Menu
Menu

Kelana berhasil menghindari suaminya, tapi Negara tak bisa melupakan kesalahannya. Terpidana Nomor 19394.


Oleh: Udiarti |

Lahir di Gunung Kidul, saat ini tinggal di Jakarta sebagai Guru Tari Taman Kanak-kanak. Buku kumpulan cerita pendeknya Rumah Kedua Ibu (Semut Api, 2021).


Pukul 11 siang ia temukan kotak surat di depan rumahnya terisi, sebuah surat dengan amplop merah. Alamat kediamannya tertulis di sana, lengkap dengan nama panjang pemberian ibunya. Kotak surat yang sudah lama tidak menerima surat. Ia kaget ketika alamat pengirim kosong dan hanya ada sebuah logo sepasang Burung Merpati. Di 210-25, logo sepasang Burung Merpati adalah logo milik Departemen Perkawinan. Ia mencoba mengingat kembali, kapan ia kawin. Tak ada ingatan, ia memang belum pernah kawin dan mencatatkan perkawinannya pada catatan Departemen Perkawinan. Lantas kenapa siang begini Departemen Perkawinan mengiriminya surat? Apakah sekarang sudah muncul himbauan atau paksaan untuk para bujang yang belum menikah agar segera menikah? Ia ngeri membayangkan isi surat itu.

Pelan-pelan ia berjalan masuk ke rumah. Menutup pintunya yang berwarna hijau muda. Duduk di ruang tamu, perasaannya mulai cemas. Amplop merah itu ia buka. Surat di dalamnya mulai ia keluarkan dari amplop, kertas merah dengan tinta warna hitam. Sungguh surat yang sangat memikirkan nilai-nilai estetik visualnya.

Pada bagian atas surat dekat dengan kata “Yang Terhormat”, namanya tertulis di sana.

Yang Terhormat Prono Mbulan Semburat, begitu tulisannya. Ia merasa geli ketika membaca nama panjangnya sendiri. Ia merasa hidupnya yang rumit itu berasal dari namanya yang rumit pula.

Kegeliannya tidak lama, ia langsung merasa mual ketika membaca maksud dari surat tersebut. Ia kena hukuman. Dalam surat tertulis bahwa Prono Mbulan Semburat harus dihukum karena telah mau dengan senang hati menjadi seorang kekasih gelap.

“Yang benar saja! Aku dihukum karena kasus perselingkuhan?” gerutunya. “Bahwa jika tidak mengikuti hukuman ini, maka aku akan dibuang ke Penampungan Orang Kesepian. Ini buruk.” Katanya lagi.

210-25 adalah tempat yang sangat membosankan. Pemerintah yang menjalankan segala pergerakan di tempat ini atau kata yang lebih tepat adalah Negara—Prono tak suka menyebut kata Negara, sering aneh ketika membuat peraturan. Bahkan cenderung lebih suka mengatur-atur seenaknya. Salah satunya adalah mengatur hubungan cinta kasih sesama manusia. Baru saja memang sudah muncul peraturan dalam Undang-undang 210-25 tentang Perselingkuhan. Kamera dipasang di mana-mana, identitas setiap warga tak bisa luput dari pengawasan.

Hukumannya terdengar tidak berat, tapi sebenarnya cukup menyesakkan untuk Prono. Hukuman yang jika ditempuh bikin repot, tidak ditempuh bikin hidup sengsara. Tempat Penampungan Orang Kesepian adalah wilayah yang sangat dihindari oleh para pelaku kejahatan—setidaknya orang-orang yang dianggap bersalah oleh Negara. Prono hidup sendiri, dibuang ke Penampungan Orang Kesepian akan membuatnya seperti bunuh diri dengan menelan kulit landak, makin perih tidak mati-mati.

Prono dapat hukuman menaiki kereta KMN-2. KMN-2 adalah kereta khusus Hukuman Perselingkuhan. Dua orang yang menjalin hubungan perselingkuhan harus naik kereta dan gerbong yang sama, bilik kamar yang sama, bahkan diberi tempat tidur yang sama. Mereka dipaksa memutuskan pilihan mereka saat itu juga. Pada perjalanan selama 12 jam, mereka harus memilih apakah tetap saling berhubungan, atau putus saja di tengah jalan. Salah satu boleh memutuskan akan berhenti di stasiun mana.

Stasiun pemberhentian adalah tempat menjalani hidup selanjutnya. Artinya tiap orang yang memilih stasiunnya, akan sekaligus memulai hidup yang baru di sana. Sedangkan orang yang memilih turun pada pemberhentian terakhir kereta, akan kembali pada kehidupan sebelumnya. Jika tetap memilih berselingkuh bersama, maka mereka wajib menjalani hubungan baru itu dan meninggalkan kekasih yang sebelumnya. Rumit ya? Memang iya, itulah kenapa Prono sangat malas menjalani hukuman ini.

“Itu artinya aku akan satu bilik kereta denganya,” gumam Prono.

***

Pada tempat yang lain, di kamar dengan cat tembok biru muda, Kelana membaca surat panggilan yang sama seperti milik Prono. Berbeda dengan Prono, Kelana membacanya dengan sembunyi-sembunyi, suaminya sedang mandi.

***

“Apakah ia akan menerima hukuman ini?” Di depan cermin Prono berbicara dengan dirinya sendiri. Dua jam lagi ia akan dijemput oleh petugas Departemen Perkawinan. Barang-barangnya sudah siap, mau pilihan apapun baginya, pergi ya tetap saja pergi: membawa barang-barang dan tidak kembali.

Satu tas ransel hitam sudah ia bawa di punggung. Ia mengenakan kaos lengan panjang biru tua dan celana abu-abu. Petugas Departemen Perkawinan sudah menjemputnya dengan mobil boks berwarna merah. Di dalamnya sudah ada tiga orang yang sama-sama akan menjalani hukuman KMN-2. Prono masuk, duduk dan ikut tenggelam dengan wajah-wajah sedih tiga orang lainnya.

“Kamu pasti pihak selingkuhan.”

Seorang bapak-bapak memandang Prono dan menebak sok akrab. Prono hanya tersenyum.

“Masih mending pihak selingkuhan itu. Kalau ditinggalkan ya masih bisa cari yang lain.” Seorang dengan kemeja putih menimpali. Prono merasa makin sedih, baginya menjadi selingkuhan tidak semudah itu.

“Aku bersyukur ditangkap Negara. Aku akan memilih hidup bersama selingkuhanku, meninggalkan si cerewet mata duitan di rumah. Toh nanti mantan istriku akan diurus sama Negara,” kata bapak-bapak yang sok akrab.

“Jangan dengarkan mereka berdua. Negara saja yang terlalu ikut campur urusan warganya.” Orang dengan jaket parka hitam berbicara pada Prono. Prono tak membalas, ia hanya tersenyum. Tenaganya terasa sia-sia untuk menanggapi hal-hal yang makin menyedihkan di sekitarnya.

*** Terpidana 19394

Di stasiun, Kelana menutup kepalanya dengan kerudung hitam. Ia hanya membawa tas kecil berisi air minum dan sedikit biskuit. Suaminya sudah berangkat kerja sejak subuh tadi, naik pesawat menuju daerah Selatan. Kelana berhasil menghindari suaminya, tapi Negara tak bisa melupakan kesalahannya.

Ia tak pernah terlihat cemas. Tangannya selalu mantap memegang tas kecil hitam kesayangannya. Ia sudah siap menunggu panggilan masuk untuk para Terpidana Perselingkuhan.

Sebetulnya yang paling membuat Kelana ragu adalah pertemuannya dengan Prono. Sudah satu bulan mereka memutuskan untuk tidak bertemu—mungkin juga secara tidak langsung mereka sudah memutuskan untuk menyudahi hubungan gelap mereka. Tapi Negara selalu menyimpan barang bukti. Diam-diam Negara 210-25 menguntit hubungan gelap mereka, sekalipun suami Kelana tak pernah tahu.

“Selamat siang, sekarang pukul 11 siang waktu 210-25. Untuk para Terpidana Perselingkuhan, silakan masuk pada gerbong KMN-2 dan memasuki bilik kamar sesuai nomor pada tiket masing-masing.” Seorang petugas berbicara dengan pengeras suara. Tiket masing-masing adalah surat berwarna merah yang mereka terima. Di dalamnya sudah tertera nomor gerbong dan nomor bilik kamar di kereta.

“19394, nomor yang terlalu panjang.” Gumam Kelana yang memperhatikan nomor bilik kamarnya. Ia berada di gerbong 7. Prono sudah di depan pintu bilik dengan nomor yang sama. Mereka saling menatap setelah satu bulan yang berat. Menghela napas panjang adalah sebuah kenikmatan yang bisa mereka rengkuh saat ini.

“Kamu datang juga,” kata Prono.

“Bagaimana bisa tidak? Aku juga tidak ingin dibuang.”

Mereka berdua masuk ke dalam bilik kamar. Kereta KMN-2 adalah kereta dengan teknologi uap, di dalamnya semua perabot terbuat dari kayu dan besi. Terlihat cantik dan mewah, terutama kamar-kamar pada bilik yang tersedia. Meskipun KMN-2 adalah kereta untuk menghukum orang-orang yang berselingkuh, tapi rasanya justru seperti perjalanan bulan madu; perjalanan ini bisa jadi sangat menyakitkan bagi sebagian tahanan yang sebetulnya sudah tidak ingin lagi menjalin hubungan gelap.

Kelana duduk pada kursi di dekat jendela kereta. Ia melihat pemandangan dari kaca jendela, hatinya seperti terseret rel kereta. Prono duduk di kasur, ia meletakkan ranselnya di lantai dan merebahkan tubuhnya begitu saja. Kelana melirik, ia jadi ingat terakhir kali melihat Prono merebahkan tubuhnya di atas kasur, di sebuah hotel tersembunyi di bagian Selatan 210-25.

Wajahnya masih sama, manis, tapi juga menyedihkan.

“Aku sebetulnya tidak mau.” Kelana membuka pembicaraan.

“Aku tahu. Sekarang terserahmu saja.”

“Kamu maunya kita bagaimana?”

“Tidak tahu. Kamu mencintai suamimu.”

Kelana ingat, ia memang tak pernah ingin meninggalkan suaminya. Tapi menyayangi Prono adalah hal yang lain baginya. Ia juga tak mampu melupakan Prono, di dalam Kereta Terpidana sebetulnya hatinya yang remuk juga dihiasi dengan kebahagiaan.

Prono bangun, mendekati Kelana yang masih duduk di kursi dekat jendela. “Aku hanya tidak mau jadi masalah saja.”

“Kamu bukan masalah. Negara saja yang selalu ikut campur. Kenapa kita tidak boleh sekadar menyimpan sebuah hubungan? Kenapa semuanya harus diatur undang-undang yang tidak jelas itu? Semua toh tetap baik-baik saja, Negara selalu cari gara-gara!” Kelana tidak kuat menahan kepalanya yang ingin meledak. Ia menenggelamkan kepala itu pada pelukan Prono yang dari tadi sebetulnya sudah siap menangkap kepala itu.

“Kita akan melewati 12 stasiun dalam 12 jam.” Kata Prono, jemarinya mengelus lembut kepala Kelana.

“Kamu akan turun bersamaku?”

“Kamu mau aku turun bersamamu?”

Hening. Mereka sudah bisa menyimpulkan 12 jam di kereta akan melakukan apa saja. Kangen yang satu bulan ditunda. Perasaan yang bercampur tak jelas bentuknya. Kereta yang berjalan seperti membawa tubuh mereka ringan melayang di udara. Perjalanan panjang, menyusun kenangan.

*** Terpidana 19394

KMN-2 sudah melewati 10 stasiun. Prono dan Kelana masih berada pada bilik kamar yang sama. Keputusan tak juga diambil keduanya. Tapi waktu akan segera habis. Turun bersama pada pemberhentian terakhir maka mereka akan membangun rumah tangga berdua. Suami Kelana akan dihubungi Departemen Perkawinan untuk diurus keperluan perceraian. Hal ini sudah diatur juga oleh Negara, mantan suami atau mantan istri berhak mendapat pelayanan untuk bercerai. Perceraian yang sebetulnya terkesan wajib, karena Negara sudah tak mau tahu apakah mereka butuh diskusi atau tidak. Pokoknya jika keputusan para terpidana sudah ditentukan oleh mereka sendiri, maka semua peraturan sudah berjalan sebagaimana adanya (dan bahkan Tuhan tak perlu repot ikut mengatur).

“Kamu mau aku turun bersamamu?” Prono bertanya sekali lagi.

“Kamu mau turun bersamaku? Kamu sudah yakin?”

“Siapa di antara kita yang paling yakin?” Hening kembali. Bilik kamar di kereta jadi terasa lebih dingin. Tubuh mereka makin rapat.

“Aku tidak mau melihatmu pergi.” Kata Kelana.

“Tidurlah.”

“Kamu berjanji akan tetap bersamaku?”

“Tentu.”

*** Terpidana 19394

Stasiun ke-11. Prono sudah berada di luar kereta KMN-2. Melanjutkan hidup, melanjutkan perjalanan. Petugas Departemen Perkawinan menjemput dan memberikan selamat. Sebetulnya bisa saja Prono turun bersama Kelana di pemberhentian terakhir. Tapi hidup tak bisa begitu saja mengorbankan yang sudah ada. Kepalanya harus dingin, toh selama ini ia tak pernah benar-benar meninggalkan Kelana jauh dari kenangannya. Negara toh tak perlu tahu soal ini juga.

Pada bilik kamar 19394, Kelana tidak menangis. Ia tetap duduk di dekat jendela. Menikmati perjalanan menuju stasiun terakhir. Apa ini? Hukuman yang buang-buang waktu, batin Kelana. Menentukan keputusan soal perasaan tidak bisa begitu saja—tidak bisa dengan gampang diputuskan. Apalagi dengan naik kereta selama 12 jam. Sudah, di sini saja. Negara tak berhak tahu, atas nama norma juga tak perlu ikut campur. Kalau sudah pergi ya biarkan pergi. Pertemuan bisa kapan saja terjadi. Kelana tetap duduk di dekat jendela.(*)


Ilustrasi: Les mauvaises graines by Pierre Roy (1901). terpidana 119394

Baca juga:
Pengakuan Che | Cerpen Margareth Ratih Fernandez
Kesaksian Mata Cecak | Cerpen A. Waritz Rovi

Terpidana 19394

Komentar Anda?