Menu
Menu

Ia bertemu lagi dengan Ular, datang dan pergi, lincah berkelit untuk kemudian kembali lagi. Ia bertanya-tanya, apakah ular bisa dimakan? | Variasi Kesendirian I


Oleh: Pradewi Tri Chatami |

Sehari-hari bekerja di Marjin Kiri dan berjualan buku di Littera Textilis.


Variasi Kesendirian I

A. Jatuh

Hawa mendapati buah yang ia gigit tak lagi bisa ia nikmati. Ia berjalan menendang sisa buah itu sampai jauh lalu mencoba semua buah yang ia temukan: yang kecil, yang besar, yang hijau, yang merah. Sebagian buah membuatnya muntah, sebagian lagi ternyata lebih enak dari buah yang pernah ia makan di surga. Ia bertemu lagi dengan Ular, datang dan pergi, lincah berkelit untuk kemudian kembali lagi. Ia bertanya-tanya, apakah ular bisa dimakan?

Ia melihat burung membuat sarang, mencoba menirunya sambil berpikir bahwa ia tak mungkin muat di pucuk pohon. Ia turun dari pohon dan melihat gua, ragu karena tak terbiasa dengan gelita. Ia melempar batu dan tak sengaja menemukan percik Api. Ia yang menolak bersujud padanya, Ialah pembawa cahaya.

Ia tertidur dan ia miliki segala bayang-bayang: taman, kekasihnya, rumah, segala yang pernah. Ia terbangun dan di antara lelap dan jaga ia miliki bayang-bayang yang lain, angan-angan yang akan.

B. Bertahan

Segala di dunia diketahuinya dari berbuat kesalahan terlebih dahulu, kecuali di waktu-waktu tertentu, saat ada keberuntungan Pemula.

Kini ia tahu batu mana untuk menusuk binatang, memotong kulitnya, dan mana untuk menciptakan api. Mana kayu untuk menutup rapat gua dan mana yang dipakai untuk dibakar. Tak ada larangan apa pun di sini, selain bahwa tiap pilihan bisa membuat mati, dan betapa ia ingin terus hidup, terus mencari tahu, terus menggambar yang ia tahu di guanya.

C. Berjalan

Ia ingat pohon itu tumbang setelah buah mereka makan. Dunia terbentang, Tuhan membuat dirinya dan kekasihnya menyingkir dari taman ke arah yang berlainan.

Lama ia menunggu kekasihnya, sambil terus bertanya, jika ia berjalan ke arah matahari terbit, apakah ia akan mati, dan apakah kekasihnya telah mati? Apakah kekasihnya tahu bagaimana menggunakan batu?

Ia tahu kekasihnya tak bisa sendirian. Karena itulah dulu ia juga turut diciptakan. Bagaimana jika ia tak tahu apa-apa dan menunggunya?

Ia putuskan untuk berjalan ke arah matahari terbit dan belajar lebih banyak lagi. Jika Tuhan memang ingin mereka bertemu, maka ia akan menunggu. Atau ia akan menemukan jalan, dan mungkin suatu saat mereka akan berpapasan.

Ia melempar batu ke sungai, lalu melompat sambil bersenandung.

.

Variasi Kesendirian II

A. A Room for One’s Own

“Tangkaplah kijang emas itu, suamiku.”

Tiada laki-laki yang mengerti bahwa perempuan seringkali ingin sendiri. Selepas suamiku pergi, datang seorang yang lain, buruk rupa dan pemaksa. Aku tidak punya banyak tenaga untuk melawan.

Aku ia tempatkan di kamar luas dengan taman yang bisa kupandang dari jendela. Tak ada yang buruk di sini, kecuali tampang dan perangainya.

Lelaki itu tak memaksakan dirinya padaku, tetapi setiap hari ia membujukku untuk melepas suamiku dan bersamanya, setiap hari pula aku menggunakan kesempatan itu untuk latihan mengemukakan pendapatku.

Jika aku sedang bosan, aku hanya memakai kain terbaikku, bersolek, lalu menyuruhnya berkaca selama kami minum-minum. Perempuan cantik dan si Buruk hanya akan bisa bersanding di dalam dongeng buatan lelaki putus asa miskin imajinasi.

Ia akan menangis lalu pergi ke ruangannya, marah-marah pada siapa pun untuk melampiaskan kekecewaannya.

B. Ashes Are the Purest White

Suatu hari Monyet datang dan mengatakan suamiku mengutusnya. Mereka akan menyelamatkanku. Dari apa?

Satu-satunya penderitaanku di sini adalah kebosanan, yang juga akan kutemui jika kelak mereka membawaku pulang.

Tapi Monyet itu sahabat setia suamiku dan hanya kata-kata dari lelaki itu yang berharga.

Ini adalah pertarungan antarlelaki dan yang kutahu tiba-tiba semua sudah menjadi abu, dunia menjadi begitu putih, lebih putih dari bulu si Monyet.

C. If I Can’t Have Me, Nobody Can

Aku tak pernah membayangkan soal kesucian ketika melihat api, tetapi lelaki-lelaki terobsesi pada pemurnian dan melihatnya di mana-mana.

Aku melihat ke mana pun dan tak menemukan tempat bagiku sendiri: selalu menumpang, selalu dipindahkan ke sana kemari, dari rumah orangtuaku, rumah suamiku, rumah lelaki yang menculikku.

Ketika asap membubung dan keretak kayu adalah satu-satunya bunyi, segala menjadi terang dan kumasuki rumahku tanpa sekali pun berpaling lagi.

2020

.

Variasi Kesendirian III

A. Paris
Aku mengingat namaku yang kaupahat di batang pohon saat melihat panah tertancap di tubuhmu. Darah yang mengalir dari sana adalah air mata yang juga mengalir dari mataku saat tiga dewi datang membawa sebutir apel.

Aku pernah memperingatkanmu, cinta bagiku bukan bahaya yang lekas pupus, patah hati adalah harga yang terlalu mahal untuk hidupku. Kau meyakinkanku untuk hidup bersamamu.

Sejauh masa depan bisa kupandang, bahagia akan menjadi pernah dan gembala muda yang tak juga mahir berburu ini bukanlah milik hutan, apalagi hatiku.

Telah kuajarkan padamu cara-cara berbahagia dengan alam, tapi tanganmu milik pena dan kakimu lebih pantas ada di dalam istana.

B. Alexandros
Hektor yang perkasa, Priam yang bijaksana, dan kau, mantan suamiku, adalah lelaki yang dipermainkan para dewa.

Kau tak pernah mau mendengar saat kusampaikan apa yang kulihat akan terjadi. Kau selalu memintaku membuka mataku dan ketika yang kautangkap adalah citra masa kini, kau lupa mataku memang terberkati.

Berkahku, kekasihku yang malang, bukan untuk meluncurkan seribu kapal, tapi segala kesedihan yang hadir sebelum kisah dimulai.

C. Gunung Ida
Aku begitu mencintaimu saat kukatakan padamu bahwa kelak hanya tangankulah yang bisa menyelamatkan nyawamu.

Aku begitu mencintaimu saat kukatakan padamu bahwa tangan ini lebih baik kugunakan untuk menumbuhkan pohon-pohon yang tercerabut perang setelah kau meninggalkanku.

2020


Ilustrasi: Photo by Markus Spiske from Pexels

Baca juga:
Puisi-Puisi Adimas Immanuel – Cupio dissolvi
Puisi-Puisi Setia Naka Andrian – Surga Itu
Sudah Dua Tahun Pesta Tak Mampir ke Rumah

Komentar Anda?