Menu
Menu

Tokoh-tokoh dalam “Tango dan Sadimin” membawa kita pada permenungan tentang pilihan-pilihan yang kita ambil dalam hidup–dan sebisa mungkin memahami alasan di baliknya.


Oleh: Maria Pankratia |

Notulis.


“…Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu…” (Yohanes, 8:7)

Bincang Buku Petra ke-XVI berlangsung meriah pada 28 Mei 2020 yang lalu. Bincang buku yang dilaksanakan melalui aplikasi Zoom ini dihadiri oleh enam peserta: Hermin Patrisia—yang kali ini menjadi pemantik diskusi, dr. Ronald Susilo, Yuan Jonta, Rio Hamu, Fr. Lolik Apung, dan saya sendiri. Novel yang dibahas adalah Tango dan Sadimin yang merupakan novel kedua Ramayda Akmal. Novel ini menempati posisi kedua UNNES Writing Contest di tahun 2017.

Hermin membuka bincang buku kali ini dengan menyatakan ketertarikannya akan cerita yang dikisahkan dengan lancar, sedikit vulgar, serta menimbulkan banyak permenungan. Bagi Hermin, Ramayda Akmal begitu jelas menggambarkan tentang perbedaan kelas sosial yang nyata dalam kehidupan sehari-hari melalui tokoh-tokoh yang sangat banyak di dalam novel ini. Pada mulanya, Hermin mengakui sulit memahami jalan hidup Nini Randa; ada semacam perputaran alur sehingga pembaca dibuat bingung. Selain itu, Hermin mempertanyakan keputusan penulis menggunakan judul dua tokoh yakni, Tango dan Sadimin, padahal ada tokoh lain yang menurutnya lebih menonjol yaitu Nini Randa.

Hermin juga menyoroti hal lain. Dari segi ikatan darah dan keluarga, novel ini juga berkisah tentang pengingkaran. Yang pertama, Nini Randa mengingkari Caina sebagai anaknya di hadapan Dana saat Caina hilang. Pengingkaran yang kedua adalah, ketika Dana bertemu kedua orang tuanya, Ozog dan Sipon di terminal. Menurutnya, sulit sekali menerima kisah yang seperti ini, akan tetapi benar atau tidaknya pengingkaran tersebut dilakukan, itu semua didasarkan pada pemahaman para tokoh. Sebagai pembaca, Hermin berusaha menempatkan dirinya pada posisi setiap tokoh.

“Novel ini menjadi semakin menarik karena pembaca akan sulit menebak ceritanya sejak awal. Kita dibikin penasaran terus pada peristiwa-peristiwa yang dialami setiap tokoh, sehingga jika pun tak ada akhir dari cerita yang menjelaskan dengan tuntas, bagi saya itu tidak menjadi masalah karena saya menduga penulis akan melanjutkannya pada buku kedua,” tutur Hermin.

Di akhir penjelasannya, Hermin menyampaikan bahwa, dari novel Tango dan Sadimin ini, ada dua hal yang “menyamakan” derajat semua orang yaitu kopi dan hawa nafsu.

Selanjutnya Fr. Lolik menyampaikan hasil pembacaannya. Ia memulai penjelasannya dari ungkapan “hawa nafsu’ yang disampaikan oleh Hermin. Menurut Lolik, entah mengapa, belakangan ini, hampir semua novel yang ia baca menempatkan hawa nafsu di antara kisah-kisah yang disuguhkan. “Semacam pemantik agar kita terus ingin membacanya hingga selesai. Persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan seksualitas, membuat rasa ingin tahu pembaca akan cerita semakin tinggi. Akhirnya kita terdorong untuk menyelesaikannya,” demikian Lolik mengungkapkan temuannya.

Lolik kemudian memaparkan pengalamannya ketika membaca buku lain yang tidak menyertakan bumbu-bumbu hawa nafsu tersebut. “Ketika membaca buku-buku lain yang tidak ada persoalan seperti itu, kadang membuat kita cepat bosan. Bersamaan dengan Tango dan Sadimin, saya sedang membaca 1984-nya George Orwell yang saya pinjam dari Perpustakaan Klub Buku Petra. Saya kemudian tidak membacanya hingga selesai karena merasa sangat bosan dengan ceritanya. Atau bisa jadi karena beberapa orang mengatakan bahwa terjemahannya kurang bagus. Oleh karena itu, hawa nafsu mungkin menjadi bumbu dalam menulis karya sastra khususnya untuk novel yang panjang dan tebal,” papar Lolik. Di akhir penjelasannya, Lolik juga mempertanyakan hal yang sama, kenapa harus Tango dan Sadimin yang dipilih sebagai judul novel ini padahal ada banyak tokoh lain yang juga cukup beralasan untuk diangkat sebagai judul.

Kesempatan menyampaikan hasil pembacaan berikutnya diberikan kepada Rio Hamu. Sejak awal saat melihat judulnya, ia merasa ada makna yang tersirat. Setelah membaca semuanya, seperti apa yang dikatakan Lolik, bumbu seksualitas membuat Rio terus ingin tahu ke mana arah ceritanya. Namun ia justru menemukan hal lain yang tidak kalah menarik yaitu, bagaimana penulis mengisahkan kehidupan pelacur dan membiarkan pembaca memahami sudut pandang tokoh seperti Nini Randa dan merasa biasa saja dengan itu. Teknik yang luar biasa. Tidak pernah ada di dalam pikiran Rio bahwa ada kehidupan PSK seperti yang dialami Nini Randa: Seorang perempuan membayar seorang laki-laki untuk ditiduri. Seorang Nini Randa yang pada mulanya tidak memahami bahwa sesungguhnya ia dilecehkan dan diambil seluruh harta kekayaannya yang tak seberapa (kumpulan uang receh) oleh Syatun Syadat. Pengalaman ini menjadikan Nini Randa memiliki cara pandang terhadap seks tidak sebagaimana umumnya. Perubahan terjadi setelah ia bertemu sang mandor yang mengajarinya pelahan-lahan tentang bagaimana memanfaatkan situasi dan tubuhnya dengan benar. Kisah ini membuat pembaca larut dalam sekali sehingga terkesan begitu apa adanya.

“Secara tidak langsung, kita dibuat paham dan menerima kondisi Nini Randa yang sangat jauh dari tatanan moral yang selama ini berlaku di tengah lingkungan masyarakat kita. Kesimpulan yang bisa saya katakan, Nini Randa memang benar-benar tidak tahu apa yang dia lakukan. Saya kemudian teringat pada Roro Wilis dari novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman. Barangkali Nini Randa hanya tidak memiliki kesempatan untuk bertransformasi menjadi Pak Wo,” papar Rio.

Tentang judul Rio menduga, Tango dan Sadimin dipilih sebab mereka berdua adalah titik pusat dari seluruh kisah. Sadimin adalah anak Nini Randa dan Haji Misbah, sedangkan Tango adalah anak pungut Nini Randa yang sebelumnya seorang anggota band punk. Dua tokoh ini semacam perpaduan dari semua karakter yang terdapat di dalam novel. Kisah yang diangkat oleh Ramayda Akmal sangat majemuk, dikemas dengan menarik sehingga ringan dan cepat dibaca. “Hampir semua aspek kehidupan masyarakat pinggiran di Indonesia dibahas di dalamnya: pengemis, pemulung, pelacuran, mitos, hingga kaum religius dan politik,” tutup Rio.

Simak bagian selanjutnya….

[nextpage title=”Tokoh-Tokoh yang Mudah Diidentifikasi”]

Senada dengan yang diungkapkan oleh Rio, peserta selanjutnya, Yuan Jonta menyampaikan kekagumannya terhadap penulis Tango dan Sadimin. “Favorit!” ungkapnya.

Saat membaca novel ini, Yuan teringat pada novel Azhari Aiyub, Kura-Kura Berjanggut (KKB): Ada banyak karakter yang terlibat di dalam kisah.

Namun demikian, bertolak belakang dengan KKB, kisah setiap tokoh selesai di setiap bab dalam novel ini. Pembaca juga tidak sulit mengidentifikasi tokoh ketika muncul pada bab-bab selanjutnya.

Yuan mengakui, di bagian awal memang ia sempat merasakan kebingungan yang sama dengan Hermin, tetapi kemudian ia memahami bahwa, ada semacam kekuatan simbol yang merupakan tema besar dari novel ini. Yuan sepakat dengan apa yang telah disampaikan oleh Rio tentang Tango dan Sadimin yang menjadi titik pusat. Selain itu, jika kita perhatikan dengan seksama, ada dua Nini Randa. Yang pertama adalah seorang wanita dengan gangguan jiwa yang dipasung dan mati, bernama Nini Randa. Jenazahnya membusuk dikerubuti belatung. Sebelum ia mati, ada orok yang mengapung di tengah banjir, melalui liurnya ia mewariskan kehidupan baru terhadap bayi tersebut, yang kemudian oleh masyarakat dinamakan Nini Randa juga. “Ini bagian yang cukup surealis,” papar Yuan.

Selanjutnya, tentang Caina, Yuan meyakini bahwa ia adalah perempuan yang bunuh diri di rel kereta api. Bagi Yuan, pertanda ini jelas terlihat ketika sapi kesayangan Caina dibunuh oleh ibunya kemudian dibuang ke lumbung. Suatu hari, Caina dan Dana kembali ke sana dan menemukan bangkai sapi tersebut. Pasangan suami-isteri itu harus membersihkan bangkai hewan kesayangannya sendiri agar bisa menempati lumbung. Di kemudian hari, ketika Dana datang ke hadapan Nini Randa dan meminta bantuan untuk menemukan Caina yang hilang, jawaban Nini Randa singkat saja, dia sudah bukan milik kita lagi. Dia sudah tidak ada di sini lagi. Dia tidak akan kembali lagi. “Bagian ini seharusnya menjadi jelas bahwa, Caina memang dikehendaki mati oleh penulis sejak awal,” tambahnya.

Hal lain yang juga disoroti Yuan adalah Haji Misbah dan ketiga istrinya. Bagi Yuan, ada gap tentang bagaimana hubungan suami-isteri dilihat dari zaman ke zaman.

Istri pertama sangat menghargai martabat suami dengan statusnya sebagai haji. Ia mempertaruhkan hidupnya. Susah senang benar-benar untuk melayani suami, termasuk melakukan ritual merendam diri di kali pada pukul tiga dini hari demi meloloskan keinginan Haji Misbah yang ingin menjadi anggota legislatif. Istri kedua memang diambil sebagai amanah, salah satu bentuk ibadah. “Nah, istri yang ketiga ini yang cukup menimbulkan rasa penasaran,” tutur Yuan.

Diceritakan, istri ketiga adalah mantan PSK Nini Randa, sangat urak-urakan. Tentu pembaca ingin sekali tahu, apa alasan Haji Misbah hingga memutuskan mengambil wanita tersebut menjadi istrinya yang ketiga. Dari cara berkomunikasi saja, tidak ada ikatan emosional yang kuat. Selain itu, latar belakang keduanya sungguh berbeda. Istri ketiga bahkan mengidolakan Nini Randa, lalu kenapa dia mau menikahi Haji Misbah? “Dari sudut pandang Haji Misbah sebenarnya tujuannya jelas, agar bisa mengubah kehidupan sang istri ketiga. Tetapi bagaimana dengan motif sang wanita itu sendiri sehingga mau diperistri oleh Haji Misbah tidak dijelaskan oleh penulis,” komentarnya.

Tokoh lain yang juga menarik bagi Yuan adalah, Ozog dan Sipon. Kedua pasangan suami istri pengemis dan anak-anaknya ini menunjukkan totalitas dalam memilih jalan hidup. Tidak peduli apa profesimu, lakukan itu dan jadilah terbaik di bidang tersebut. Keluarkan seluruh potensimu di situ. Jadi sekalipun menjadi pengemis, mereka adalah pengemis yang profesional. Demikian Yuan mengakhiri hasil pembacaannya.

Sebagai mantan seminaris, dr. Ronald Susilo yang mendapatkan giliran selanjutnya membuka hasil pembacaannya dengan menyampaikan ayat dari Yohanes 8:7: “…Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu…”

Tokoh-tokoh di dalam Tango dan Sadimin menurut Dokter Ronald, membawa kita kepada permenungan yang dalam tentang pilihan-pilihan yang kita ambil dalam hidup dan sebisa mungkin memahami alasan di baliknya; dari Nini Randa yang polos hingga akhirnya menjadi seseorang yang memiliki visi dan tujuan yang berdampak besar bagi orang-orang yang putus asa di sekitarnya.

“Bahkan anaknya telah ia persiapkan menjadi PSK profesional dengan mengajarkan jenis-jenis laki-laki yang layak untuk dia tiduri. Kemudian ada Tango dan Sadimin yang bekerja keras mengolah lahan sawah yang diberikan Haji Misbah dengan mempekerjakan buruh-buruh harian yang setiap hari belum tentu bisa makan. Dari kisah Haji Misbah juga, kita akhirnya memahami bahwa menjadi orang beragama tidak lantas membuatmu suci bersih. Ada banyak perkara yang akan terus menguji keimananmu sehingga di titik tersebut kau harus mengakui bahwa, manusia tidak ada yang sungguh-sungguh sempurna,” terangnya.

Sementara itu, mengomentari tentang judul, Dokter Ronald berpendapat, judul tergantung pada penulis. “Terserah apa isinya, keputusan mutlak terkait judul adalah hak penulis untuk menentukan, lanjutnya. Dokter Ronald kemudian merekomendasikan buku lain Ramayda Akmal yakni Jatisaba yang juga kurang lebih mirip kisahnya, hanya saja tidak bertaburan tokoh seperti Tango dan Sadimin. Pada tahun 2010, Jatisaba menjadi Juara Sayembara Novel DKJ.

Sebagai yang terakhir mendapatkan kesempatan berbicara, saya merasa ada tokoh lain yang belum sempat disoroti oleh para peserta bincang buku. Dan sangat kebetulan, tokoh tersebut menjadi favorit saya dalam Tango dan Sadimin: Mono!

Bagi saya, Mono—dan bapaknya, Uwak—adalah otak di balik sepak terjang Sadimin hingga akhirnya menjadi juragan. Jika tak ada Mono, tak ada kisah Tango dan Sadimin. Bagaimana Mono mempengaruhi Sadimin, yang pada mulanya hanya seorang kuli pasir di tepi kali Cimanduy, agar mendatangi Nini Randa dan Haji Misbah untuk menuntut haknya sebagai anak dari hasil hubungan gelap mereka. Tak hanya itu, Mono juga mengusulkan Sadimin untuk memperistri salah satu pelacur Nini Randa: Tango. Dengan cara tersebut, Sadimin akhirnya mendapat status sosialnya sendiri. Ia merangkak pelahan, naik berada di titik puncak dan menjadi seorang juragan. Sementara itu, Mono tidak menuntut apa-apa dari Sadimin. Ia tetap pada posisinya, sebagai saudara, teman dan orang yang selalu siap memberi masukan jika Sadimin membutuhkan.

Bagi saya, Mono adalah gambaran orang-orang yang tidak takut kehilangan apa pun sekaligus tidak mengharapkan apa pun. Di dalam kepala orang-orang seperti Mono, hidup sama dengan berjudi. Jika menang, syukur! Jika kalah, main lagi sampai menang!

Bagian lain yang juga cukup menarik perhatian saya adalah saat Sadimin mengirimkan kepala kambing yang telah terpisah dari tubuhnya kepada Basar. Teror Sadimin kepada Basar agar segera mengirimkan paket minuman keras oplosan sebagai ganti minuman yang telah disita polisi ini, mengingatkan saya pada adegan kepala kuda penuh darah di bawah selimut Jack Woltz saat menolak permintaan Don Corleone untuk mengorbitkan anak baptisnya Johnny Fontane ke dalam film terbarunya di serial The GodFather II.

Hal terakhir yang tidak ingin saya lewatkan adalah, kepengrajinan penulis dalam menuturkan kisah. Dialog-dialog di dalam novel ini dikemas dengan sangat menarik. Kalimat-kalimatnya seolah menyimpan makna yang berlapis-lapis. Saya yakin, siapa pun yang membaca Tango dan Sadimin akan sering berhenti di tengah-tengah aktivitasnya untuk menafsirkan, menemukan interteks (keterkaitannya dengan bacaan atau film atau pun karya-karya yang sudah pernah dinikmati sebelumnya, atau hal-hal lainnya), atau juga mencoba memahami maksud di balik itu semua.

Sebenarnya masih ada banyak hal yang didiskusikan malam itu terkait karakter-karakter yang hidup di dalam novel Tango dan Sadimin. Yuan Jonta bahkan menjanjikan akan menulis ulasan tersendiri tentang tokoh-tokoh di dalam novel ini.

Para peserta menyematkan bintang empat untuk novel kedua Ramayda Akmal ini. Novel selanjutnya yang akan dibincangkan adalah Cara Berbahagia Tanpa Kepala karya Triskaidekaman. Bincang Buku XVII akan berlangsung pada hari Minggu, 28 Juni 2020.(*)


Baca juga:
– ‘Bahasa gaul’ dalam Sastra Perancis
– Cerpen: Lubang Besar di Hutan Tebu

Komentar Anda?