon sawit, aku kau beri lahan seluas dada ibu
untuk dipikul dan ditikam,
setelah sampai di perbatasan Kembang Janggut
aku kau tampakkan pula sebagai hama.”
2021
.
Pada akhirnya,
ditunjuknya Desa Mulawarman, yang
kini jadi padang tandus
seperti kepalanya
Tak ada lagi rumah bernaung
terkecuali mampu ia temukan
taman makam moyangnya, yang
tersembunyi di antara gundukan tambang
Sepasang kakinya tersungkur
gemeretak mencium batu,
dahan kering dan pohon mati
seperti tersaruk-saruk
diburu masa lampau
Apa yang ditangkap
dalam sebuah penyesalan tuan?
Seperti Enggang Gading
yang hinggap di pelupuk mata,
paruhnya patah, sayapnya luka
sedang awak tak iba
Pada akhirnya,
tak ada yang ia punya. Tak ada
terkecuali puing-puing air mata
serupa pecahan kaca
sedang waktu bagai lima helai kamboja
menyisip di telinga
2021
Puisi-Puisi Novan Leany – Desa Mulawarman
Ilustrasi:
Baca juga:
– Puisi-Puisi Boy Riza Utama – Vakansi Dua Zaman
– Puisi-Puisi Ilham Rabbani – Membaca Perbatasan
– Puisi-Puisi Afri Meldam – Garis Air