Menu
Menu

Laut Bercerita sudah mengantisipasi siapa pembacanya.


Oleh: Maria Pankratia |

Notulis


“Baiklah, jika kau punya rencana pergi semacam itu. Satu hal yang tidak boleh kau lupakan dalam rencanamu sebelum pergi adalah, persiapkan juga orang-orang yang akan kau tinggalkan.”

Pesan ini masih tersimpan di salah satu ruang percakapan saya dan seorang teman. Ini terjadi setelah saya mengatakan padanya bahwa sepertinya mati muda itu lebih baik, ketimbang saat kita tua dan mulai dilupakan. Kenapa kemudian saya mengingat pesan yang telah lewat berbulan-bulan ketika mulai menuliskan notulen ini, tentu saja karena saya akhirnya mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan dalam situasi yang mendadak tanpa persiapan, seperti yang dialami ayah dan ibu Biru Laut di novel Laut Bercerita.

Novel yang saya baca di tahun 2018 ini, akhirnya didiskusikan di Bincang Buku Petra ke-19. Bincang buku yang berlangsung pada tanggal 30 Juli 2020 di Toto Kopi dihadiri oleh 11 peserta; Berto Sileteng yang malam itu bertindak sebagai pemantik, Randy Ladja—teman Berto yang ternyata sudah membaca buku ini sejak masih di bangku kelas II SMA, dr. Ronald Susilo, Armin Bell, Marcelus Ungkang, Hermin Patrisia, Febhy Irene, Lolik Apung, Jeli Djehaut selaku tuan rumah, Romo Beben—yang setelah sekian lama tidak mengikuti diskusi dan bergabung lagi, dan tentu saja saya sendiri.

Berto Sileteng membuka diskusi dengan menyatakan keharuannya akan kisah Biru Laut sekeluarga. Ia mengakui secara pribadi terbawa suasana di dalam cerita. “Di bagian prolog, Leila langsung menempatkan peristiwa atau tragedi maut yang mengakhiri hidup tokoh utama. Dan kita tahu potongan kisah ini merupakan akhir dari segala perjuangan setelah Biru Laut dipenjara, disiksa dan mengalami kekejian lainnya oleh rezim orde baru,” papar Berto.

Berto melanjutkan, setelah prolog, secara bergantian penulis menggunakan alur maju mundur. Secara bergantian menampilkan kisah Biru Laut, saat-saat di penjara lalu di bagian yang lain atau lebih tepatnya masa lalu Biru Laut ketika baru mulai merintis perjuangan bersama kawan-kawannya. Di bagian ini juga, penulis memperkenalkan kita kepada keluarga Biru Laut; ayah, ibu, dan adiknya Asmara Jati. Dengan menggunakan alur maju-mundur ini, sebagai pembaca, Berto mengaku sangat terpacu untuk terus membaca demi mengetahui kelanjutan kisah hingga selesai. “Selain itu, gaya penceritaan yang menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, membuat saya merasa sangat dekat dengan peristiwa yang dikisahkan. Saya merasa terlibat dengan segala kejadian yang dialami oleh tokoh. Jika cerita ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, mungkin saya tidak sampai menitikkan air mata ketika membaca kesedihan orang tua Biru Laut,” tutur Berto.

Di akhir pembacaannya, Berto menyampaikan, ia kemudian memaknai kisah dalam Laut Bercerita ini sebagai kisah tentang kehilangan; yang paling mengharukan adalah bagian di mana Asmara Jati mengisahkan kehidupan keluarganya setelah Biru Laut menghilang. Kesedihan itu menurut Berto meninggalkan kesan yang sangat mendalam. “Sebagaimana ungkapan ayah Biru Laut: ketidakpastian itu lebih membunuh daripada pembunuhan itu sendiri. Jika dicermati, situasi ini tidak jauh berbeda dengan yang kita alami saat ini. Kita semua sedang dilanda ketidakpastian akibat wabah covid-19. Semoga saja pandemi ini lekas berakhir,” tutup Berto.

Hermin mendapatkan giliran selanjutnya. Hermin mengaku pada awalnya merasa biasa saja dengan kisah Biru Laut sebab sebelumnya pernah membaca kisah yang mirip. Namun setelah meneruskan membaca, ia sadar ada beberapa pengalaman menarik yang dia peroleh. Salah satunya tentang fokus kita ketika menghadapi kehilangan seperti yang dialami keluarga Biru Laut. “Kita selalu hanya melihat dampak yang dialami orang yang ditinggalkan, bagaimana dengan orang yang meninggalkan kita? Banyak pembaca yang merasa sedih dan kasihan terhadap kedua orang tua Biru Laut, tetapi bagaimana dengan Biru Laut sendiri? Ketika dia menghilang tanpa keinginannya dan dia sangat rindu untuk pulang ke rumah,” ungkap Hermin.

Hal lain yang juga menarik bagi Hermin adalah tentang kebersamaan dan ikatan kasih sayang antara Biru Laut dan kedua orang tua serta adiknya Asmara Jati. Hal ini mengingatkan Hermin pada masa-masa SMA, ketika ia lebih merasa bebas dan bahagia ketika kedua orang tuanya sedang tak ada di rumah. Ia bisa mengajak kawan-kawannya main ke rumah dan melakukan hal-hal menyenangkan. Tetapi yang kadang tidak diketahui, saat ia tidak bersama dengan orang tuanya di rumah. Mereka selalu mengingat dan mengharapkan kehadiran anak-anaknya, sebagaimana ayah Biru Laut yang masih menyiapkan empat piring di meja makan walaupun sebenarnya hanya tiga orang yang akan duduk dan makan bersama.

Hermin menutup hasil pembacaannya dengan memberikan simpulan tema dari novel ini yaitu harapan. “Buku ini membuat saya belajar; untuk terus hidup, kita harus terus memiliki harapan. Karena hanya dengan cara itu, kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan untuk bertahan,” pungkas Hermin.

Giliran selanjutnya adalah dr. Ronald Susilo. Seperti biasa, ketika membaca sebuah karya sastra, Dokter Ronald akan mengingat pengalaman-pengalaman hidupnya. Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori ini bagi Dokter Ronald, mengingatkannya pada beberapa peristiwa, di antaranya; PP No.10 tahun 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dan Pembantaian PKI tahun 1965 di Manggarai. Peristiwa-peristiwa tragis dan menyedihkan itu diceritakan langsung oleh generasi-generasi terdahulu yang sampai saat ini masih belum bisa menerima kehilangan-kehilangan orang-orang terdekat mereka. Batang-batang hio masih dibakar dan piring-piring sesajen masih dihaturkan untuk mengenang mereka yang dihilangkan secara paksa.

Kisah secara keseluruhan, menurut Dokter Ronald, biasa-biasa saja. Barangkali karena Leila adalah seorang jurnalis, ini semacam tulisan reportase dengan dibumbui kisah cinta Laut dan Anjani yang agak dipaksakan masuk ke dalam cerita. Tetapi Dokter Ronald merasa cukup senang ketika ada pembahasan tentang Alex dan Flores. “Data-data yang digunakan sangat akurat. Tentu saja penulis melewati riset yang baik sekali sebelum memutuskan menulis kisah ini,” ungkap Dokter Ronald mengakhiri hasil pembacaannya.

Armin Bell mendapat kesempatan berikutnya. Tidak ada pembahasan tentang struktur tulisan, atau gaya bercerita sebagaimana yang biasa disampaikan oleh Armin. Kali ini, ia benar-benar ingin bernostalgia, termasuk tentang pertemuannya dengan Genoneva Misiati, Ibu dari Petrus Bima Anugrah (salah satu aktivis yang dinyatakan hilang hingga saat ini) yang setiap waktu menanyakan kabar anaknya: “Pada beberapa bagian, saya tiba-tiba melihat Biru Laut sebagai Bima, karena Bima juga menulis puisi. Sesak sekali rasanya membaca buku ini karena membuat saya mengingat pengalaman-pengalaman personal, termasuk, jawaban apa lagi yang harus kau berikan kepada Ibu yang kau tahu anaknya tidak akan pulang?”

Menurut Armin, sebagai jurnalis, Leila sangat baik dalam hal melakukan investigasi. Hanya saja, sisi yang diambil sudah cukup sering dituliskan sebelumnya, sehingga Laut Bercerita terlihat seperti pengalihan medium saja, dari karya jurnalistik ke karya sastra. Ditambahkannya, melalui buku ini, Leila juga secara tidak langsung ingin memberi peringatan kepada para aktivis-aktivis saat ini tentang kerja sebuah gerakan, bahwa ketika memutuskan menjadi aktivis, kita harus siap menghadapi banyak sekali risiko. “Aktivis-aktivis dulu, berusaha dikasih makan oleh rezim, tetapi mereka tidak mau diam. Oleh karena itu mereka dihilangkan,” ujarnya.

Jika Hermin mencemaskan mereka yang meninggalkan, menurut Armin, justru yang mengalami penderitaan lebih berat adalah orang-orang yang ditinggalkan. “Saya pikir, aktivis-aktivis yang akhirnya tertangkap dan disiksa oleh rezim itu sebenarnya sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk menghadapi itu semua. Yang tidak menyiapkan diri sama sekali, justru orang-orang yang ditinggalkan. Mereka yang meninggalkan, barangkali iya mengalami penderitaan fisik. Tetapi tidak begitu dengan mereka yang ditinggalkan. Gangguan kejiwaan salah satunya. Seperti yang dialami Anjani, kekasih Biru Laut. Atau harapan dalam ketidakpastian seperti Ayah dan Ibu Biru Laut. Setiap ada ketukan pintu, kau akan berharap, anakmu yang hilang itu yang akan berdiri di depan pintu,” tutup Armin.

Setelah Armin, ada Febhy yang mendapatkan giliran untuk menyampaikan hasil pembacaannya. Menurut Febhy, Laut Bercerita adalah novel yang sangat menyentuh dan bermanfaat. Pada mulanya Febhy menduga ini adalah kisah fantasi saat melihat sampul bukunya, tetapi kemudian ia sadar setelah melihat halaman daftar isi dan prolog yang membikin perasaannya tidak enak. Sepertinya tokoh utama akan mati.

Baca di bagian berikutnya…

[nextpage title=”Laut Bercerita, Cerita yang Menyentuh dan Detail”]

Sebagaimana pembaca yang lain, Febhy dibuat terharu, termenung dan merefleksi tentang kondisi saat ini, zaman di mana ia hidup; “ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan zaman-zaman para pendahulu.”

Kisah yang disampaikan dengan detail, mengalir menggunakan alur maju-mundur membuat aktivitas membaca menjadi nikmat sekali. Bagi Febhy, Laut Bercerita merupakan novel sejarah yang bagus. Data-data riset yang digunakan Leila untuk kisah ini memberikan pengetahuan yang luar biasa, khususnya bagi generasi yang tidak pernah mengalami langsung peristiwa-peristiwa seperti di tahun 1998.

“Saya akhirnya menyimpulkan, usaha seseorang sudah pasti melibatkan usaha banyak orang. Seperti Biru Laut, saat memutuskan masuk ke dalam organisasi, mau tidak mau melibatkan usaha dari keluarganya, salah satunya usaha untuk merelakan kehilangan. Mungkin pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, sebaiknya disajikan dalam bentuk seperti ini sehingga generasi-generasi seperti kami lebih paham sejarah melalui cara-cara yang menyenangkan,” tutup Febhy.

Hasil pembacaan menarik datang dari Romo Beben yang mendapat kesempatan berbicara setelah Febhy. Menurut Romo Beben, seperti menulis novel Pulang, sebagai seorang jurnalis yang kemudian menulis karya sastra, Leila sangat detail menuturkan berbagai peristiwa. Bagi Romo Beben, ini juga menjadi salah satu pilihan yang baik; bagaimana karya seni menjadi medium untuk menyimpan penderitaan. “Bagaimana karya seni menjadi salah satu tempat untuk menyimpan kisah-kisah memilukan yang juga menjadi ingatan kolektif sehingga kisah ini tidak hilang begitu saja. Sebab, ketika orang lain turut berpartisipasi dalam penderitaan kita (salah satunya pembaca), ada semacam kelegaan yang dirasakan,” jelas Romo Beben.

Romo Beben juga mengomentari Aksi Kamisan yang masih dilakukan hingga saat ini oleh para orang tua yang kehilangan anaknya di tahun 1998. “Saya melihat aksi ini sebagai suatu monumen. Sebagai suatu karya seni, meskipun tidak dalam bentuk benda melainkan aksi untuk mengingatkan orang lain tentang peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Melalui aksi ini, secara tidak langsung kita juga berharap agar peristiwa yang sama tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang,” tutur Romo Beben.

Bagi Romo Beben, keseluruhan yang bisa ditangkap dari pengalaman Biru Laut adalah hal mendasar tentang pengalaman eksistensial—bagaimana menjalani ketidakpastian? “Tidak ada kepastian kecuali ketidakpastian itu sendiri. Pada akhirnya yang membuat hidup Biru Laut dan kawan-kawannya ini menjadi lebih pasti adalah kematian. Dan kematian mereka menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Ketika kau mati, kau akan lahir berkali-kali, perjuanganmu menjadi tidak sia-sia,” tutup Romo Beben.

Setelah Romo Beben, ada Jeli Djehaut yang merasa banyak sekali ingatan yang dipanggil kembali setelah membaca novel ini. Setiap penggambaran latar, tempat, peristiwa, disampaikan dengan sangat detil, termasuk tentang Seyegan. “Ceritanya sangat menguras emosi. Satu hal yang ingin disampaikan dari keseluruhan kisah dalam novel ini adalah tentang MENOLAK LUPA,” ujar Jeli.

Kisah Biru Laut, mau tidak mau membuat Jeli membandingkan kiprah aktivis-aktivis dulu dengan aktivis zaman sekarang yang sudah sangat jauh berbeda. Di tahun 2000, saat pertama kali menginjakkan kaki di Jogja sebagai mahasiswa baru, lalu bergabung dengan beberapa organisasi yang saat itu masih terjaga baik semangat gerakannya, Jeli mengaku pernah terlibat dengan beberapa kegiatan di Seyegan. “Novel Laut Bercerita ini bagus dibaca oleh generasi-generasi zaman sekarang. Selain sebagai alternatif untuk mengenal sejarah dari sudut pandang yang berbeda, juga dapat menjadi pedoman bagi mereka yang memiliki minat menjadi seorang aktivis. Yah kurang lebih seharusnya seperti apa yang dilakukan oleh Biru Laut dan kawan-kawan,” tutup Jeli.

peserta laut bercerita bincang bincang

Lolik Apung yang mendapat giliran selanjutnya menyatakan, novel ini terkesan sentimental sekali. Hal ini bisa dilihat dari hasil pembacaan kawan-kawan sekalian yang menurutnya memperkaya diskusi malam itu. Banyak kali juga ia membaca karya-karya yang resisten terhadap orde baru. Terhadap sejarah kita yang sebenarnya, yang tidak persis disampaikan secara gamblang di dalam buku-buku sejarah resmi.

Simak di bagian berikutnya…

[nextpage title=”Sejarah yang Tidak Ada dalam Buku Sejarah”]

Lolik kemudian menyampaikan pengalaman membaca buku lain yang kurang lebih mengisahkan hal yang sama: Orang-Orang Katolik III yang ditulis oleh Karl Steenbrink. Di dalamnya terdapat kisah seorang Uskup berdarah Tionghoa bernama Gabriel Manek, Uskup ke-II di Indonesia setelah Mgr. Soegijapranata. Saat terjadi pembantaian di tahun 1965, beliau saat itu berada di Eropa untuk mengurus kesehatannya. Ia menulis dari Eropa tentang dukungannya terhadap tindakan pemerintah dengan tujuan untuk mengamankan situasi Negara. Setelah melihat kekejaman rezim yang tidak manusiawi, Gabriel Manek kemudian menulis surat yang kedua dengan memasukkan unsur biblis di dalamnya, Cintailah musuh-musuhmu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri (bdk. Lukas 6:27-36). Dalam hal ini, Lolik menyoroti kehadiran gereja ketika situasi negeri mengarah pada kengerian yang tragis. Di mana posisi gereja sebenarnya?

Setelah Lolik, giliran saya menyampaikan hasil pembacaan. Ada tiga tokoh yang menjadi sorotan saya setelah membaca novel Leila S. Chudori ini. Yang pertama di halaman 280, Asmara Jati. Bagi saya pribadi, Asmara tidak bedanya dengan saya dan kebanyakan orang lain, yang melihat perjuangan sebagai sesuatu yang pragmatis. Sesuatu yang terukur dan memperlihatkan hasil secara kasat mata. Kami tidak akan bisa memahami perjuangan-perjuangan yang intangible seperti yang dilakukan oleh Laut dan kawan-kawan. Sesuatu yang tidak terlihat.

Namun setelah itu, saya kembali ke halaman 182 dan membaca ulang apa yang dikatakan oleh Kinan kepada Laut, di situ saya sadar bahwa apa yang saya, kamu, kita semua alami saat ini merupakan hasil dari perjuangan generasi-generasi pejuang terdahulu. Salah satunya kebebasan berpendapat yang bisa kita lakukan saat ini yang justru tidak bisa dicicipi oleh mereka yang memasang badan bertahun-tahun demi mendapatkannya.

Tokoh kedua, Alex. Saya terkejut saat Om Jeli di antara kisah masa lalunya sempat menyebutkan nama Mugi, yang kemungkinan adalah Alex di dunia nyata. Mugi adalah orang pertama yang kembali dengan selamat lalu memberikan kesaksian dengan berani dan kemudian dilarikan ke Belanda. Bagi saya, Alex yang adalah orang Solor, aktivis dan fotografer serta ganteng, meninggalkan jejak yang cukup dalam. Cara Leila berkisah tentang latar belakang Alex yang berasal dari keluarga pelaut, nyanyian laut dalam bahasa Lamaholot yang sengaja disisipkan, serta hal-hal lain tentang Flores, memberikan impresi tersendiri bagi saya ketika membaca buku ini.

Tokoh ketiga, dan tentu saja sangat menjengkelkan sebenarnya untuk dibahas, Gusti. Tokoh pendukung yang jarang sekali disebutkan keterlibatannya oleh tokoh utama ini, sudah membangun kecurigaan di dalam pikiran saya sejak awal. Begitu terganggunya saya terhadap Gusti hingga ketika di halaman 178, ia dipertemukan dengan Biru Laut setelah penyiksaan, membikin saya membanting dengan keras buku setebal 394 halaman ini. Kehadiran Gusti kembali memperingatkan saya untuk selalu siaga menyalakan alarm tanda bahaya ketika menemukan tanda-tanda pengkhianatan di sekitar kita. Tidak semua orang bisa kita percaya, bahkan yang berpenampilan lugu sekalipun.

Randy menyampaikan hasil pembacaannya setelah saya. Meski sudah membaca sejak lama, tetapi setelah mendengarkan hasil pembacaan peserta lain, ia kemudian mengingat hal yang ia dapatkan dari Laut Bercerita. Ia kemudian meminjam salah satu ungkapan dalam bahasa jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta lahir karena terbiasa. Demikian pula yang terjadi dengan keluarga Biru Laut. Kebiasaan makan bersama, memutar lagu The Beatles, adalah semacam ritual. Sehingga bisa kita pahami, begitu sulit merelakan cinta yang sudah tumbuh dan hidup bersama kita bertahun-tahun lamanya.

Tentang perjuangan Biru Laut dan kawan-kawan, bagi Randy, bisa digambarkan seperti ungkapan latin, ars longa vita brevis, seni itu abadi, tetapi hidup itu singkat. Bagaimana jika hidup kita diperpanjang terus, seperti dalam puisi Chairil Anwar; aku ingin hidup 1000 tahun lagi—meskipun dalam kenangan. Kita bisa memasukkan kehidupan kita yang sudah berakhir, ke dalam bentuk karya seni agar bisa hidup berkali-kali (selamanya). “Barangkali itu juga tujuan Leila menyisipkan beberapa puisi di dalam novel ini, salah satunya puisi Rendra,” tutup Randy.

Peserta terakhir yang juga merekomendasikan novel Laut Bercerita untuk dibahas di Bincang Buku Petra adalah Marcelus Ungkang. Menurut Celus, pekerjaan paling penting yang mesti dilihat dari novel ini adalah kerja penyuntingan. Melihat hasil pembacaan kawan-kawan tentang kisah sejarah yang selama ini tidak terdapat di dalam buku-buku sejarah resmi, Celus menyimpulkan, novel ini sebenarnya sudah mengantisipasi “siapa pembacanya.” Jika bisa dibaca oleh Berto dan Randy—peserta termuda pada diskusi malam itu—berarti penulis berhasil.

“Dapat kita simpulkan bahwa, terlihat sekali tujuan dari penulisan novel ini adalah memperluas jangkauan/segmen pembaca sehingga bukan lagi hal teknis yang dibahas melainkan segemen mana yang belum terjangkau oleh para penulis dengan tema kisah sejarah seperti ini,” tutur Celus.

Celus melanjutkan, “Barangkali hal ini yang menyebabkan tidak banyak hal menarik terkait teknis yang bisa dibahas dari novel ini. Nyaris tidak ada lagi eksperimen kepenulisan karena bukan itu tujuannya. Kalimat-kalimatnya sederhana, penggunaan simbol juga tidak terlalu banyak seperti yang kita temukan di novel Pulang, novel lain Leila S. Chudori. Buku ini membuat pembaca merasa intim, dari generasi mana pun,” ungkap Celus.

Di bagian akhir Celus menambahkan: “hal yang dapat dikatakan sama dari novel Pulang dan Laut Bercerita oleh Leila, bagaimana kita melihat Indonesia dari meja makan? Pada novel Pulang, ada kisah tentang meja makan orang yang diasingkan. Sementara di novel ini, kita menemukan meja makan orang yang ditinggalkan,” tutup Celus.

peserta bincang buku laut bercerita

Malam itu, di antara gelas-gelas kopi yang diracik langsung oleh Ka Tian, Barista Toto Kopi, para peserta menyematkan Bintang Empat untuk novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori ini. Bincang Buku ke-20 telah berlangsung pada 28 Agustus 2020, membahas novel Ibu Susu karya Rio Johan. Jika tak ada halangan, hasil diskusinya akan ditayangkan di Bacapetra.co pada penghujung bulan ini.(*)


Baca juga:
– Sesudah Zaman Tuhan: Antologi Puisi Nasional sebagai Dukungan di Tengah Pandemi
– Film di Hindia Belanda, Anak Kandung Modernitas

Komentar Anda?