Menu
Menu

Apa saja yang kita miliki dan tak kita miliki?


Oleh: Ardy Kresna Crenata |

Menulis esai, cerpen, dan puisi. Buku kumpulan cerpennya “Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku” (DIVA Press, 2017).


Di sebuah siang di bulan Desember, musim dingin, seorang perempuan meninggalkan anaknya di kamar mandi.

Anaknya ini belum juga dua tahun, belum bisa berjalan, apalagi membuka pintu kamar mandi. Di kamar mandi itu tidak ada pemanas ruangan sehingga sudah pasti si anak ini kedinginan, terutama ketika malam sudah sangat larut. Bisa kita bayangkan si anak ini kelaparan, dan mungkin gemetaran, dan mungkin ketakutan.

Perempuan itu baru kembali memasuki kamar mandi sekitar pukul sepuluh besok harinya. Ia mendapati anaknya itu masih hidup, masih bersuara, dan sedang menangis. Ia memangku anaknya itu, membawanya ke ruangan-ruangan lain, mendekapnya erat sambil bergerak-gerak ke sana kemari. Ruangan-ruangan lain itu tentu saja jauh lebih hangat dari kamar mandi dan perlahan tangis si anak terhenti. Ia tertidur, terlihat damai, seperti tak pernah mengalami sesuatu buruk apa pun. Namun tentu ia tidak baik-baik saja. Semalaman dihantam dingin di kamar mandi membuat salah satu jari kakinya membeku, dan terluka.

Pada siang harinya perempuan itu membawanya ke rumah sakit. Dalam rentang waktu itu sendiri, si anak beberapa kali terbangun dan menangis keras-keras. Dan si perempuan sendiri, pada kali kesekian si anak terbangun dan menangis keras-keras, akhirnya ikut menangis juga. Beberapa kali ia menjedot-jedotkan kepalanya ke dinding rumah.

Selama hampir dua puluh jam meninggalkan si anak di kamar mandi, perempuan itu pergi ke beberapa tempat. Awalnya ia ke taman. Ia duduk di salah satu bangku di taman itu, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang dan bermalas-malasan. Di antara mereka ada yang berjalan-jalan bersama anjingnya. Ada juga anak-anak yang bermain dan berisik. Dan ada juga rupanya seseorang sepertinya, seseorang yang hanya duduk di sebuah bangku, sendirian, dan terlihat tengah memikirkan sesuatu yang dalam. Ia sempat menerka-nerka apa yang dipikirkan seseorang itu sambil memandanginya, namun hanya sebentar saja. Segera ia alihkan pandangan dan perhatiannya ke hal-hal lain, seperti langit yang mulai berubah warna, atau daun-daun yang bergerak-gerak.

Ketika hari mulai gelap, ia meninggalkan taman itu.

Dari taman ia pergi ke bioskop. Ia menempuh perjalanan belasan menit dengan bus. Di bioskop, ia memilih sebuah film drama tanpa benar-benar ingin menontonnya. Selama hampir dua jam di studio bioskop ia menyadari betul ia sesungguhnya tak benar-benar di sana; matanya memang menatap ke layar besar di depannya namun pikirannya entah di mana; seperti berpindah-pindah dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain. Tentu saja ia sesekali teringat anaknya. Anaknya itu sedang berada di kamar mandi, sendirian, mungkin kelaparan, dan tentu saja kedinginan. Ia merasa kasihan kepada anaknya itu tetapi ia tak peduli dan tak ingin menolongnya. Ia sendiri kedinginan di separuh akhir film dan berusaha mengatasi hal ini dengan memeluk dirinya erat-erat. Tepat di detik lampu studio menyala, ia bangkit dan menuruni tangga cepat-cepat.

Selanjutnya ia ke izakaya[1], kira-kira setengah jam perjalanan dengan bus. Di sana ia memesan ramen, dengan mi keriting dan daging babi dan kuah kare. Ia tidak terburu-buru menyantap ramen itu. Ia sendirian, di sebuah meja kecil yang diperuntukkan bagi dua orang. Ia sempat akan memesan gyoza namun batal. Sesungguhnya ia tidak begitu lapar; ia memesan ramen sekadar untuk mengatasi rasa dingin yang masih ada di tubuhnya, yang masih melekat di tubuhnya. Ia baru menghabiskan ramen itu sekitar empat puluh menit sejak mulai menyantapnya. Ketika itu, hari sudah benar-benar malam.

Di perjalanan pulang di dalam bus, ia kembali teringat anaknya. Ia tahu betul anaknya itu akan menangis. Menangis dan terus menangis. Dan meski ia sedang berada jauh dari anaknya itu ia merasa seperti benar-benar mendengar tangisannya, seakan-akan anaknya itu ada dalam pangkuannya, atau bahkan di dalam dirinya. Ia menoleh ke kanan, menatap ke luar jendela, mengamati apa pun yang ada di sana. Tokyo di malam hari, entah kenapa, selalu membuatnya sedih. Lampu-lampu, gedung-gedung tinggi, kendaraan-kendaraan yang selalu lekas tak terlihat. Kadang ia melihat orang-orang di trotoar dan mengamati mereka ketika laju bus melambat. Ia tak mengerti kenapa orang-orang itu ada di sana, seperti halnya ia tak mengerti kenapa ia berada di dalam bus itu, mengamati mereka, dan memikirkan hal ini.

Sewaktu-waktu ia memejamkan mata, terutama ketika dirasakannya laju bus yang ditumpanginya itu mencepat. Lalu seketika, bayangan anaknya di kamar mandi itu kembali muncul, dan ia begitu saja mengembuskan sebuah napas panjang. Setelah hampir satu jam berada di bus ia menekan bel. Ia turun tak jauh dari sebuah konbini[2]. Ia belum akan kembali ke rumahnya meski ia tahu betul anaknya itu mungkin sudah mulai tersiksa dan putus asa.

Di konbini, ia membeli beberapa camilan dan minuman, juga buang air besar. Malam telah sangat dingin tetapi ia mengenakan jaket tebal dan kini bahkan melilitkan syal di lehernya, sehingga menurutnya ia tidak apa-apa. Sambil memikirkan apa yang selanjutnya akan dilakukannya, ia ngemil. Ia berdiri seorang diri di pelataran konbini dalam sorot lampu, dan ngemil. Ia belum ingin pulang. Ia tahu itu. Maka keputusan ini pun diambilnya: ia akan mencegat taksi dan kembali ke pusat kota. Ia berencana menginap di sebuah capsule hotel yang murah di sana. Dan begitulah, ia baru kembali berada di rumahnya keesokan harinya.

Sejak suaminya meninggal pada bulan Juni perempuan itu memang berubah. Ia tak lagi seorang periang. Bahkan bisa dibilang ia pun tak pernah lagi tersenyum, benar-benar tersenyum dan terlihat bahagia. Kesehariannya sebagai seorang novelis memungkinkannya untuk tak sering-sering keluar rumah dan berinteraksi dengan orang-orang, dan ia benar-benar memanfaatkan ini; sejak bulan Juni itu ia hanya akan keluar rumah ketika persediaan makanan atau minuman mulai habis atau anaknya yang masih balita itu butuh popok baru. Orang-orang di penerbitan yang terhubung dengannya sendiri, seperti editornya, memahami masa-masa sulitnya ini, dan mereka memberinya keleluasaan untuk tak cepat-cepat merampungkan naskah novel terbarunya; mereka bahkan menahan diri untuk tidak menghubunginya; tidak lewat surel sekali pun. Di beberapa bulan awal, ia masih bisa mengurus anaknya itu seperti biasa dan tetap tegar. Namun belakangan, tepatnya setelah musim dingin tiba, ia akhirnya mulai kewalahan.

Awalnya ia begitu malas bangkit ketika mendapati anaknya itu menangis. Sering ia membiarkan anaknya itu menangis cukup lama, dan yang dilakukannya selama itu hanya mendengarkan tangisan tersebut, sambil berbaring menelentang di kasurnya. Ia dan anaknya tentu tidur di ruangan yang sama, dengan jarak yang terbilang dekat—kurang dari sepuluh langkah saja. Ketika ia akhirnya bangkit dan berjalan menghampiri anaknya, dan anaknya itu masih saja menangis, ia pun justru ikut menangis; ibu-anak ini sama-sama menangis di ruangan yang sama. Anaknya itu biasanya baru berhenti menangis setelah ia memangkunya dan membawanya bergerak-gerak ke sana kemari, berpindah-pindah dari satu ruangan ke ruangan lain. Ia sudah nyaris tak lagi menyusui anaknya itu setelah musim dingin tiba. Kadang ia membayangkan anaknya itu tak pernah ada, atau ia yang tak pernah ada.

Ketika suaminya masih hidup dan masih menemaninya di rumah itu, kehadiran si anak justru sangat membantunya dalam melalui hari demi hari. Ia bukan seorang novelis yang produktif seperti Murakami Haruki, bukan juga seorang bekas-aktris yang punya paras cantik seperti Matsuda Aoko, sehingga di matanya kualitas novelnya adalah satu-satunya hal yang bisa ditawarkannya kepada pembaca. Karena itu ia sering tertekan ketika mendapati apa yang ditulisnya tidak sesuai dengan apa yang dibayangkannya; dan sering ia berada dalam situasi di mana ia ingin sekali menghapus semua yang telah ia tulis dan memulainya lagi dari awal. Pada saat-saat seperti inilah, tingkah laku anaknya itu seperti menghiburnya; bahkan kalaupun si anak itu hanya menangis meminta perhatiannya, atau sekadar air susunya. Suaminya yang baik dan humoris pun tentu membantunya merasa lebih baik. Ia selalu bersyukur telah diberi kehidupan setiap kali suaminya itu memeluknya erat-erat atau menciuminya dengan lembut, atau melontarkan lelucon-lelucon yang kadang bisa membuatnya sakit perut.

Namun suaminya telah tiada dan itu membuat segalanya berbeda. Rumah yang sama, balita yang sama, rutinitas yang sama, namun terasa jauh berbeda. Ia bahkan tak bisa lagi menulis dalam satu bulan terakhir; naskah novelnya yang telah 70% itu ia telantarkan dan ia tidak tahu kapan ia akan menyentuhnya lagi. Sesungguhnya ia pun ingin melakukan hal yang sama kepada anaknya, namun ia sadar betul itu tidak mungkin; bagaimanapun balita itu masih membutuhkan perhatiannya, pelukan-pelukannya, kasih sayangnya.

Di novel keduanya yang terbit empat tahun lalu ia menghadirkan seorang perempuan yang tak bisa melarikan diri dari naluri keibuannya, di mana ia pada akhirnya selalu kembali mengurus anaknya dengan penuh kasih kendati ia memiliki keinginan yang kuat untuk menjauhkan anaknya itu darinya, untuk memutuskan ikatan yang telanjur ada di antara mereka berdua. Dan kini ia berada dalam situasi seperti itu. Tidak persis sama, tapi kurang lebih seperti itu. Si perempuan dalam novelnya itu pada akhirnya mengalah, membuang jauh-jauh keinginannya tadi. Ia bertanya-tanya apakah ia pun akan melakukan hal yang sama.

Suaminya yang baik dan humoris itu meninggal bunuh diri. Ia menjatuhkan diri dari atap gedung kantornya pada jam kerja, ketika rekan-rekan kerjanya sedang menghabiskan tenaga dan pikiran untuk memenuhi tuntutan-tuntutan atasan mereka. Ia sendiri pun seharusnya melakukan itu, tetapi pada siang itu ia tiba-tiba bangkit dari kursinya dan dengan langkah-langkah cepat ia menuju pintu dan setelah itu koridor dan setelah itu lift; dan lift itu membawanya ke atap gedung, tepatnya ke lantai kedua di bawahnya. Ia tak menoleh sedikit pun. Rekan-rekan kerjanya pun tak ada yang mencoba menghentikannya atau mengejarnya, atau sekadar memanggilnya. Mereka, barangkali, terlalu tertekan bahkan untuk sekadar melakukannya.

Si perempuan di dalam cerita yang kita nikmati ini tentu saja tidak tahu sampai sedetail itu. Pihak perusahaan tempat suaminya bekerja hanya memberitahunya bahwa suaminya itu menjatuhkan diri dari atap gedung kantor. Hanya itu. Tidak ada semacam pesan terakhir. Tidak ada catatan apa pun darinya baik itu di selembar kertas atau komputer perusahaan atau laptop pribadinya atau ponsel pintarnya. Sama sekali tak ada. Kenyataan yang satu ini rupanya lebih menyakitkan bagi si perempuan ketimbang bunuh diri suaminya itu sendiri.

Ia selalu berpikir suaminya itu menyayanginya, dan bahwa mereka menjalani rumah tangga yang sempurna, yang senantiasa penuh dengan kebahagiaan; bahkan suaminya itu selalu bisa membuatnya tertawa saat ia sedang bosan, atau sedih, atau sakit. Apa yang telah ia lewatkan? Apa yang tidak pernah ia ketahui dari suaminya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini terus berdengung di dalam dirinya. Dan ia mulai berpikir bahwa kehidupan yang dijalaninya selama ini hanya ilusi semata; hanya sesuatu yang tak pernah benar-benar terjadi, yang tak pernah benar-benar ada. Ia ingat salah satu tokoh penting di novel pertamanya pernah mengemukakan sesuatu seperti ini. Lama-lama, ia mulai berpikir kehidupan yang dijalani tokoh-tokoh dalam novel-novelnya itu lebih nyata daripada kehidupannya sendiri.

Ketika ia memutuskan untuk meninggalkan anaknya di kamar mandi, hal tersebutlah yang kembali terpikirkan olehnya. Kehidupannya tidak nyata; apa-apa yang dihadapinya tak pernah benar-benar ada; semua itu tak pernah benar-benar terjadi dan ia hanya sedang terjebak dalam sebuah ilusi. Sebelumnya selama satu bulan terakhir ia merasa begitu asing dengan anaknya itu; ia merasa di antara mereka ada sesuatu yang salah yang tak semestinya ada, namun ia tak juga bisa menemukan sesuatu itu apa. Ketika ia membiarkan anaknya itu menangis dan terus menangis, seringkali ia membayangkan ia tengah berada di sebuah tempat lain, dalam situasi yang juga lain, dan mungkin bukan sebagai dirinya. Ketika ia berada di bus dalam perjalanan pulang pada pagi itu, ia membayangkan anaknya telah tak ada. Tak ada, dalam arti anaknya itu lenyap. Benar-benar lenyap. Dan ia tak akan mencarinya.

Namun begitulah seperti yang digambarkan di awal tadi, anaknya itu masih ada, di kamar mandi, sedang menangis meminta perhatiannya, juga pertolongannya. Di detik ia mendengar tangisan anaknya itu ia kecewa. Di detik ia membuka pintu kamar mandi dan melihat anaknya itu ia masih kecewa. Namun rasa kecewanya ini mulai pudar ketika anaknya itu telah berada di pangkuannya, ketika ia menepuk-nepuk pelan bokong dan punggung si anak, ketika ia menyentuh-nyentuhkan hidungnya yang dingin ke hidung si anak yang juga dingin, ketika ia begitu saja menciumi si anak di keningnya, di pipinya, di hidungnya, di bibirnya.

Seperti digambarkan di awal tadi, si anak kemudian tertidur, lalu terbangun beberapa lama setelahnya dan kembali menangis, tertidur lagi, lalu terbangun dan menangis lagi, terus seperti itu. Di kali kesekian si anak terbangun dan menangis, di mana perempuan itu pun ikut menangis dan menjedot-jedotkan kepalanya ke dinding, ia kembali kecewa. Benar-benar kecewa. Namun kekecewaannya kali ini berbeda dengan tadi. Ia tahu, yang satu ini, adalah rasa kecewa yang lain lagi.(*)

—Bogor, 2018-2019

[1] Bar khas Jepang.

[2] Convenient store

Ilustrasi: Oliva Nagung


2 thoughts on “Yang Kita Miliki dan Tak Kita Miliki”

  1. Mela berkata:

    Ibunya baby blues

  2. Onnie berkata:

    baca cerita ttg ibu gangguan jiwa sambil diajak jalan2 ke Jepang. oke boleh ?

Komentar Anda?