Menu
Menu

Dalam Aib dan Nasib, Mang Sota pergi membawa semua luka yang dialaminya.


Oleh: Retha Janu |

Alumnus Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sangat menyukai anak-anak dan bunga matahari. Saat ini aktif menjadi pengajar matematika di Rumah Belajar Ba Gerak, Ruteng. Silakan daftar jika suka belajar.


Aib dan Nasib karya Minanto menjadi buku ke-26 yang dibincangkan Klub Buku Petra. Meskipun masih harus dilaksanakan secara online, bincang buku yang dijadwalkan terjadi pada hari Kamis, 08 April, 2021 ini tetap menarik perhatian. Apalagi, Aib dan Nasib (Marjin Kiri, 2020) telah terpilih menjadi pemenang pertama sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 lalu. Hadir dalam bincang buku saat itu, Yuan Jonta selaku pemantik diskusi, Maria Pankratia sebagai moderator, Hermin Nujin, dr. Ronald Susilo, Lolyk Apung, Marcelus Ungkang, dan saya sendiri.

Kebingungan hingga Keterkejutan Membaca Aib dan Nasib

Sebagai pemantik diskusi malam itu, Yuan mulai membeberkan hasil pembacaan dengan mengutarakan kebingungannya terhadap cerita yang disajikan Minanto. Bagaimana tidak, saat pertama kali bersentuhan dengan Aib dan Nasib, ia dibuat pusing oleh banyaknya tokoh dalam novel tersebut.

Namun beruntung bahwa kebingungan itu tidak berlangsung lama. Saat memasuki cerita lebih jauh, kebingungan Yuan pun berubah menjadi keterkejutan. Ia mendapati banyak sekali persoalan seputar kriminalitas sebagaimana telah dipaparkan dalam sinopsis novel ini. Baginya, bentuk seperti ini merupakan sebuah warna baru—untuk tidak disebut ganjil pada jenis novel yang mengambil latar cerita pedesaan. Ia berpandangan bahwa ini novel yang baik.

“Cerita ini ditulis dengan menarik, mengalir, juga jujur dan apa adanya. Itu adalah kekuatan novel ini sehingga layak menjadi pemenang pertama sayembara Dewan Kesenian Jakarta,” papar Yuan.

Selanjutnya, Yuan menyampaikan bahwa sama seperti novel-novel lain yang bercerita tentang desa, Aib dan Nasib sedikit-banyak mengungkapkan keluguan masyarakat desa dan hal-hal jenaka dalam keseharian mereka. Penulis menghadirkan banyak sekali peristiwa pahit dan menyedihkan, namun ia sukses membungkusnya dengan dialog yang lucu dan renyah. Selain itu, nama-nama tokoh yang dipilih untuk kebutuhan cerita juga unik, misalnya Boled Boleng atau Bagong Badrudin. Minanto cukup berhasil meramu cerita-cerita tersebut, sehingga meskipun didominasi oleh peristiwa pedih dan pilu, Yuan merasa tidak begitu tersayat.

Secara lebih rinci, ia menegaskan bahwa hal yang coba dikomunikasikan oleh Minanto lewat Aib dan Nasib yakni kehidupan masyarakat desa yang pada kenyataannya tidak jauh berbeda dari masyarakat kota. Selain masalah kriminalitas, Pemantik Diskusi ini juga menyoroti maraknya praktek kotor nepotisme serta politik berkedok agama. Hal yang juga terasa ganjil namun cukup menarik perhatiannya adalah realitas kesenjangan sosial yang terjadi di desa.

“Jarang sekali terpikirkan oleh kita bahwa kesenjangan sosial yang cukup jauh juga terjadi di tengah masyarakat desa, seperti yang menimpa Mang Sota dan Kaji Basuki,” papar Yuan.

Selain itu, juga ada kehadiran beberapa tokoh yang merepresentasikan masyarakat desa yang kritis misalnya Marlina dan Mang Sota ketika berbicara tentang kekayaan Kaji Basuki. Seakan tak habis-habisnya, hal mengejutkan berikutnya adalah soal pembahasan tentang BDSM (Bondage, Discipline, Sadism, Masochism); sebuah novel tentang desa coba mengupas tentang BDSM. Berangkat dari sinilah, Yuan juga mengungkapkan pertanyaannya tentang sikap atau pandangan penulis terhadap perempuan. Apakah pencitraan perempuan memang sengaja ditulis demikian karena penulis ingin bercerita dengan jujur dan apa adanya? Ataukah hasil riset menunjukkan bahwa demikianlah masyarakat desa melihat sosok perempuan? Selain perempuan, soal keterbelakangan mental juga memunculkan pertanyaan serupa.

Secara sepintas, Yuan Jonta hampir pasti tidak menemukan sisipan pesan politis untuk empowerment perempuan atau orang-orang dengan keterbelakangan mental. Ia juga menyesalkan adanya cukup banyak kesalahan pengetikan dan keganjilan di beberapa bagian yang baginya masih kurang masuk akal, misalnya ketika penulis mengatakan Gulabia keguguran di usia kandungan enam bulan dan yang keluar hanya gumpalan darah. Yuan sendiri berharap, buku ini akan cetak ulang, sehingga kesalahan-kesalahan tersebut dapat diperbaiki.

Sama seperti Yuan, Hermin mengungkapkan keterkejutannya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel yang belum sempat dilahapnya hingga tuntas tersebut. Ia menemukan banyak kisah mengerikan dan sadis, bahkan menurutnya dominasi kisah seperti itu membuat Aib dan Nasib hampir tidak memiliki dinamika halus-kasar dalam ceritanya. Buku ini juga mengingatkannya pada beberapa novel yang telah dibincangkan Klub Buku Petra seperti Tango dan Sadimin (GPU, 2019) yang menceritakan kehidupan rumah tangga yang kacau, juga novela Dekat dan Nyaring (Banana, 2019) yang membahas anak-anak dengan keterbelakangan mental.

Lebih jauh lagi, Hermin mengungkapkan bahwa Minanto gagal menggiringnya ke ending cerita. Alur dan metode penyajian cerita berbentuk fragmen-fragmen menyulitkan Hermin untuk membaca. Ia merasa kurang nyaman dengan pilihan bentuk dan banyaknya jumlah tokoh dalam Aib dan Nasib. Akan lebih baik baginya, jika setiap tokoh diceritakan sendiri-sendiri.

Gairah Penulis Melakukan Eksperimen

Jika sebelumnya, Yuan dan Hermin mengaku kesulitan mengingat nama-nama tokoh, dokter Ronald merasa tidak begitu kesulitan sebab ia membuat mind-mapping atas cerita berdasarkan tokoh-tokoh tersebut. Berkat cara tersebut, dokter Ronald berhasil menemukan benang merah untuk mengaitkan tokoh dan alur cerita yang berbentuk fragmen itu. Baginya, keseluruhan cerita dan tokoh pada novel ini terhubung oleh halaman Facebook alias pertemanan di jagat maya. Hal tersebut menggambarkan kehebatan Minanto sebagai penulis ketika merangkai cerita Aib dan Nasib. Pendiri Yayasan Klub Buku Petra ini merasa senang membaca novel ini.

“Ini tipe novel saya. Tanpa rumusan, ya, mulai saja yang penting konsisten. Artinya, walaupun berbentuk fragmen, penulis mampu memikat pembaca untuk tetap mengikuti alur cerita,” tutur Dokter Ronald yang selanjutnya mengemukakan empat alasan novel ini menawan.

Pertama, Aib dan Nasib adalah cerita tentang manusia. Hal ini tentu bisa terlihat dari banyaknya pilihan tokoh cerita. Para pembaca akan dibuat merasa asyik sekaligus sibuk mengikuti kisah masing-masing tokoh. Diskusi buku ini pun akan menarik ketika kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang para tokoh; siapa tokoh protagonis atau antagonis, dan siapa sebenarnya tokoh sentral dalam novel ini? Jika terus ditelusuri pada akhirnya akan dipahami itulah alasan novel ini berbentuk fragmen dan diberi judul Aib dan Nasib. Novel ini juga mengingatkan Dokter Ronald pada sebuah esai yang membahas alasan mengapa sebuah novel menarik minat untuk terus dibaca, salah satunya adalah karena banyak novel menceritakan tentang kehidupan manusia dan kehidupan manusia begitu menarik untuk diikuti.

Kedua, keberhasilan penulis membuat tokoh-tokoh cerita yang hidup. Orang tidak akan begitu mementingkan Minanto sebagai penulis novel, tetapi lebih fokus pada tokoh-tokoh tersebut. Artinya, pembaca akan lebih peduli misalnya pada Boled, Boleng Kartono, Mang Sota, dan lain-lain.

Ketiga, konflik masing-masing tokoh berbeda. Ada yang dapat dipecahkan, ada yang tidak. Pembaca diminta menafsirkan sendiri pemecahan konfliknya.

Keempat, cerita ini tidak seperti cerita klasik kebanyakan yang harus menyertakan prolog, klimkas, dan lain-lain. Minanto tidak mengikuti pola-pola itu. Klimaksnya banyak dan menyebar karena konflik masing-masing tokoh berbeda.

Jika diminta untuk menentukan tokoh yang paling menarik, Dokter Ronald memilih Mang Sota. Ia begitu tersentuh dan prihatin pada kehidupan tokoh yang satu ini. Hal yang direfleksikan dokter Ronald lewat tokoh Mang Sota adalah terkadang penting menjadi bodoh dalam hidup ini. Dengan demikian, segala sesuatu tidak perlu dipikirkan secara berlebihan yang bisa saja akhirnya menimbulkan kekacauan. Bayangkan Mang Sota yang kerap digosipkan tetangga, sebab anaknya mengalami retardasi mental lalu hamil. Meski demikian Mang Sota digambarkan sebagai tokoh yang menerima kenyataan itu sebagai bagian dari hidup yang harus ia jalani. Mengakhiri komentar hasil pembacaannya, Dokter Ronald menyampaikan bahwa ia sepakat dengan dua pembaca sebelumnya yang memaparkan banyaknya kesalahan pengetikan dalam Aib dan Nasib. Rupanya proofreading novel tersebut masih kurang baik.

Bagian selanjutnya tentang apakah Aib dan Nasib adalah karya sastra postmodern?

[nextpage title=”Aib dan Nasib, Situasi Batas dan Cara Kerja Emosi”]

Tibalah giliran saya untuk menyampaikan hasil pembacaan. Saya sepakat dengan hal-hal yang telah diungkapkan para pembaca sebelumnya, tetapi sedikit berbeda pandangan dengan Hermin soal pemilihan bentuk fragmen.

Penyajian cerita dalam bentuk fragmen justru memikat dan tidak menimbulkan kebingungan. Saya menemukan bahwa Aib dan Nasib memiliki pola yang sama dalam setiap sub bab ceritanya. Sebagai contoh, setelah bercerita tentang Boled Boleng, akan ada cerita tentang Mang Sota, dan seterusnya bergilir ke tokoh-tokoh yang lain.

Sebagaimana tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata aib dan kata nasib memiliki definisi yang berbeda. Meski demikian, sukar menemukan perbedaan makna kedua kata tersebut dalam novel ini. Aib seolah-olah adalah nasib itu sendiri. Sebaliknya, nasib mau tak mau adalah aib bagi mereka. Saya melihat Aib dan Nasib sebagai novel yang lebih banyak bercerita tentang situasi batas manusia yakni penderitaan para tokoh. Mereka menderita hingga tiba pada titik pasrah dengan keadaan. Hal ini dapat digambarkan secara gamblang dalam novel, misalnya pada beberapa kalimat seperti, “diterima saja, ini sudah kehendak Gusti Pangeran” atau “ya terima saja, jadi isteri memang begitu, nanti juga lama-lama Kartono pasti cinta.”

Para tokoh ini tidak memiliki keberanian untuk keluar dari situasi batasnya. Mereka tidak punya daya-upaya untuk berubah. Setiap tokoh dalam fragmen hanya menyodorkan kisah pilu penderitaan. Hemat saya, Minanto gagal membungkus rangkaian penderitaan tersebut menjadi sesuatu yang dapat ditertawakan. Berbeda dengan beberapa kisah yang pernah saya baca, misalnya dalam Cerpen Pilihan Kompas 2019; walaupun kisahnya menyayat para tokoh, pada akhirnya, mereka sampai pada puncak rasa syukur terhadap kehidupan melalui narasi dan dialog-dialog yang layak ditertawakan. Seturut pemikiran saya, kisah yang baik akan menggambarkan tokoh-tokoh yang telah “selesai” dengan penderitannya tersebut. Alhasil, bukan lagi keluhan yang keluar, melainkan lelucon-lelucon getir.

Hal lain yang menarik perhatian saya yakni “cara berpikir” para tokoh jika dihubungkan dengan teori “law of attraction” atau hukum tarik-menarik. Teori ini memang masih dianggap sebagai pseudoscience artinya sesuatu yang diyakini benar, akan tetapi belum dapat dibuktikan dengan metode ilmiah. Teori ini mempercayai segala hal yang kita pikirkan, baik itu positif atau negatif, adalah hal-hal yang juga akan terjadi pada kita. Itulah yang saya amati dalam novel ini. Situasi batas yang terjadi membuat para tokoh cenderung memikirkan hal-hal yang lebih buruk. Kekuatan berpikir negatif itulah yang malah menarik mereka kembali masuk dalam situasi yang jauh lebih pelik.

Jika ditanya soal siapa tokoh yang paling berkesan, saya akan memilih Mang Sota. Hemat saya, dialah tokoh yang paling menderita dan ingin sekali saya bantu. Saya cukup menyesal bahwa di akhir cerita, ia memilih pergi tanpa menyelesaikan apa pun. Ia pergi membawa segala luka yang dialaminya.

Cara Kerja Emosi

Berikutnya, Lolyk mendapat giliran untuk mengutarakan hasil pembacaanya. Ia mulai dengan membagikan kesan umumnya setiap kali membaca karya sastra, baik itu novel atau pun puisi.

Hal pertama yang muncul adalah pengalaman emosional, berkaitan dengan apa yang ia rasakan, sebelum melangkah ke pengalaman bernalar. Apabila “menyentuh” secara emosional, maka karya satra tersebut akan terus dibacanya. Beberapa bulan lalu, Lolyk coba membaca Aib dan Nasib, tetapi setelah menyelesaikan dua halaman awal, mahasiswa pascasarjana STFK Ledalero ini merasa novel ini kurang menarik. Artinya, bagian pembuka karya sastra tersebut tidak mampu menyentuh pengalaman emosionalnya sehingga ia memutuskan untuk berhenti. Namun, ketika novel ini dipilih untuk dibincangkan Klub Buku Petra, Lolyk pun berusaha menyelesaikannya.

Setelah tuntas dibaca, ada beberapa hal yang menjadi komentarnya, antara lain soal fragmen-fragmennya yang padat dan pas. Mereka otonom, mandiri, dan tidak terbebani oleh tuntutan sosial, pesan moral, atau kebermanfaatan juga hal-hal yang bersifat politis. Selain itu, fragmen-fragmen dalam novel Aib dan Nasib ini semacam saling kejar. Hal tersebutlah yang membuat nasib menjadi sebelas dua belas dengan aib. Entah disadari atau tidak , ketika berbicara aib berarti kita sedang membincangkan tentang nasib. Dalam hal ini, nasib semacam mengalami penurunan makna.

Malam itu, Lolyk membingkai pembacaannya dengan kerangka perbandingan teori sastra modern dan postmodern. Muatan karya sastra modern sarat akan tuntutan nilai, aturan sosial, nasihat moral seperti apa yang harus dilakukan dan dihindari. Sebaliknya, sastra postmodern lebih bersifat otonom artinya tidak terikat pada konveksi moral atau tuntutan sosial. Demikianlah, Aib dan Nasib bagi Lolik, adalah salah satu contoh karya postmodern; “Minanto bercerita dengan apa adanya, tanpa dikejar unsur manfaat. Itulah yang membuat buku ini menarik.”

Pada akhirnya, Lolyk melihat penulis berusaha menawarkan sesuatu yang baru melalui fragmen-fragmen yang dibuat berdasarkan masing-masing tokoh. Tentang kelemahan-kelemahan yang telah disampaikan para pembaca lain, Lolyk merasa bagian-bagian itu dapat dimaklumi sebagai bagian dari kesalahan teknis.

Maria menjadi peserta keenam yang menyampaikan hasil pembacaannya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang telah disampaikan oleh peserta bincang buku lainnya, ia mengutarakan rasa empatinya terhadap tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini, misalnya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Kartono terhadap Gulabia, atau cara menggambarkan kesengsaraan Eni sebagai perempuan. Sebagaimana Yuan, moderator bincang buku kali ini mempertanyakan tentang cara pandang penulis terhadap perempuan. Ia juga kerap menjumpai pandangan serupa di novel lain.

Menurut Maria, pada beberapa kebudayaan, perempuan menjadi gambaran kepasrahan dan sosok yang menanggung kesengsaraan. Mengambil perbandingan kisah Sodom dan Gomora, buku ini baginya terkesan sadis karena hanya berisi kisah-kisah jahat dan memilukan.

Marcelus Ungkang menjadi peserta terakhir yang diberi kesempatan bicara malam itu. Celus sendiri belum sempat menyelesaiakan buku tersebut. “Saya (akan) agak cepat berhenti membaca jika saya cepat tahu teknik yang dipakai penulis.”

Selanjutnya, Celus memberi tanggapan soal emosi sebab secara kebetulan beberapa waktu belakangan, ia sedang mendalami kajian emosi baik dalam film maupun karya sastra. Celus menyinggung tentang Cliffhanger atau model ending cerita yang bersifat menggantung. Audiens disilakan menafsir sendiri kelanjutan cerita. Di sanalah akan terbangun tensi penonton.

“Jika ditelusuri seturut kajian psikologi, tensi selalu dibangun ke arah depan. Tensi diciptakan oleh antisipasi, prediksi, dan ekspetasi. Ketiga hal inilah yang menarik kita untuk terus menonton atau membaca, sebab model itu memang dirancang untuk maju ke depan. Dalam konteks ini, manusia memang butuh ketidakpastian. Dari segi kajian emosi, bentuk novel dengan fragmen yang singkat seperti ini, cenderung akan terus dibaca,” ungkapnya.

Celus Ungkang menghubungkan emosi dengan proses kreatif penciptaan karya sastra dan film. Saat ini, data perilaku penonton telah dikembangkan menjadi salah satu unsur penting proses pembuatan sebuah karya. Misalnya, pemanfaatan kajian tentang big data yang memanfaatkan data perilaku penonton ketika memilih jenis film, kapan film tersebut diberhentikan, dan sebagainya.

Celus menutup komentarnya dengan menanggapi kajian tentang fiksi postmodern. Menurut Celus, fiksi postmodern bisa jadi adalah sebuah bentuk reaksi terhadap karya-karya modern. Dalam fiksi modern pembaca dihadapkan pada pilihan agar suatu karya dibaca untuk ditafsirkan, sementara fiksi baru menolak untuk ditafsirkan. Pembaca dihindarkan dari kemampuannya menghasilkan sesuatu yang total, sehingga dari segi pilihan bentuk, memilih menulis fragmen menjadi sebuah kecenderungan.

Ditambahkannya, di beberapa tempat (di luar Indonesia), orang-orang menggunakan jenis sastra postmodern untuk melawan bentuk mainstream karya sastra modern. Sementara untuk konteks Indonesia, kemunculan jenis sastra postmodern patut dipertanyakan kiblatnya. Apakah memang betul, ia muncul sebagaimana spirit postmodern, menentang pengarusutamaan sastra modern di Indonesia? Ataukah kemunculan tersebut hanya merupakan fenomena ikut tren atau ikut arus saja?

Menutup diskusi malam itu, Maria sebagai moderator melemparkan pertanyaan tentang siapa tokoh pilihan masing-masing. Tak disangka, Yuan memilih Susanto. Menyambung pertanyaan Dokter Ronald tentang tokoh antagonis, protagonis atau tokoh sentral dalam novel ini, bagi Yuan, Susanto adalah biang kerok. Dialah tokoh antagonisnya. Lebih jauh lagi Yuan menjelaskan bahwa si biang kerok ini merupakan satu-satunya tokoh yang punya pengaruh signifikan, tetapi tidak dijelaskan secara rinci kisah dan latar belakangnya.

Sementara Lolyk menjatuhkan pilihan pada Boled Boleng. Walaupun bodoh dan dicap tidak baik oleh masyarakat, dia menunjukkan jati dirinya tanpa kepura-puraan. Maria tetap memilih tokoh perempuan yakni Eni, yang hidup dengan segala dilema dan kesengsaraannya sebagai perempuan. Saya dan Dokter Ronald tetap pada pilihan awal yakni memilih Mang Sota. Sayang sekali, jaringan yang buruk membuat Hermin tidak sempat menyebutkan tokoh pilihan. Selain Hermin, Celus juga tidak mengungkapkan tokoh pilihannya karena ia belum selesai melahap buku tersebut.

Aib dan Nasib karya Minanto memperoleh bintang 4 dalam diskusi malam itu. Selanjutnya, buku yang akan dibahas di Bincang Buku Petra ke-27 adalah Sang Keris karya Panji Sukma, pemenang Kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019.(*)


Baca juga:
Cerpen Yuan Jonta – Mimpi Ular
Dawuk: Kalajengking dan Ular dan Kita

Kirim tulisan via surel ke alamat: [email protected].

Komentar Anda?