Menu
Menu

Tubuhnya gemetar oleh rasa penasaran membaca kisah seorang Ben yang lain […] | Kisah Kematian Ben dalam Tiga Babak.


Oleh: Liswindio Apendicaesar |

Bergiat di Komunitas Sastra Pawon. Tahun 2019 diundang mengikuti Festival Sastra Bengkulu dan Festival Literasi Tangsel, juga tergabung ke dalam tim penerjemah di Intersastra untuk edisi Unrepressed. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Tempo, Pikiran Rakyat, Buruan.co, Magdalene, Pijar Psikologi, Cendana News dan ceritanet. Tulisan berbahasa Inggrisnya pernah dimuat di The Jakarta Post, Fahmidan Journal, Mixed Mag, Voice and Verse Poetry Magazine Hongkong, Paper Lanterns Ireland, dan lain-lain. Buku kumpulan cerpennya berjudul Malam untuk Ashkii Dighin (Bukukatta, 2017).


1. Catatan Harian

03/03

Seperti biasa, berangkat sekolah setiap pagi terasa menakutkan. Aku tidak tahu kenapa dadaku selalu cemas dan kepalaku membayangkan begitu banyak kesalahan yang akan kulakukan di sekolah yang berakhir dimarahi guru-guru. Kenyataannya, aku jarang sekali membuat kesalahan. Beberapa guru bahkan menyukaiku dan sering memuji nilaiku.

Namun, kemungkinan-kemungkinan buruk itu pasti ada dan mereka terus menghantuiku setiap pagi. Aku benci melihat terang matahari pagi hari. Seandainya malam bisa lebih panjang, atau bahkan tidak pernah berakhir.

03/03

Hari ini kami berpapasan lagi dan dia menyapaku lebih dulu. Perasaan takut, senang, gugup, bercampur membuatku salah tingkah. Padahal kami sudah berteman cukup akrab selama setahun, bahkan sering mengobrol di telepon hampir setiap hari (biasanya aku meneleponnya diam-diam ketika semua orang rumah sedang pergi).

Namun, sejak kenaikan kelas enam bulan lalu, lambat laun kami jadi jarang berinteraksi. Dia juga mulai punya teman-teman sendiri di kelas yang baru. Awalnya aku sering mampir ke kelasnya, tapi lama-lama beberapa teman baruku di kelas sering mengajakku makan bersama atau sekadar mengobrol di setiap jam istirahat.

Diam-diam setiap lewat kelasnya kadang aku mencuri pandang melihatnya memain-mainkan rambutnya yang hanya sebahu itu. Dia selalu terlihat lucu, bahkan ketika mengeluh.

05/03

Orang tuaku hari ini bertengkar lagi. Beberapa piring pecah. Beberapa kali aku mendengar kata perceraian. Pintu-pintu dibanting. Begitu banyak kalimat makian yang harus kudengar. Besok ada ulangan di sekolah. Aku tidak tahu, harus belajar atau memastikan ayahku yang badannya lebih besar dari ibuku tidak terpancing emosinya lalu melakukan kekerasan.

Adikku yang masih kecil menangis. Aku berusaha menemaninya. Berkali-kali dia memintaku untuk menghentikan pertengkaran orang tua kami, tapi aku hanya diam dan memeluknya. Apa yang bisa kulakukan?

Masalah uang, saudara, harga diri, dan lain-lain. Aku tidak begitu paham. Aku berharap mereka bercerai agar aku tidak perlu mengalami lagi semua ini.

10/03

Ibuku memarahiku karena biaya telepon rumah bulan lalu membengkak. Dia tahu bahwa dia jarang menggunakan telepon rumah, ayahku lebih-lebih. Adikku tidak mungkin menggunakan telepon rumah, hanya aku satu-satunya tersangka yang tersisa. Aku tidak bisa menjelaskannya. Dia akan lebih marah jika tahu aku menyukai anak perempuan yang berasal dari latar belakang berbeda. Aku hanya menangis.

Besok pagi aku harus berangkat ke sekolah dengan badan biru-biru lagi. Beberapa bulan lalu temanku pernah ada yang bertanya padaku mengapa tangan dan pahaku memar biru-biru, ada pula yang lecet. Aku cuma menjawab, “tertabrak meja“. Bukan sebuah alasan yang bisa dipercaya, tapi dia tidak lagi bertanya setelah aku mengalihkan pembicaraan.

11/03

Hasil ulanganku dibagikan dan hanya mendapat nilai 80. Selama perjalanan pulang aku hanya bisa ketakutan dan berusaha mempersiapkan diri menerima segala cacian dan mungkin ikat pinggang yang akan meluncur ke tubuhku.

“Dasar pemalas! Bodoh! Makanya belajar! Percuma dikasih makan bergizi setiap hari kalau cuma bikin malu orang tua seperti ini! Jangan kurang ajar makanya jadi anak! Dikasih tahu orang tua nurut!“

17/03

“Kamu jangan bergaul dengan dia! Dia itu bodoh. Nilainya jelek-jelek. Cuma bikin kamu main melulu, lupa belajar.“

Lagi-lagi aku dilarang punya teman. Sebelumnya aku dilarang akrab dengan sahabatku yang lain karena nilainya di sekolah bagus-bagus.

“Dia pasti menganggapmu saingan di kelas. Makanya dia pura-pura mengaku tidak belajar setiap ada ulangan supaya kamu terpengaruh. Jadi nanti nilainya bagus, sedangkan nilai kamu jelek.“

23/03

Ibuku diam-diam menggeledah kamarku tadi siang dan menemukan gambar-gambar dan tulisanku yang membuatnya tahu siapa teman di sekolah yang kusukai. Dia mengambil ponselku dan membaca semua pesan singkatku.

Setelah ayahku pulang kerja, mereka memarahiku habis-habisan. Badanku semua kesakitan. Besok aku tidak diizinkan pergi ke sekolah.

30/03

Temanku bertanya aku sakit apa beberapa hari lalu sampai tidak masuk sekolah. “Agak demam dan flu,“ jawabku.

Hari-hari di sekolah berlalu seperti biasa. Aku masih tertawa dan bercanda bersama teman-temanku tadi.

. kisah kematian ben dalam tiga babak

2. Berita Media

02/04

Jasad seorang anak SMP berusia 14 tahun ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya. Menurut laporan, jasad ditemukan oleh adiknya sekitar pukul 17.00 pada tanggal 01/04. Ketika hendak dibawa ke rumah sakit, korban sudah kehilangan terlalu banyak darah sehingga tidak lagi tertolong. Dari hasil pemeriksaan TKP oleh polisi dan autopsi, korban dipastikan bunuh diri dengan menusuk lehernya sendiri menggunakan pisau dapur.

Menurut keterangan guru korban di sekolah, korban adalah siswa yang baik dan tidak tampak memiliki masalah. “Nilai sekolahnya semua baik,“ sebut salah seorang gurunya, “pergaulannya dengan teman-teman di sekolah pun tidak pernah ada masalah.” Guru-gurunya masih sulit percaya bahwa korban meninggal dunia karena bunuh diri.

Sebuah surat, diduga pesan terakhir korban, ditemukan di saku bajunya. Surat tersebut saat ini disimpan oleh polisi sebagai barang bukti. Orang tua korban menolak menceritakan isi surat tersebut saat diwawancari oleh wartawan. “Benar. Itu tulisan tangan anak kami. Maaf, kami tidak bisa menceritakan pesan terakhir mendiang. Tolong jangan diungkit-ungkit lagi. Doakan anak kami telah beristirahat dengan tenang,“ kata ayah korban.

05/04

Telah tutup usia ananda Ben pada usia 14 tahun.
Kami yang ditinggalkan: Ayah, Ibu, Adik, Kakek, Nenek, Paman, dan Bibi
Mendiang telah disemayamkan di Taman Pekuburan Umum pada 04/04
Semoga mendiang mendapat tempat yang terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

. kisah kematian ben dalam tiga babak

3. Ex Nihilo

Tangan kanan Ben tiba-tiba memegang sebuah buku. Dia tidak ingat sejak kapan atau kenapa buku tersebut ada di genggamannya. Dia juga tidak ingat sejak kapan dia terduduk di ruang baca dalam rumahnya itu. Sudah lama sekali dia tidak membaca di sana. Buku itu cukup tebal, sampulnya didesain seperti sebuah buku dongeng, dan berisi tentang seorang anak laki-laki yang memiliki nama yang sama seperti Ben. Ben tidak ingat pernah melihat buku itu sebelumnya.

Tubuhnya gemetar oleh rasa penasaran membaca kisah seorang Ben yang lain. Satu demi satu halaman dibacanya dengan emosi yang hanyut seolah dia menjadi Ben dalam buku itu. Ben yang lahir dalam keluarga yang penuh dengan teriakan-teriakan, yang setiap hari selalu menangis dan memohon ampun, yang selalu bermimpi buruk bahwa dunia sengaja berkonspirasi untuk menyiksanya.

Sewaktu bersekolah di taman kanak-kanak, Ben di dalam buku pernah tidak menghabiskan bekal makannya yang dia bawa dari rumah. Sesampainya di rumah, wajahnya dipukuli dan sisa bekal makannya dilempar ke wajahnya. Saat di sekolah dasar, ayahnya melempar botol minum berisi penuh air kepadanya dan mengenai kakinya, menyebabkan Ben harus berjalan pincang selama tiga hari. Setiap memukulinya, ibunya sengaja memakai cincin di jari lebih dulu agar logam tersebut membuat tubuh Ben memar-memar. Di lain waktu, ibunya juga memarahi Ben sampai menyuruhnya keluar rumah dalam keadaan telanjang.

Lama-lama Ben tidak sanggup lagi membaca kisah hidup Ben yang lain dalam buku itu. Terlalu menyedihkan, lirihnya. Matanya tak bisa menahan tangis dan dadanya pun terasa sakit, seolah dia turut merasakan semua pengalaman Ben yang tertulis di buku tersebut. Berkali-kali dia ingin berhenti dan menutup buku itu, tapi berkali-kali pula buku itu berbicara melalui isi kepala Ben dan mendesaknya untuk melanjutkan. Ben tidak kuasa menolaknya, seolah ada gaya yang sangat kuat mengendalikannya.

Semakin dia membaca buku itu, semakin dia merasa tidak asing. Dia bahkan mulai bisa menebak isi cerita di halaman-halaman berikutnya. Imaji-imaji yang bermunculan di kepalanya turut semakin jelas. Dia kenal dengan semua tokoh di buku itu, dia kenal dengan cerita di sana. Ben yakin ini pertama kalinya dia melihat dan membaca buku tersebut, “Tidak mungkin aku salah,” tapi déjà vu yang dia rasakan terlalu kuat dan nyata.

Ben semakin tidak sanggup untuk terus menyaksikan penderitaan Ben yang lain dalam buku itu. “Aku mohon, berhentilah. Berhenti. Sudah cukup. Jangan diteruskan.” Namun, buku itu tak membiarkannya berhenti di tengah jalan. Ben terus membaca dan menangis. Akhirnya dia berdoa dalam hatinya, agar Ben dalam buku itu segera dibebaskan dari semua kemalangan yang harus dia hadapi. Kita tidak bisa memilih hidup dan terlahir di mana, tapi kita bisa memilih agar tidak lagi menderita, pikirnya.

Kematian tidak selalu gelap, dan menyerah bukan berarti putus asa. Doa Ben.

Buku itu pun mengabulkan permohonannya. Halaman berikutnya yang dia buka hanya setengah penuh yang menceritakan kematian Ben yang singkat. Singkat sekali, sampai-sampai Ben dalam buku itu tidak perlu merasa sakit dan takut. Ben yang membacanya pun merasa lega. Akhirnya selesai. Akhirnya tidak lagi ada penderitaan yang harus dia rasakan.

Kali ini air matanya adalah air mata kedamaian. Akhirnya Ben di dalam buku terbebas. Ini yang terbaik, pikirnya.

“Kakak, ayo turun, kita makan,” adiknya memanggil.

Ben terkejut. Bagaimana mungkin adiknya ada di sini. Ben yakin bahwa dia telah mati, dan adiknya masih hidup.

“Kakak, ayo!”

“Ke-kenapa kamu ada di sini?“

“Kakak bicara apa, sih? Ayo kita makan.”

“Tidak mungkin. Tidak mungkin. Aku sudah mati. Aku ingat betul aku sudah mati. Aku berhasil bunuh diri dan terbebas. Kenapa aku masih hidup? Seharusnya aku sudah mati.“

Buku di tangan Ben terjatuh ke lantai. Dia memukul-mukul kepalanya lalu menggaruk leher dan tangannya sampai merah. Dia mulai menangis lagi. Kali ini tangisannya berisi ketakutan yang memohon agar sekali lagi dia dibebaskan. “Tidak mungkin. Tidak mungkin. Aku mohon. Jangan lagi. Jangan lagi. Jangan lagi…“

Adiknya mengambil buku yang tadi terjatuh ke lantai lalu membuka sebuah halaman dan menunjukkannya ke wajah Ben.

“Kau memang sudah mati tadinya. Tapi lihat, kau disuruh hidup lagi. Kau masih harus menderita dan kau dilarang kabur.“ (*)

kisah kematian ben dalam tiga babak


Ilustrasi: La Chambre à Arles – Vincent van Gogh

Baca juga:
Cerpen Ardy Kresna Crenata – Yang Kita Miliki dan Tak Kita Miliki
Death of a Salesman: Konflik Keluarga dalam Ilusi Modernisme

Kisah Kematian Ben dalam Tiga Babak | Cerpen Liswindio Apendicaesar

1 thought on “Kisah Kematian Ben dalam Tiga Babak”

  1. Rukismin berkata:

    Salah satu cerpen terbaik yang pernah saya baca

Komentar Anda?