Menu
Menu

Dalam “Doktor Plimin” persoalan budaya dan ekonomi kelas menengah ke bawah sangat terasa.


Oleh: Latif Nur Janah |

Lahir dan besar di Gemolong, Sragen. Menulis fiksi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.


Identitas Buku

Judul: Doktor Plimin – Sebuah Kumpulan Cerpen
Pengarang: Bakdi Soemanto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Halaman: 109 Halaman

***

Pada 2012 lalu, saya membeli sebuah buku kumpulan cerpen karangan Bakdi Soemanto di salah satu toko buku di Solo. Pada gelaran ‘banting harga’ di halaman toko waktu itu, mata saya dicolok oleh sampul buku yang berwarna terang berjudul Doktor Plimin. Saat itu, murni karena harganya yang fantastis murah belaka yang akhirnya membuat saya berhenti dan memandangi buku itu. Tak ada sesuatu yang secara khusus menarik perhatian saya waktu itu.

Buku itu terbitan 2002, berisi cerpen-cerpen Bakdi yang sebagian besar terbit di harian Kompas kurun waktu 1979 – 1993. Saya, yang kebetulan pada saat itu memulai menekuni kesenangan menulis cerpen merasa sangat cocok menemukan buku itu. Bukan karena ceritanya yang rumit, melainkan karena sebagian besar cerita-cerita dalam buku itu mengangkat konflik-konflik yang sederhana tetapi sangat ‘nylekit’ atau cathcy.

Konflik-konflik yang disuguhkan Bakdi, terasa benar melingkari keseharian saya. Dan dari sana, saya semakin percaya bahwa cerpen-cerpen beraliran realis tak melulu membosankan. Persoalan tentang budaya dan ekonomi kelas menengah ke bawah terasa benar dalam buku ini.

Yang membuat saya kagum dan menyukai buku ini adalah karena Bakdi begitu lihai menyampaikan konflik-konflik itu bukan dengan kalimat-kalimat yang menyayat, melainkan dengan dialog-dialog segar dan tidak terkesan ‘ngenes’.

Tentang Doktor Plimin

Plimin adalah pemuda keturunan Jawa yang mendapat gelar seorang doktor. Ia pulang ke kampung halamannya untuk menghadiri pernikahan adiknya. Karena satu dan lain hal, ia menginap di salah satu hotel. Di sana, ia disentil oleh sebuah pertemuan dengan kolektor keris asal Belanda.

Yang membuat Plimin geleng kepala, kolektor itu justru mencari benda-benda yang dianggap Plimin sama sekali tak modern. Padahal, ia yang seorang ‘Jawa’ asli, sama sekali tak tertarik dengan benda-benda semacam itu.

“Wah, wah lagi-lagi tidak rasional. Masak keselamatan seseorang tergantung keris. Dan lagi untuk apa barang seperti itu, sudah setengah rusak mesti dipelihara. Ini kan jadi racun otak saja!” (hal. 5).

Dialog di atas adalah gambaran karakter Plimin yang dengan sikap rasionalnya, menganggap remeh budaya dan tradisinya sendiri.

Begitulah cerita yang disuguhkan Bakdi. Ketika membaca ini, dengan lokalitas yang kental, kok saya merasa tersindir? Tetapi memang benar demikian. Saya yang murni ‘Jawa’  ini merasa diingatkan. Betapa seharusnya kita sebagai generasi muda berkeharusan menjaga budaya dan tradisi kita sendiri.

Cerpen Pensiun

Selain Doktor Plimin, Bakdi juga mengisahkan kehidupan mantan pejuang Indonesia era 1979 dalam cerpen berjudul Pensiun. Tahun di mana saya belum dilahirkan, bahkan orang tua saya belum menikah. Melalui cerpen ini, saya merasa diajak bertamasya pada kehidupan para veteran; tentang hidup, harapan, dan nasib mereka setelah pensiun. Isu kesenjangan sosial sangat pekat di cerpen ini.

Dikisahkan, Saleh, tokoh sentral dalam cerpen ini, mempunyai latar belakang seorang mantan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan pernah mendapatkan gelar penghargaan sebagai Pahlawan Bintang Gerilya III. Tetapi, karena akses mendapatkan dana pensiun begitu sulit, ia tak mampu memenuhi keinginan anaknya mendirikan bengkel. Sampai suatu waktu ia memberanikan diri untuk meminjam uang kepada Pak Abduh. Karena terlampau bungah dengan kemurahan hati Pak Abduh, Saleh sampai rela menyerahkan gelarnya sebagai pahwalan. Ia beranggapan, yang sejatinya seorang pahlawan adalah Pak Abduh, yang rela meminjaminya uang.

Lagi-lagi saya merasa dicubit dengan kelihaian Bakdi menyampaikan kritik sosial yang terbungkus rapi dengan kepandainnya berhumor. Membaca cerpen ini, membuat saya berpikir bahwa penulis-penulis pada masa itu, memang mendobrak berbagai isu dengan caranya sendiri. Lantas, bagi saya yang senang dengan menulis cerpen ini pun merasa mendapat energi baru dari setiap cerita yang dipaparkan.

Ada saat saya merasa pesimis dengan tulisan-tulisan saya yang banyak dinilai terlalu relalistis. Untunglah, setelah memahami cerita- cerita dalam buku ini, saya kembali tersegarkan.

Disentil Kompor Gas

Kompor Gas adalah cerpen Bakdi yang mengusung tema perkembangan teknologi. Setidaknya, melalui cerpen ini juga, saya banyak belajar, bahwa tema memang seharusnya fleksibel, mengiringi waktu dan eranya sendiri-sendiri.

Pikatan cerpen ini dimulai ketika tokoh sentral, Mas Marta Lenga, kehilangan pekerjaannya sebagai penjual minyak tanah setelah kemunculan kompor gas. Ia terpaksa beralih profesi menjadi ‘orang pintar’ untuk bisa menghidupi keluarganya. Kisah ini justru berakhir dengan humor segar di mana Mas Marta Lenga berubah menjadi besar kepala dengan pekerjaan barunya, padahal pelanggan-pelanggan minyak tanahnya semasa dulu pernah prihatin dengan nasibnya.

Kisah masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah memang merebak di buku ini. Pernah terlintas di pikiran saya bagaimana akhirnya buku ini bisa berada di jejeran lapak ‘diskon’.

Cerpen-cerpen lainnya seperti Lapangan Bermain untuk Khrisna dan Tumpeng, juga sangat menarik. Bakdi tidak memamerkan kata-kata puitis yang penuh derita nan ‘ngenes’ meskipun secara garis besar, cerita yang ia singgung selalu berhubungan dengan kesenjangan sosial, pergeseran budaya, dan modernisasi.

Menggugah Selera

Saya yang notabene senang dengan cerpen-cerpen realis, merasa mendapat asupan tepat setelah membaca buku ini. Ibaratnya, buku ini seperti menghidangkan semangkok bakso di saat saya flu. Panas, pedas, dan menggugah selera. Meski begitu, saya tak menampik jika cerpen-cerpen beraliran lain tak kalah memikat.

Saya jadi teringat dengan seorang kawan dengan ucapannya, “Cerpen-cerpen Latif adalah cerpen yang mengalir, menarik, dinikmati, lalu dilupakan.” Begitulah, sementara, pada saat itu, semangat saya sedang membara. Betapa dapat dibayangkan, ucapan itu terasa seperti air menghapus perapian.

Bakdi, melalui buku ini, memulihkan rasa percaya diri saya dengan segala hal yang tersurat maupun tersirat. Membuat saya tidak stagnan dengan tema yang itu-itu saja saat menuliskan cerita. Kekhasan yang tersirat, memberikan banyak poin bahwa cerita-ceritanya tidak ‘kosong’ tetapi mengandung nilai-nilai. Nilai yang sudah seharusnya terlindungi dan terpelihara meski digilas dengan bentuk kemajuan macam apa pun. (*)

Komentar Anda?