Menu
Menu

Siapa yang menyuruh Ivan Narakleto masturbasi? Apa yang terjadi setelah dia melakukannya? Siapa Ivan Narakleto? Selamat menikmati cerpen terbaru kami.


Oleh: Robertus Aldo Nishauf |

Lahir di Timor Barat, NTT. Sempat kuliah di beberapa universitas di Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, tetapi tidak tamat. Profil lengkap Robertus Aldo Nishauf ada di bagian akhir cerpen ini.


Ivan Narakleto, anak FISIP itu, akan sidang skripsi jam 8 pagi. Ia sudah meminta agar waktunya diundur, setidaknya sesudah makan siang, sebab ia cepat gugup dan suka terlambat bangun. Matahari pagi selalu meruntuhkan semangatnya, dan sesuatu yang penting di pagi hari kerap ia lewatkan.

Namun kepala program studinya adalah seorang Makassar yang keras kepala, dan sekalipun Ivan sudah meminta dengan memohon mendusta-dusta, tetap tak ada kemunduran waktu baginya.

“Kau adalah tulang punggung bangsa,” kata lelaki yang tidak berkumis itu: “Apa jadinya bila hanya sidang skripsi saja kau menunda? Apakah kau ingin menundanya menjadi tahun depan?”

Demi segala roh nenek moyangnya, Ivan Narakleto tidak ingin menundanya menjadi tahun depan. Ia sudah delapan belas semester menderita sebagai mahasiswa; bangun pagi, mengerjakan makalah, dihina dosen dan seterusnya, dan ia sedang berharap agar penderitaan itu cepat berlalu, bukan sebab ia ingin segera bergelar sarjana sosial (itu bukan ia, tetapi ayahnya-lah yang ingin agar ia menjadi sarjana sosial), tetapi sebab ia sudah tak kuat lagi menanggung malu di hadapan adik-adik angkatannya yang telah menjadi alumni. Maka ia berpesan kepada pacar dan sekalian teman kosnya, sudilah kiranya mereka membangunkan ia pada tanggal 3 Oktober, pukul enam pagi.

Pacarnya sangat bersyukur, sebab ia selalu berpikir bahwa berkat dirinyalah laki-laki itu bisa sidang skripsi. Dahulu, sebelum mereka berpacaran, laki-laki itu adalah mahasiswa tidak beraturan yang suka minum sampai mabuk dan menekuni permainan komputer. Namun, sejak berpacaran dengan dirinya, laki-laki itu menjadi mahasiswa beraturan yang rajin ke kampus dan selalu mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tentu saja ia sering datang dan mengurusi laki-laki itu – memasak, mencuci, atau memberinya jatah seks. Ia sangat mencintai laki-laki itu dan memperlakukannya seperti suaminya sendiri.

Kos mereka sedikit berjauhan, tetapi laki-laki itu mempunyai sepeda motor RX King, dan jika ia menginap di kos laki-laki itu, ia bisa diantar pulang subuh-subuh, sebelum induk semangnya bangun. Ia selalu ingin membuktikan kepada laki-laki itu, bahwa ia adalah perempuan berbakti, perempuan yang penurut dan selalu memerhatikan calon suaminya. Meskipun sikapnya ini sering dikritik oleh teman-temannya, dan ia sering disebut sebagai perempuan dungu dan sering pula diminta untuk tidak memperlakukan dirinya seperti babu di hadapan pacarnya (sebab mereka baru berpacaran dan bisa saja putus suatu saat nanti), perempuan ini percaya bahwa cinta mereka abadi. Selain itu, sebagai seorang beragama ia memiliki pandangan, bahwa sudah kodratnya-lah ia – sebagai perempuan – melayani laki-laki yang dicintainya.

Tanggal 2 Oktober, sehari sebelum sidang skripsi yang mencemaskannya itu, Ivan Narakleto meminta perempuan itu untuk datang ke kos-nya. Perempuan itu datang ke kos Ivan jam sebelas siang. Ia masak, merapikan kamar, mencuci, menyetrika, membuatkan susu dan menyiapkan semua keperluan sang laki-laki. Sementara ia melakukan itu semua, sang laki-laki tiduran sambil memetik gitar. Di waktu-waktu senggang, ketika menunggu nasi matang, atau menunggu cucian kering, tidak usahlah saya ceritakan bagaimana Ivan Narakleto berhenti bernyanyi dan menunggangi kekasihnya itu. Mereka masih sangat muda, yang laki-laki berusia dua puluh empat dan yang perempuan delapan belas, dan darah mereka masih bergelora menurut lagu-lagu dangdut. Jika bertengkar mereka bertengkar dengan heboh: perempuan itu akan membanting barang apa pun yang sempat disentuhnya (cermin, gelas, piring), dan laki-laki itu akan menampar wajah si perempuan sampai berdarah-darah. Jika bermain cinta, mereka bermain cinta dengan heboh: segala gaya dicoba mulai dari berdiri sampai merayap, enam-sembilan sampai anal seks.

Jam 7 malam sadarlah si perempuan, bahwa sudah delapan jam ia berada di situ, tetapi laki-laki yang dicintainya itu tidak punya banyak waktu untuk membaca kembali skripsinya. Mereka berdua telah menggunakan 90% waktunya hanya untuk bermain cinta, dan dari total 8 jam itu, mereka hanya membuka pintu dan korden kira-kira selama 10 menit. Selebihnya mereka menutup pintu dan korden rapat-rapat, memutar musik keras-keras, dan bergumul tak henti-henti.
Maka perempuan itu meminta untuk pulang.

“Saya tidak menginap di sini,” katanya. “Kamu butuh waktu untuk sendiri dan belajar. Jika saya di sini, kamu tidak akan sempat belajar.”

Ivan Narakleto sungguh adalah laki-laki yang praktis dan berpikiran maju. Ia juga ringan tangan dan terbuka mendengarkan segala kritikan dan masukan dari pacarnya; meskipun seringkali sesudah mendengarkan kritikan pacarnya, ia menjadi marah dan memukuli perempuan itu sampai berdarah-darah. Malam itu ia berpikir-pikir: semua pekerjaan perempuan sudah beres. Baju sudah rapi bersetrika, makanan sudah tersedia, dan berahinya juga sudah terpuaskan. Apa guna perempuan itu lagi? Jika hanya ingin bilang cinta, bisa-lah nanti melalui telepon.

Maka diantarnya-lah perempuan itu kembali ke pondokannya di Jalan Pramoedya. Induk semang yang melihat mereka telah mafhum dalam hati, bahwa pasangan itu baru saja bercinta seharian di kamar kos, sebab wajah keduanya pucat-kelelahan-kehabisan-cairan dan agak takut-takut ketika mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Namun, induk semang itu tidak marah, sejauh percintaan mereka tidak merepotkannya, atau selama ia tidak diprovokasi oleh warga. Ia selalu berharap, anak-anak muda itu bercinta dengan diam-diam saja, tidak ribut-ribut, dan si perempuan dipulangkan segera, agar ia sebagai pemilik kos terbebas dari tanggung jawab moral melihat-tetapi-tidak-menegur.

Di kos perempuan itu di Jalan Pramoedya, pasangan itu masih bercinta satu ronde lagi, dan Ivan baru kembali ke kosnya jam sembilan malam. Di kamarnya ia makan dengan lahap, lalu merokok dan minum kopi, sambil berkirim pesan telepon mesum dengan selingkuhannya di kota Bandung, juga tak lupa membalas pesan-pesan pacarnya.

Selingkuhannya adalah seorang calon perawat yang nakal tetapi malu-malu, dan itu selalu membuat adrenalinnya terpacu untuk mencintai sekaligus memerkosanya. Sedangkan pacarnya terus mengingatkan ia untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian skripsi jam 8 besok pagi, dan itu membuat ia semakin gugup.

Lagu-lagu Iwan Fals ia putar keras-keras dari pelantang di kamarnya seolah sedang ada demonstrasi mahasiswa, dan memang harus ia bikin keras agar bisa terdengar, sebab Linus yang menyewa kamar tepat di sampinnya memutar lagu Bob Marley keras-keras, dan Sius yang punya kamar di lorong memutar lagu Bryan Adams dengan lebih keras lagi, sementara Fanus sedang memutar lagu dansa Timor, Robert sedang memutar lagu Slank, Tarsi, Engel dan Ady dan begitulah semua anak kos sedang memutar musik kesukaannya, di kamar masing-masing, dengan volume keras-keras. Ivan Narakleto telah lelah mengutuk selera musik anak-anak kos yang payah itu, dan ia berharap dengan memutar musiknya keras-keras, mereka akan sadar bahwa aliran musik mereka payah, dan mau berpindah memeluk aliran musiknya.

Jam sebelas malam selingkuhannya berpamitan untuk tidur, dan Ivan pun berpamitan kepada pacarnya untuk mulai belajar. Pacarnya berpesan agar ia tidak mengunci kamar sehingga gampang dibangunkan, lalu mengirimkan kepadanya gambar seikat bunga dan ciuman yang merah. Karena merasa itu romantis, ia meneruskan gambar itu kepada selingkuhannya. Selingkuhannya bahagia bukan main, lalu mengirimkan untuknya gambar jantung yang besar dan berdenyut-denyut. Ia sangat senang dan meneruskan gambar itu untuk pacarnya. Ia bahagia, pacarnya bahagia, dan selingkuhannya bahagia – mereka benar-benar adalah pasangan segitiga yang bahagia.

Sesudah kebahagiaan kecil itu Ivan menutup pintu kamarnya. Volume musik ia pelankan setengah, dan mulailah ia membuka buku-bukunya. Enam buku dan sembilan kopian diktat ia gelar di depannya. Ia juga membuka komputer jinjingnya, dan dengan khusyuk mulailah ia belajar.

Selama satu jam lebih ia membaca, membaca dan hanya membaca, memasukkan ke dalam kepalanya segala macam teori dan argumen yang memungkinkan ia untuk menjawab pertanyaan dosen. Telah ia coba mengira-ngira daftar pertanyaan dosen, dan telah ia perhitungkan pula segala kemungkinan jawabannya. Jam 1 dinihari ia merasa bahwa semuanya telah ia kuasai, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia menutup komputer jinjingnya, mematikan lampu, dan beranjak untuk tidur.

Namun dalam gelap kamarnya, begitu tubuhnya menyentuh kasur, bayangan ruang sidang yang mengerikan tergambar di kepalanya. Tiga orang dosen dengan wajah sinis dan menghina, duduk di hadapannya dan mengolok-olok semua yang telah ia tulis. Ia menjadi gugup di tempat tidurnya sendiri, dan sesudah bolak-balik sebentar, ia bangun dan duduk. Wajahnya tidak berkeringat, tetapi jantungnya berdegup tidak beraturan. Ia menyalakan lampu, membuka kembali komputernya, dan mulai membaca-baca lagi.

Satu jam lebih ia membaca, dan sesudah merasa cukup, ia menutup komputernya, mematikan lampu dan kembali tidur. Namun begitu tubuhnya menyentuh kasur, bayangan wajah tiga orang dosen itu datang kembali. Mereka berteriak di kupingnya, menunjuk-nunjuk batang hidungnya dan menginjak-injak skripsinya. Ia bangun, menyalakan lampu, membuka komputer dan mulai membaca kembali.

Berkali-kali hal itu terus terjadi, ia tidur dan gugup dan bangun kembali. Di kali ketujuh ia mulai memikirkan apa yang membuat kepalanya terus memberinya gambaran wajah-wajah dosen yang mengerikan itu. Dengan satu dua proses pemikiran yang menurutnya cerdas, sampailah ia kepada kesimpulan, bahwa pikirannya-lah yang terlalu jauh berjalan, terlalu jauh membayangkan hal-hal yang aneh dan mengerikan, yang sebenarnya tidak berdasar dan tidak perlu. Untuk membuat pikiran-pikiran itu menghilang, ia perlu melakukan sesuatu yang melelahkan sekaligus menyamankan dirinya. Ia pernah membaca sebuah artikel di internet dan sering pula telah ia praktekkan, bahwa masturbasi bisa membuat tidur malam menjadi lebih berkualitas.

Ivan Narakleto akhirnya mengunci pintu dan mulai masturbasi, dan tak perlulah saya ceritakan bagaimana ia melakukan itu, apakah dengan sabun atau dengan minyak goreng, apakah sambil berdiri atau sambil berbaring, apakah sambil membayangkan Nikita Mirzani atau Najwa Shihab. Intinya ia mengunci pintu dan merancap, dan tanpa membersihkan lelehan-lelehan spermanya, ia tidur dengan damai. Ia tidur dengan damai, dan bangun pukul sembilan pagi.

Ia tidur dengan dengan damai, dan bangun pukul sembilan pagi.

Teman-temannya tidak bisa membangunkannya, sebab pintu kamarnya terkunci. Mereka telah berteriak-teriak di depan kamarnya pada pukul tujuh pagi, tetapi karena pintu terkunci, mereka berpikir laki-laki yang gugup itu telah bangun pukul enam (saat yang lain belum bangun), mandi dan berangkat ke kampus. Memanglah sepeda motornya masih diparkir di situ, dan mereka sempat berpikir bagaimana ia telah ada di kampus sementara sepeda motornya masih ada di situ, tetapi pikiran itu hanya mampir sekilas saja, sebab mereka lebih memilih untuk memedulikan urusan mereka masing-masing, seperti mencuci pakaian, melanjutkan permainan komputer, minum kopi, mendengar musik, dan sebagainya.

Pacarnya menelepon sejak pukul enam, menelepon sebanyak dua puluh tujuh kali, dan di panggilan kedua puluh delapan kalinya, telepon laki-laki itu mati kehabisan daya. Perempuan itu menelepon teman-teman pacarnya, tetapi mereka menjawab bahwa laki-laki gugup itu telah berangkat dengan taxi. Mengapa dengan taxi? Sebab ia gugup dan takut terlambat. Dengan lega, perempuan itu pergi ke pasar, membelikan sayur dan daging dan segala yang segar-segar, dan memasakkan makanan kesukaan laki-laki itu.
Namun ia, laki-laki itu, tidur dengan damai, dan bangun pukul sembilan pagi.

Begitu membuka mata ia melihat jam di telepon genggamnya dan meloncat dari kasurnya. Ia menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Namun di dalam kamar mandi ibunya mengikutinya, ayahnya mengikutinya, guru-guru TK mengikutinya, guru-guru SD mengikutinya, guru-guru SMP mengikutinya, guru-guru SMA mengikutinya, dosen-dosen mengikutinya, dan mereka semua berteriak di kupingnya kenapa terlambat? Kenapa terlambat? Kenapa terlambat? Anak tidak berguna! Tidak becus! Anak tidak disiplin! Kau tidak akan menjadi apa-apa! Pecundang! Seumur hidup kau hanya akan gagal! Kau bukan siapa-siapa! Kau hanya akan menjadi sampah! Tidak tahu diuntung! Apakah kau begitu bodoh? Siapa yang menyuruhmu masturbasi?!

Segala macam teriakan itu melemahkannya, dan baru dua kali menyiram tubuhnya, ia jatuh terduduk di kamar mandi. Jantungnya berdegup kencang dan ia bisa merasakan dadanya naik dan turun. Ia melihat keramik kamar mandi dan merasa akan mulai menangis. Namun ia sangat malu dan tidak sudi menangis di hadapan begitu banyak orang yang sedang meneriakinya. Ia melipat tangan di atas lututnya, membenamkan kepala di celah kakinya, dan menggeleng-geleng untuk menghalau segala teriakan itu. Teriakan-teriakan itu berkurang tetapi ia bisa mendengar dirinya meneriaki dirinya sendiri: Kenapa terlambat? Kenapa terlambat? Anak tidak berguna! Tidak becus! Anak tidak disiplin! Kau tidak akan menjadi apa-apa! Pecundang! Seumur hidup kau hanya akan gagal! Kau bukan siapa-siapa! Kau hanya akan menjadi sampah! Tidak tahu diuntung! Apakah kau begitu bodoh? Siapa yang menyuruhmu masturbasi?!


Cerpen ini tergabung dalam Antologi “Kode Etik Lelaki Simpanan” – jika ingin melakukan pemesanan, silakan hubungi Toko Buku Fanu dengan Herman Efryanto Tanouf: 082144914646.

Robertus Aldo Nishauf lahir di Timor Barat, NTT. Sempat kuliah di beberapa universitas di Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, tetapi tidak tamat. Tahun 2001 – 2007 mendapatkan beasiswa seni-budaya dari Rusian Academy of Arts dan menetap di Moskwa, Rusia. Tahun 2007-2011 mengajar di Institut Kesenian Jakarta. Tahun 2011 pulang ke Timor dan mendirikan Sanggar Tenun Masyarakat (STM), sebuah sekolah alternatif untuk warga kampung di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Bukunya yang telah terbit antara lain Moskwa I Am In War (puisi, 2001), The Man Who Broke His Bones (novel, 2003), Catch Me, Asshole! (novel, 2007) dan Kamus Lengkap Bahasa Dawan-Rusia (2009). Cerpen ini tergabung dalam antologi berjudul Kode Etik Laki-Laki Simpanan (Buku Fanu, 2019).


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

3 thoughts on “Siapa yang Menyuruhmu Masturbasi?”

  1. no one berkata:

    Wah, sial! Kenapa saya baru baca tulisan ini di ujung tahun 2022?! Keren!

  2. Yani berkata:

    Ada “sesuatu” dalam tulisan ini. Sy suka ilustrasi dari KK Olivia

  3. YeeL berkata:

    Keren sekali tulisannya….

Komentar Anda?