Menu
Menu

Meski memberi warna baru dari segi tempo penceritaan, sejumlah konstruksi kejadian tidak biasa dalam “Orang-Orang Oetimu” tergolong wajar secara konvensi.


Oleh: Marcelus Ungkang |

Pengajar sastra di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.


Salah satu ciri yang cukup mudah dikenali saat membaca novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi adalah tempo yang cepat. Mekanisme tekstual macam apakah yang bekerja di balik itu? Bisakah kita mencari penjelasannya dari bermacam kejadian tidak biasa (events)?

Tempo penceritaan yang cepat dalam Orang-Orang Oetimu dikondisikan oleh dekatnya penyajian secara tekstual atas perubahan-perubahan keadaan dalam dunia cerita. Meski bukan satu-satunya pengondisi, tetapi cepatnya perubahan-perubahan berlangsung merupakan hal yang dominan dalam novel ini.

Namun, ada begitu banyak jenis “perubahan keadaan” dalam naratif. Istilah itu terlalu umum dan kurang mampu menjelaskan bagaimana perubahan yang memang khas dari teks naratif sastra macam cerpen atau novel. Untuk itu, kita bisa merujuk konsep naratologi yang dielaborasi oleh Wolf Schmid (2010), yaitu “event”.

Dalam kerangka Schimd, “event” diartikan sebagai kejadian yang tidak biasa, peristiwa penting, bukan sesuatu yang rutin ditemui dalam keseharian, suatu penyimpangan, atau kejadian yang tidak pernah ada sebelumnya dari dalam ukuran dunia cerita tertentu. Kejadian tidak biasa itulah yang diusulkan Schmid sebagai hal yang perlu menjadi perhatian teori sastra, alih-alih bermacam perubahan lain dalam teks naratif.

Penjelasan arti tempo penceritaan dengan mengaitkannya dengan event berguna untuk mencegah pembicaraan tentang tempo penceritaan tidak dikacaukan dengan kecepatan membaca teks. Jika pembaca secara cepat membaca Orang-Orang Oetimu, maka itu tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tempo penceritaannya cepat. Ada banyak faktor yang memengaruhi kecepatan seseorang membaca teks – dan hal itu tidak jadi fokus ulasan ini.

Penciri Kejadian Tidak Biasa

Schmid mengajukan dua prasyarat dan lima fitur penciri yang perlu dimiliki suatu perubahan keadaan agar dapat dikategorikan sebagai kejadian tidak biasa. Dua prasyarat itu adalah nyata (real) dan resultavitas.

Real yang dimaksud berpatokan pada kerangka dunia fiksional. Bermacam keinginan, harapan, atau yang diimpikan tokoh tidak dapat dikategorikan sebagai event. Namun, aksi nyata menginginkan, mengharapkan, atau memimpikan sesuatu bisa dikategorikan sebagai event. Resultavitas berarti bahwa kejadian tidak biasa itu mendapatkan pemenuhannya di dalam dunia cerita.

Lima fitur penciri kejadian tidak biasa yang dielaborasi Scmidt adalah sesuatu yang gradisional. Tulisan ini hanya membahas empat fitur yang memang juga bisa ditemukan dalam kejadian-kejadian tidak biasa dalam Orang-Orang Oetimu.

Pertama, relevan dalam kerangka dunia cerita itu sendiri. Artinya, kejadian tidak biasa itu memang esensial dan dibutuhkan dari dalam dunia cerita. Namun, ukuran relevan bersifat relatif kerena bergantung bagaimana para tokoh melihat suatu kejadian: sebagai hal biasa atau tidak biasa.

Bagi Sersan Ipi, kekalahan Brazil biasa saja, toh ia sedang bahagia bertunangan dengan Silvi. Namun, bagi Martin Kabiti dan warga kampung Oetimu, kekalahan Brazil itu menjengkelkan sekali dan  tidak terduga.

Kedua, tidak terduga (unpredictibility). Ketakterdugaan adalah ketidaksesuaian antara apa yang terjadi dengan ekspetasi tokoh dalam dunia naratif itu sendiri. Ketakterdugaan juga bisa diartikan sebagai penyimpangan dari “norma” atau kelaziman yang ada dalam dunia cerita.

    • Kekalahan Brazil atas Prancis tidak sesuai dengan harapan penonton.
    • Di tengah revolusi dan kudeta di Portugal, lazimnya karier kemiliteran Julio berakhir, tetapi ia malah dikirim ke ke koloni Timor.
    • Julio tidak menduga bahwa tamunya yang mendadak berkunjung dan minta izin menginap akan membuat ia ditangkap malam itu juga.

Ketiga, tidak dapat disemulakan lagi (irreversibility). Semakin kecil peluang suatu perubahan dikembalikan ke kondisi awalnya, semakin tinggi tingkat ketidakbiasaannya.

Sejumlah kematian para tokoh dalam Orang-Orang Oetimu adalah peristiwa yang tidak dapat dikembalikan ke keadaan sebelumnya.

Keempat, bukan pengulangan yang sama (non-iterativity). Jika suatu kejadian tidak biasa terjadi berulang-ulang dan melibatkan tokoh yang sama,  kejadian itu akan turun kadar ketidakbiasaannya.

    • Pascakematian Laura, anjing-anjing di kampung melolong sepanjang malam. Kejadian itu hanya terjadi sekali.
    • Suatu malam Am Siki, antara sadar-ambang sadar, merasa pohon-pohon lontar meludah ke kedua tangan dan mata Am Siki. Ia merasa kuat setelahnya. Peristiwa itu tidak terjadi berulang-ulang.

 

Tempo Penceritaan dan Kejadian Tidak Biasa

Tempo penceritaan dalam cerpen atau novel adalah cepat-lambatnya penyajian kejadian-kejadian tidak biasa dalam suatu konstruksi naratif. Semakin dekat jarak antara suatu kejadian tidak biasa dengan kejadian tidak biasa lainnya dalam penyajian (text order), semakin cepat aliran perubahan-perubahan keadaan terjadi, dan sebaliknya.

Istilah penyajian atau tata teks (text order) ini juga perlu dibedakan dari tata urutan waktu (time order). Penyusunan waktu “kemarin”, “sekarang”, atau “besok” adalah soal tata waktu. Namun, bagaimana intensitas waktu (cepat atau lambat) diproyeksikan secara tekstual adalah soal tata teks. Waktu setahun bisa saja dituliskan oleh pengarang dalam satu atau beberapa kalimat saja, sedangkan waktu lima menit malah dirinci ke dalam beberapa paragraf.

Untuk membayangkan lebih sederhana bagaimana tata urutan waktu diproyeksikan dalam tata teks, kita bisa melihat sintaks plot di bawah ini. Intensitas waktu diproyeksikan lewat font dan jarak antara huruf.

    • siang, sore, malam, pagi.
    • siang, sore, m a l a m, pagi.
    • siang, sore, m a   l   a   m, pagi.
    • ma-siang, sore, -lam, pagi.

Font dan jarak di atas berkaitan dengan salah satu teknik untuk memperlambat tempo dan menghasilkan efek waktu bergerak seperti siput, yaitu dengan zoom in momen tertentu. Momen itu lalu dideskripsikan secara detail.

Namun, bagaimana jika ada dua atau lebih kejadian terjadi di waktu yang sama? Meski ada beberapa kejadian terjadi di waktu yang sama, tetap saja dalam tulisan satu kejadian harus diceritakan mendahului yang lain dalam urutan. Tentu saja konsepsi ini berkembang dari tradisi cetak dan dalam batasan-batasan cara kerja mata dan kognisi manusia dalam proses membaca – dengan mengenyampingkan dulu perkembangan teknologi digital dan potensinya bagi kemungkinan penyajian naratif.

Kejadian Tidak Biasa dalam Orang-Orang Oetimu

Ulasan khusus hubungan antara tempo yang cepat dengan kejadian tidak biasa ini hanya dibatasi pada dua bab awal. Kita bisa mencuplik peristiwa-peristiwa, yang mungkin terlihat sepele, pada bab pertama Orang-Orang Oetimu sebagai contoh awal apa yang dimaksud kejadian tidak biasa.

    • Biasanya warga kampung Oetimu nonton pertandingan piala dunia sepak bola 1998 di rumah Mas Zainal, tapi pada malam final mereka nonton di pos polisi atas undangan Sersan Ipi.
    • Pada pertandingan final itu, Brazil yang dijagokan jadi juara justru kalah telak dari Prancis. Ronaldo Nazario, yang tampil memikat sejak babak kualifikasi, justru tampil loyo di final.

Dalam satu malam ada dua kejadian tidak biasa. Namun, jika dicek lebih teliti sebenarnya konstruksi kejadian tidak biasa pada bab 1 itu sedang dalam proses menjadi tiga. Melalui foreshadowing, satu kejadian tidak biasa akan terjadi lagi malam itu: “Satu jam sebelum para pembunuh itu menyerang rumah Martin Kabiti, di malam final Piala Dunia, Sersan Ipi menjemput Martin Kabiti dengan sepeda motornya.” (hal. 1). Jumlah kejadian tidak biasa itu meningkat drastis pada bab kedua menjadi sepuluh.

Melalui penyajian 10 kejadian tidak biasa secara beruntun hanya dalam satu bab di atas, kita bisa membayangkan begitu cepatnya perubahan-perubahan keadaan terjadi. Menurut saya, dekatnya jarak penyajian antara perubahan-perubahan keadaan itulah yang kemudian dikenali pembaca sebagai tempo yang cepat.

Namun, bagaimanakah kejadian tidak biasa dipintal dengan unsur-unsur naratif lain dalam Orang-Orang Oetimu?


kejadian tidak biasa dalam novel orang-orang oetimu karya felix k nesi


Pintalan Kejadian Tidak Biasa

Sejumlah kejadian penting atau tidak biasa dalam novel ini juga mendapatkan karakteristik etnografisnya melalui parameter sudut pandang dan teknik karakterisasi.

Pertama, parameter sudut pandang. Kejadian tidak biasa dalam novel ini bisa kental unsur etnografisnya karena parameter linguistik dan parameter budaya yang dipakai. Kita bisa perhatikan diksi yang dicetak tebal pada peristiwa warga kampung Oetimu nonton final sepakbola bersama Sersan Ipi dan para tentara di pos polisi.

Dua orang tentara yang lain ikut masuk dan mengambil tempat di kursi sofa yang terletak di belakang kursi putar itu. Sofa itu besar dan masih bisa menampung tiga manusia lagi, tetapi tidak ada orang kampung yang merasa cukup pantas untuk duduk berdampingan dengan tentara-tentara dari tanah Jawa. (Hal. 4)

Jika diksi “cukup pantas” diganti “cukup nyaman”, maka berbeda keseluruhan relasi antartokoh dan makna keseluruhan bangunan peristiwa itu. Meski kata “pantas” dan “nyaman” bertumpu pada oposisi biner, tetapi ada rantai makna yang berbeda. Oposisi biner tersirat dari diksi “cukup pantas” adalah antara warga Oetimu:kampung vs tentara dari Jawa:kota. Sedangkan diksi “cukup nyaman” memiliki rantai oposisi biner warga Oetimu:sipil:pasif vs tentara:militer:agresif.

Kita juga bisa melihat penggunaan diksi dalam analogi berguna untuk memberikan kesan etnografis pada peristiwa yang melibatkan Ipi Kecil dan Naef Ahelet.

Matanya gelap dan ia menjadi linglung. Saat ia melihat ke bawah, cairan putih kental seperti buih nira telah memenuhi jemari Naef Ahelet.

Penganalogian bentuk dan warna sperma dengan buih nira koheren dengan eksistensi Ipi Kecil sebagai anak yang hidup di kampung yang penuh pohon lontar dan kakeknya sendiri adalah penyadap lontar.

Kedua, parameter budaya. Parameter budaya berkaitan dengan bagaimana suatu peristiwa bisa dianggap sebagai kejadian tidak biasa dari suatu sudut pandang budaya tertentu. Kita bisa mencermati bagaimana warga kampung Oetimu memandang ketika Laura pertama kali masuk kampung mereka (bagian akhir bab II).

Sejajar dengan peristiwa kemunculan Laura, pemaknaan kejadian tidak biasa dalam parameter budaya bisa dilihat pada peristiwa pascakematian Laura.

Di malam sesudah ia dikuburkan itu, anjing-anjing melolong tak henti dan angin kencang bikin ribut isi kampung. Beberapa pohon tumbang dan monyet-monyet melarikan diri dari bukit-bukit. Orang-orang yakin bahwa perempuan itu akan tetap hidup untuk menjaga anaknya. (Hal. 52)

Kedua, karakterisasi dan kejadian tidak biasa. Suatu kejadian tidak biasa dapat dikondisikan penerimaannya agar tetap wajar dan masuk akal secara fiksional dengan memadukannya dengan karakterisasi (cara tokoh diperkenalkan atau ditampilkan).

Pemaduan itu bisa kita temukan pada cara tokoh Am Siki ditampilkan yang membuat kejadian tidak biasa yang dialaminya di bagian selanjutnya menjadi berterima.

Keluarganya percaya bahwa di suatu masa yang lampau, leluhurnya tercipta dari pohon lontar; … (Hal. 33)

Karakterisasi di atas berfungsi jadi kerangka acuan yang membuat peristiwa mistis yang dialami Am Siki pada halaman 38 menjadi relevan dalam bangunan cerita dan tidak terkesan dipaksa-paksakan.

Usai membacakan syair itu tiga kali, sambil merentang-rentangkan tangannya dengan dramatis, lontar itu meludahi lengan dan kedua mata Am Siki.

Terkaget-kaget karena ludah itu, Am Siki membuka matanya. Lontar itu berdiri kokoh dihadapannya, dan ia merasa tubuhnya lebih kuat daripada kuda. Mandor yang datang untuk mencambuknya, ia tampar berkali-kali sebelum ia angkat tinggi-tinggi dan ia pecahkan batok kepalanya di batu karang hitam.

Pelintasan “Batas” dan Kejadian Tidak Biasa

Meski memberi warna baru dari segi tempo penceritaan, sejumlah konstruksi kejadian tidak biasa dalam Orang-Orang Oetimu tergolong wajar secara konvensi. Kita bisa membaca itu dengan konsep medan semantik Jury Lotman lalu menghadapkan novel ini pada novel-novel dalam sejarah sastra Indonesia.

Dalam konsep Lotman, “event” diartikan sebagai pelintasan “batas”. Purwarupa pelintasan batas yang dimaksudkan Lotman, misalnya, bisa ditemukan pada dongeng, misalnya, seorang gadis biasa mengikuti pesta dansa kerajaan (Cinderella), seorang putri yang terpaksa hidup bersama tujuh kurcaci di hutan (White Snow), keluarga miskin menjadi kaya raya dengan mengambil harta dari para pencuri (Ali Baba), boneka yang ingin jadi manusia (Pinokio), dll.

Dalam sastra Indonesia, kita bisa menyebut beberapa contoh pelintasan batas. Misalnya, Samsulbahri diusir Ayahnya dari Padang lalu pergi ke Jakarta (Siti Nurbaya karya Marah Roesli, 1922); lelaki pribumi menikah dengan gadis Indo-Prancis (Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, 1928); gadis kampung menikah dengan lelaki ningrat (Gadis Pantai karya Pramoedya, 1987); dll.

Model pelintasan batas itu juga bisa ditemukan dalam Orang-Orang Oetimu dengan gradasinya masing-masing: (1) Julio sekeluarga pindah dari Portugal ke koloni Timor, (2) Julio sebagai orang asing bergabung dengan Fretelin (3) Laura (Portugis) masuk kampung Oetimu dalam keadaan mengenaskan, lalu tinggal di sana, (4) para pemuda Timor bergabung dengan tentara Indonesia, dan (5) warga Tionghoa mengungsi ke SMA Santa Helena.

Kesan segar yang mungkin didapatkan dari pelbagai kejadian tidak biasa dalam novel ini karena keterjalinannya secara politis dan kritis dengan latar sosiokultural wilayah Timor, kompleksitas konflik Timor-Timur, dan bagaimana peristiwa 98 berlangsung di wilayah tepian – yang memang masih tergolong langka dalam karya sastra Indonesia.

Namun, kecenderungan politis dalam kejadian tidak biasa Orang-Orang Oetimu cenderung didorong oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Munculnya kesadaran dalam benak tokoh yang potensial memicu kejadian tidak biasa justru kurang dieksplor oleh Felix K. Nesi.

Contohnya, peristiwa Am Siki pertama kali masuk kampung Oetimu dan kaget mendapati bahwa Jepang dan Belanda sudah tidak ada lagi. Daerah itu ternyata sudah jadi bagian dari Indonesia dan kepada masyarakatnya “diberikan” bahasa baru: Bahasa Indonesia.

Maka sesaklah dada Am Siki. Ia menjadi bersedih hati, sebab orang-orang asing itu selalu datang silih berganti, tetapi tidak ada satu pun yang mau belajar berbicara dengan bahasa yang baik dan benar. Selalu saja orang Timor yang dipaksa untuk mempelajari arti dari bunyi-bunyi aneh yang keluar dari mulutnya; mulai dari Portugis, Belanda, Jepang, sampai Indonesia. (Hal. 39)

Terbitnya kesadaran itu, menurut saya, bisa jadi penggerak munculnya kejadian tidak biasa. Namun, kesadaran yang muncul dalam benak itu hanya jadi letupan kecil tanpa jejak; tidak punya signifikansi terhadap perkembangan plot. Dalam konsep Scmidt, hal itu tidak memenuhi prasyarat resultativitas.

Contoh bagus peristiwa terbitnya kesadaran politis terkait bahasa adalah ketika Minke bertemu dengan Trunodongso, petani tebu, dalam Anak Semua Bangsa karya Pram. Pada peristiwa itu Trunodongso menjawab bahasa Jawa Halus dari Minke dengan bahasa Jawa Rendahan. Minke sempat kesal. Namun, muncul kesadaran dan kritik diri tentang bahasa, kelas sosial, dan kuasa dalam diri Minke. Kesadaran itu pula mempengaruhi aksi-aksi politik Minke selanjutnya.

Menghadapkan kejadian tidak biasa Orang-Orang Oetimu  pada karya-karya lain dalam sejarah sastra Indonesia perlu untuk mengingatkan kita bahwa ia adalah produk suatu zaman. Kejadian Maria meludahi seorang perwira militer di upacara pemakaman memang bisa dikategorikan sebagai hal yang tidak biasa. Namun, tindakan itu dimungkinkan karena kondisi politik dan sastra saat ini. Jika peristiwa itu muncul pada novel Indonesia masa Orde Baru berkuasa, maka bukan cuma peristiwa itu yang tidak biasa, bahkan pengarangnya juga luar biasa.

Penutup

Berbagai bentuk kejadian tidak biasa dalam novel Felix K. Nesi ini bisa dibaca sebagai usaha mimesis atas peristiwa penting referendum Timtim. Dalam peristiwa itu, ada kisah-kisah manusia melintasi batas: bergabung dengan Indonesia, melepaskan diri dari Indonesia, atau terjebak di dalamnya – hingga saat ini. Semoga pohon-pohon lontar membacakan mantra lalu meludah ke kedua lengan dan mata kita. Dengan begitu, kita tidak lupa. (*)


Infografis: Daeng Irman

Komentar Anda?