segalanya kekal dalam jerat jarak/ garis air yang memerangkap riak
Oleh: Afri Meldam |
Lahir dan besar di Sumpur Kudus, Sumatra Barat. Menulis cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya, Hikayat Bujang Jilatang, terbit pada 2015. Noveletnya yang berjudul “Di Palung Terdalam Surga” bisa dibaca di Pitu Loka (2019). Kini tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
lidah air, lidah hantu air pasang
menghilir mengirim riak petunang
bergegaslah, buyung, bersegeralah ke tepian
tinggalkan batu putih dan masa kecilmu
buaya pucat telah berenang dari kuantan
ke lubuk di unggan ia kini menuju
pada sapuan lidah air pertama
pada hempasan ombak menggila
ia berjalan di ceruk-ceruk tebing
merangkak di petang yang hening
dan di langit kau lihat warna merah
sekelebat bara sekelat darah
sementara kau adalah ikan kecil
yang baru mengenal aroma batu-batu
belum kau kecup tajam mata kail
belum kau peluk panas api tungku
maka, kembalilah ke tepian
ke batang sepi tak berkesudahan ini
Bekasi, 2020
.
Siapakah kita
Di tubuh sungai-sungai
Batang Lisun dan Batang Kuantan
Yang menghujam lubuk-lubuk
Yang menikam teluk-teluk
Pencari ikan atau tukang tuba
Yang melarutkan racun bersama mantra
Tubuh lapar batang badan
Buih keruh di patahan palung
Jalan para pencari manau dan rotan
Jalan lama mambang hutan
Orang bunian dan anak katai
Kita bukan siapa-siapa
Di tetes akar pohon-pohon
Di jeram ke sembilan Batang Kuantan
Ikan apa yang kaucari sampai ke sini
Lailan dan ngongai terkubur di Palukahan
Di lorong-lorong pasir emas
Di lobang-lobang kubur penambang
Kita adalah anak-anak situka
Terdampar di peluh pantai
Terkapar di teluh sungai
Sumpur Kudus, 2020
.
Ke rantau yang dekat, di Kuantan
Sepotong nasib dihanyutkan
Memberi jalan getah putih
Menetes di tempurung diri
Di dekapan hutan yang sama
Di pelukan rimba yang berbeda
Aku menjadi pisau runcing
Menikam jantung kayu
Menyayat nadi tubuh
Tapi apalah rantau dekat ini
Air dari Sumpu masih kukecap
Pahit dingin daun pohon kuini
Ke muara Batanghari ia melesap
Kuantan, 2020
.
ia batu dari pangkal hulu
hijau kelam di dasar biru
di sarang ikan-ikan bercumbu
lalu pelukan air membawanya ke pintumu
sebagai sebongkah batu asahan
yang mengilatkan kilau paling ngilu
dari pisau dari parang di genggaman
jeram deras dan pusingan air ganas
telah mengasah tajam sekujur tubuhnya
maka di mana pun kau gesekkan batang besi majal itu
akan ia gigit akan ia lumat hingga pias
tapi, sungguh ia tak akan menderas luka
jika segala bermuara pada tetes air ruh yang satu
ada akar air di urat tubuhnya
menghujam ke palung diri yang sama
di permulaan nama-nama
ia telah menjadi batu asahan pertama
hanyut dari hulu
mengetuk pintumu
Bekasi, 2020
.
kita tak akan pernah menebak warna sungai
kuning gading merah darah atau sejingga dada murai?
juga batu-batu yang berhimpitan di dasarnya
hitam tua cokelat muda atau sedingin loyang tembaga?
tapi kita akan selalu menunggu ikan-ikan kelabu di sini
berenang dari muara yang jauh, mencari anak-anak sungai
yang menyibak riak dengan sirip-sirip kelam tengguli
yang meliuk di antara kerikil-kerikil hijau masai
lalu, sebagaimana langit pagi yang mandi di sana
apakah sungai bisa kita warnai dengan putih keperakan
atau pucat umbut dalam perut sebatang pinang nawa
yang mengulurkan pelepah merengkuh basah bantaran?
tidak, tidak akan ada kata untuk menamai warna sungai
selain genangan kenangan yang membiru di derai rinai
Bekasi, 2020
.
pilih setandan yang paling lebat
yang getahnya mengalir deras
lalu kau pukul kau hantam dengan hulu parang
berkali-kali hingga memar hingga pucat
pancung segera dengan keras
sampai kres mata parang memutus gagang
maka jadilah ia pancuran nira
tak akan henti sampai pagi buta
dan silangkanlah kayu di tungku
belanga hitam lengan liat legam
siap mengacau menggelegakkan nira itu
sampai mengental serupa wujud dendam
di dadamu, berdentam-dentam
gula yang manis, hidup yang kejam
Bekasi, 2020
.
inilah rumah kita kini: lubang di bawah rumpun betung
ceruk yang tak bisa direngkuh tangan penjala
tetes air yang dikirim hujan turun dari rengkah tanah
ikan-ikan dan udang-udang kecil berenang ke pangkal lambung
kau tentu ingat hari-hari saat kita masih menjadi ikan perkasa
sepasang ikan lailan yang berenang dari mulut muara
mencari ujung sungai, batu-batu bersih, dan akar-akar yang meneteskan air
hingga ratusan cabang sungai, lalu kita kembali ke hilir
hanya untuk menemukan muara yang keruh
air cokelat dari lubang tambang emas dikeruk
kita mencari rumah, sementara suara mesin bergemuruh
pasir kuning emas seujung kelingking terus diuruk
lalu kita temukan lubang di bawah rumpun betung ini
tempat berdiam sampai siapa pun datang ke sini
entah maut entah nasib yang kalut
: menghabisi sepasang ikan lailan paling gendut!
Bekasi, 2020
.
sebentang tali kuning padam
menyeberang ke tepian lain
tepian berbatu karang tajam
tempat mandi hantu tak berkain
kau melihatnya turun ke dasar sungai
memerangkap ikan-ikan betina bertelur
tak ada lagi jalan ke batang pulai
tak ada lagi buah-buah di ujung lilit sulur
siang dan malam bertemu di sini
rumput basah daun kering jatuh sendiri
segalanya kekal dalam jerat jarak
garis air yang memerangkap riak
yang membawa kita ke pusaran
ke dalam perut ikan-ikan
Bekasi, 2020
Ilustrasi dari Pexels
Baca juga:
– Puisi-Puisi Alda Merini – Akulah Perempuan Milik Allah
– Puisi-Puisi Iyut Fitra – Kepadamu Kami Bicara