Menu
Menu

Satu sisi Kosovo dimenangkan Turki, sisi lain sang Sultan beserta orang-orangnya dilanda nestapa yang tidak kalah memilukan.


Oleh: Z. Arifin |

Lahir tahun 1997 di pulau kecil Giliraja Sumenep Madura, hanya suka membaca dan menulis. Kini ia berdiam di merak Banten.


Identitas Buku

Judul: Elegi untuk Kosovo
Pengarang: Ismail Kadare
Penerjemah: Ani Suparyati
Penerbit: Jalasutra
Tahun Terbit: 2004
Tebal: 148 halaman

***

Yang saya rasakan ketika membaca buku ini: sepasang telinga saya seolah mendengar sayup-sayup lagu duka dari lembah hitam atau Kosovo. Adalah rombongan-rombongan kesenian atau penyanyi pengiring perang Albania dengan lahuta-nya dan Serbia dengan gusla-nya yang terus menerus menyanyikan lagu serupa.

“Oh, orang Albania sedang bersiap berperang!”

“Hai, angkat senjata kalian! Orang Serbia menyerang kita!”

“Bangkitlah, oh, bangsa Serbia! Orang Albania telah merebut Kosovo dari kita.”

“Oh, bangsa Albania angkat senjata kalian! Serbia jahat akan merebut Kosovo!”

Jujur saja, hal ini yang membuat saya tersenyum geli—seperti ada sesuatu yang mendorong saya melakukannya—sekaligus getir ketika lagu-lagu itu didendangkan oleh mereka bergantian. Ya, kerap kali saya membayangkan, ketika membaca novel ini, tengah duduk di suatu tempat dan mendengarkan mereka bernyanyi seperti itu.

Masalahnya, yang mereka hadapi atau musuh bersama mereka adalah orang-orang Turki. Jadi, perang yang berlangsung di hadapan mereka sesungguhnya bukan antara pasukan Albania melawan tentara Serbia seperti yang terjadi jauh sebelumnya, melainkan keduanya sama-sama akan bertarung dengan pasukan Turki.

“Apa kalian sudah gila atau kalian sedang memperolok-olok kami?”

“Orang-orang Turki sedang berbaris ke arah kita dan kalian malah menyanyikan lagu-lagu lama yang sama—’Orang Serbia sedang menyerang, orang Albania sedang menyerang!'”

Meski tentu saja tak ada yang benar-benar lucu di medan perang, dan memang tak ada yang lucu sama sekali. Lagu-lagu yang mereka dendangkan dan alunan nada yang berhasil keluar dari alat-alat musik mereka, tiada lain berupa kesedihan yang menyayat.

Perang ini berlangsung di Kosovo. Suatu tempat yang semula diperebutkan bangsa Albania dan Serbia. Dan Tentara Turki juga masuk ke Kosovo bagi ekspansinya ke belahan Eropa.

Dan beginilah yang terjadi, ketika dua pasukan yang semula bermusuhan harus bersama-sama melawan tentara Utsmaniyah, para penyanyi masih mengulang lagu yang sama. Tak ada persoalan untuk itu. Mereka berteman dan bahkan saat mereka menjadi pelarian setelah pasukan Turki menghancurkan pasukan mereka dan membunuh serta menangkap raja-raja dan pangeran-pangeran mereka. Di jalan-jalan, di tempat persembunyian, mereka yang tersisa itu terus bersama-sama sambil lalu mendengarkan kabar mengenai Kosovo dan sekitarnya dari orang-orang yang lari dari Serbia. Dari pelarian mereka pula, saya mendengar dan tahu ketakutan dan keputusasaan macam apa yang menghampiri mereka. Ketika mereka berada di tempat jauh, terdengar kabar Kosovo hancur. Kosovo bergelimang darah. Kosovo penuh derita dan kemalangan. Yang berhasil selamat melarikan diri dari tempat mengerikan itu.

***

Dalam novel ini, Kadare juga merekam bagaimana pasukan-pasukan Turki merobohkan gereja-gereja menggantinya dengan bangunan baru yang disebut masjid. Tentu saja ini pemaksaan kehendak, merupakan sebentuk hegemoni Utsmaniyah atas daerah taklukannya. Upaya menyebarkan Islam justru dimulai dengan memerangi mereka. Dan itu semua hanya menyisakan luka dan dendam bagi mereka.

“Bagaimana dengan Kosovo dan daerah sekitarnya?”

“Jangan tanya! Rerumputan telah musnah. Burung-burung hitam pun telah berlari terbang. Nama itu konon telah diganti—daerah itu bernama Muradie mulai sekarang, untuk menghormati Sultan Murad yang wafat di sana.”

“Bagaimana dengan gereja-gereja?”

“Tempat-tempat suci itu telah dirobohkan dan kuil-kuil dibangun sebagai gantinya—mereka menyebutnya masjid, atau..”

Dan di mana pun selalu sama, di mana ada perang di situ kebinasaan terpampang nyata. Atau, di mana ada kekuasaan yang mencengkeram semacam penjajahan atau upaya-upaya kolonial, pada akhirnya berdampak pada kehancuran. Tetapi, ada pihak-pihak yang diuntungkan atau merasa memperoleh keuntungan dari perang, tentu saja.

Menjadi terang di novel ini, ketika Utsmaniyah menapakkan kakinya di Kosovo, tidak berlangsung lama, negeri itu dipenuhi mayat-mayat dan darah, baik dari pihak Serbia dan sekutunya berikut pasukan Turki yang juga banyak tertebas pedang dan ujung tombak.

Di tengah hiruk pikuk dan pekik kemenangan, seorang pangeran Turki, calon pengganti Sultan Murad I, mati terbunuh.

Satu sisi Kosovo dimenangkan Turki, sisi lain sang Sultan beserta orang-orangnya dilanda nestapa yang tidak kalah memilukan.

Patut juga dicatat, Sultan Murad I juga terbunuh. Tak ada yang tahu siapa yang membunuhnya kecuali tentu saja yang membunuh atau yang mendalangi pembunuhan itu. Dan mengenai ini berbagai prediksi bermunculan. Darah Sultan Murad dikubur di tempat itu, di tanah Kosovo, sedang tubuhnya dibawa pulang.

Jauh setelahnya, dan Sultan Murad I pun tersedu di dalam kuburannya—yang sepi yang sendiri—menyebut nama-nama putranya dan memanggil-manggil tentara-tentara Turki.

Tidak dapat saya pungkiri, sebelumnya saya tidak mengenal Kadare dalam arti membaca karya-karyanya. Tak ada yang memperkenalkan saya dengan pengarang besar Albania ini dengan menyodorkan karyanya atau sekadar memberitahu saya untuk berkenalan dengan meminta saya menelurusi proses kepengarangan Kadare berikut karya sastra yang dihasilkannya. Tidak ada. Ketika novel ini dipampang di sebuah toko buku online, saya membaca biografi singkat yang juga disertakan di situ—dan saya menjadi tahu, rupanya itu sebuah pengantar Kurnia Efendi bagi buku ini—saya menjadi penasaran dan tertarik. Hasilnya adalah, saya benar-benar terkesima dengan novel ini, dan saya sangat senang. Saya pikir, sebuah kenikmatan menemukan dan membaca buku novel macam ini.

Saya ingin menyebut beberapa tokoh yang menggerakkan cerita dalam novel ini. Antara lain: Sultan Murad I, Yakub (putra tertua Sultan), Bayezid (naik tahta menggantikan Sulta) dan pasukan Serbia, Albania, dan sekutunya, para rombongan Seniman, dan seseorang bernama Ibrahim. Namun yang menyentuh diri saya ialah para rombongan seniman Serbia dan Albania itu. Dari mereka, saya dapat mendengar dengan sedikit sendu perihal Kosovo dan jalanan yang mereka lalui dan tanah-tanah yang mereka tapaki. Dan perasaan-perasaan yang berkecamuk di dalam dada mereka.

***

Sejarah umat manusia sebagian besar diwarnai oleh perang. Yang terkenal barangkali Perang Dunia I dan II. Atau juga Perang Salib yang melegenda itu. Di tanah air kita sendiri, kita dapat menyebut satu di antara peperangan yang amat dahsyat dan melahirkan kemerdekaan, kita sama-sama memperingati setiap tahun. Yaitu perang melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Atau jauh sebelum itu, ketika Nusantara masih diperintah raja-raja, misalnya. Mereka berperang satu sama lain dengan mengorbankan banyak nyawa. Sehingga, kerajaan satu tunduk kepada kerajaan lain, dan kerajaan lainnya menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Ada alasan-alasan kenapa mesti berperang, itu pasti. Entah sentimen agama, politik, masalah etnis dan semacamnya. Namun, kepentingan demi merengkuh kekuasaan dan kehendak untuk berkuasa saya rasa menjadi agenda paling menentukan. Ada banyak buku yang merekam peristiwa-peristiwa berdarah semacam itu.

Lantas, siapa yang menciptakan perang? Saya rasa, kita semua akan mencari dan menemukan jawabannya di dalam diri kita masing-masing.

Novel ini bukan semata kritik Kadare atas pasukan Utsmaniyah. Lain daripada itu, ia menghadirkan sesuatu, berupa olok-olok cerdas bagi Albania dan Serbia. Demikian.(*)


Baca juga:
Dharsana dan Kejahatan-kejahatannya dalam Novel Hotel Prodeo
Puisi-Puisi Khoer Jurzani – Maharani

Komentar Anda?