Menu
Menu

“Dawuk” juga berkisah tentang orang-orang orang yang berangkat ke luar negeri dan bekerja di sana bertahun-tahun.


Oleh: Yuan Jonta

Alumni Psikologi Universitas Sanata Dharma. Sekarang tinggal di Ruteng, bergiat di JHRC. Anggota Klub Buku Petra.


Kamis, 28 Februari 2019, Bincang Buku Klub Buku Petra edisi kedua tahun 2019 diadakan di LG Corner, Ruteng.

Buku yang dibahas adalah “Dawuk – Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu”, sebuah novel karangan Mahfud Ikhwan. Ini adalah kali pertama saya hadir dan langsung mendapat tugas merangkum hasil diskusi malam itu. Saya memutuskan membaginya ke dalam beberapa bagian.

Kalajengking dan Ular

Ilustrator sampul novel ini memilih kalajengking dan ular. Yoan Lambo sebagai pemantik, juga para peserta Bincang Buku yang hadir malam itu mengawali komentar mereka dengan pertanyaan apakah kedua hewan itu mewakili karakter dua tokoh penting—Mat Dawuk yang ganas diwakilkan oleh kalajengking, dan ular yang ‘licin’ suka berkelok-kelok menggambarkan karakter Innayatun yang digambarkan sebagai seorang wanita yang suka menggoda—novel ini?

Namun yang jelas, para peserta sepakat bahwa kedua binatang itu dipakai karena kehadirannya dalam cerita menjadi turning point. Saya sendiri merasa, cerita setelah ular dan kalajengking adalah kepingan-kepingan yang menyedihkan, menyebalkan, dan tidak menyenangkan dalam membaca Dawuk.

Tokoh-Tokoh yang Dipakai Mahfud Ikhwan

Mengambil latar di desa Rumbuk Randu dan Malaysia, Mahfud mengajak pembaca untuk berimajinasi tentang lanskap kehidupan masyarakat pinggiran. Tokoh utama cerita ini adalah Mat Dawuk, pria buruk rupa yang tumbuh besar kekurangan kasih sayang. Dawuk kemudian bertemu (lagi) dengan seorang wanita cantik yang pernah jadi idamannnya (dan sebagian besar pria) di desa Rumbuk Randu.

Novel ini ditulis dengan sangat efisien. Dalam 181 halaman, Makhfud Ihkwan membuat emosi pembaca ‘campur aduk’. Kecuali bagian pertama yang agak lambat, novel ini sangat menarik. Berikut komentar para pembaca tentang tokoh-tokoh yang dipakai Mahfud Ikhwan dalam novel ini.

Warto Kemplung

Penulis novel ini bersembunyi di balik Warto Kemplung, narator serba tahu yang menjalankan cerita dengan bumbu-bumbu imajinasinya sendiri. Bumbu yang banyak. Tentang Warto Kemplung, peserta Bincang Buku edisi Februari 2019 ini memiliki pandangannya masing-masing.

Armin Bell menganggap Warto Kemplung yang bercerita dengan gaya hiperbola adalah potret setiap pencerita di kampung-kampung kita. “Mengapa orang-orang mau mendengar padahal mereka tahu bahwa beberapa bagian adalah hasil karang-karang Warto, saya pikir itu karena mendengar cerita adalah salah satu kebutuhan pokok manusia setelah makan dan minum,” tutur Armin Bell.

Sementara itu Daeng Irman justru menyoroti hal lain. Menurutnya, gambaran Mahfud Ikhwan tentang caranya berpakaian dan gaya bicara Warto Kemplung berhasil menampilkan kehidupan khas orang-orang yang setiap hari berpikir keras bagaimana supaya kopi dan rokok ‘tetap lancar’. “Pengangguran atau anak kuliahan yang sering mengalami masalah serupa di tanggal-tanggal tua pasti paham dengan baik. Untuk dapat kopi dan rokok gratis, kita wajib bawa cerita yang menarik,” komentar Daeng.

Warto Kemplung, yang tukang membual dan tukang minta kopi dan rokok, adalah alasan Febhy Irene, peserta Bincang Buku lainnya terus membaca Dawuk hingga selesai. Febry Djenadut juga berkomentar serupa tentang tokoh ini. Menurutnya, “Warto Kemplung jadi semacam kunci dari kisah Dawuk ini. Jika dia tidak berhasil membuat orang-orang di warung kopi mendengarnya, tidak akan terungkap kisah Mat Dawuk dan seluruh perjalanan hidupnya.”

Mat Dawuk

Mat Dawuk tumbuh sebagai seorang anak yang tidak mendapatkan sentuhan kasih sayang. Ayahnya sangat membencinya, selain karena lahir dengan tampang yang buruk, juga terutama karena istrinya meninggal dunia ketika melahirkan Dawuk. Satu-satunya orang yang menyayangi Dawuk adalah kakeknya, yang justru tiba-tiba menghilang begitu saja.

Lahir dengan rupa yang buruk, dekil, dan tanpa orang tua, Dawuk tidak disukai masyarakat Rumbuk Randu. Dawuk dijadikan ‘bahan’ menakut-nakuti anak-anak sekampung. Ia tumbuh dewasa lalu menghilang dari kampungnya, merantau ke Malaysia.

Di sana Dawuk menjadi seorang pembunuh bayaran. Tumbuh tanpa pernah merasakan kasih sayang menjadi dasar yang logis bagi Dawuk sehingga menjadi seorang sosiopat. Tampangnya yang buruk rupa serta desas-desus tentang profesinya membuat orang-orang di tanah rantau takut padanya.

Sebuah peristiwa mengubah hidupnya. Di Malaysia, ia bertemu dengan Inayattun. Ia jatuh cinta pada wanita itu. Bukan tanpa alasan. Dawuk kecil yang kurang kasih sayang pernah diam-diam menyukai anak Haji Bahar tersebut. Pertemuannya dengan Inayattun di Malaysia menumbuhkan lagi benih-benih cinta masa kecil. Cintanya diterima. Selanjutnya, menjadi pasangan Inayattun mengubah haluan hidup Dawuk. Demi wanita yang ia cintai, ia berjanji untuk tidak membunuh lagi.

Sekali lagi, Mahfud Ikhwan berhasil menceritakan perubahan karakter yang baik. Dawuk yang tidak pernah merasakan sentuhan kasih sayang di masa kecilnya, menemukan perasaan itu dari wanita yang ia kagumi secara diam-diam. Gadis itu menjadi figur afektif pertamanya.

Maria Pankratia, penanggung jawab agenda Bincang Buku mengakui bahwa pada awalnya ia tidak begitu tertarik dengan Mat Dawuk. Namun kemudian menjadi kagum. Dalam visualisasinya, Maria membayangkan Dawuk menyerupai kawan yang memang buruk sekali tampangnya tetapi memiliki hati yang baik dan suka membantu siapa saja. “Seperti superhero kebanyakan, Dawuk tak beda dengan orang-orang yang memiliki jalan hidup mencengangkan, dan umumnya berasal dari latar belakang keluarga yang kurang beruntung,” jelas Maria.

Sementara itu menurut Ajen Angelina, bagian yang menarik tentang Mat Dawuk dalam novel ini adalah ketika sebelum berzinah, Mat Dawuk memutuskan untuk menurunkan gambar suci di dinding kamar kos mereka.

“Secara psikologis Mat Dawuk adalah seorang pembunuh berdarah dingin, tidak percaya diri, tidak juga percaya pada orang lain sebab sejak kecil tidak mendapatkan kasih sayang Ibu. Akan tetapi Mat Dawuk adalah pribadi yang spiritual. Dia tidak bisa membaca tetapi dia bisa menghafal surat-surat Yassin karena mengikuti kelas mengaji sejak kecil. Bagian ini menarik,” demikian komentar Ajen.

Ditambahkannya, penulis novel ini seperti sedang mengingatkan bahwa titik tertinggi dalam hidup seseorang adalah bagaimana hubungan baiknya dengan Tuhan terjadi dan membantunya menjadi tetap kuat.

Inayattun

Inayattun berhasil mencuri hati para pembaca yang hadir dalam Bincang Buku malam itu.

Tentang Inayattun diceritakan, ibu-ibu hamil di Rumbuk randu ramai-ramai mengusap perutnya bila bertemu dengan Inayattun kecil. Kecantikannya memikat hari. Selain itu, Inayattun juga lahir dari keluarga yang religius. Sejak kecil ia sudah lancar melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Orang akan berpikir bahwa Inayattun akan menjadi gadis yang manis nan solehah. Demikianlah ibu-ibu hamil mengusap perut mereka, berharap anak yang dikandungnya dapat seberuntung Inayattun.

Namun ternyata tidak seperti diharapkan, Inayattun justru tumbuh menjadi seorang remaja yang nakal dan suka membangkang. Ibu-ibu yang pernah mengidolakannya semasa ia kecil buru-buru bilang amit-amit. Bayangkan, sebagian besar remaja laki-laki yang mengenalnya mengaku pernah ‘menyentuh’ Inayattun.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Inayattun bersikeras merantau ke Malaysia. Menentang kedua orangtuanya. Perjalanan pahit menyelimuti kisah hidupnya di perantauan. Berganti-ganti suami, Inayattun tak pernah merasakan cinta. Ia justru dimanfaatkan. Terakhir ia mendapati dirinya jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda yang terobsesi padanya. Ia dipaksa untuk menikah dengan sang pemuda.

Tidak hanya sampai di situ Ina juga menjadi korban kekerasan si berondong. Ina yang pandai bergaya menjadi tak berdaya.

Dalam kondisinya yang terpuruk ia bertemu dengan seorang lelaki heroik. Lelaki yang berhasil menyelamatkannya dari segala rasa takut yang ia rasakan. Perlahan rasa cinta tumbuh dalam dirinya. Ia jatuh hati pada Dawuk, pria yang menyelamatkannya dari kejaran si pemuda. Ina menemukan ketulusan dalam diri Dawuk. Hal yang sepertinya belum pernah ia temukan dari pria-pria sebelumnya. Ia jatuh cinta pada Dawuk, menikah dengan Dawuk tanpa peduli dengan orang tuanya yang tidak setuju dengan keputusannya itu.

Karakter Inayattun mendapat perhatian khusus dalam diskusi malam itu. Moral Inayattun, latar belakang keluarga, dan pembawaan dirinya, menjadi bagian yang dibahas panjang dalam Bincang Buku Klub Buku Petra.

Saya sendiri mengagumi Mahfud Ikhwan karena caranya membangun karakter Inayattun. Inayattun yang lahir dari keluarga religius dan menjadi idaman masyarakat, kok bisa tumbuh menjadi gadis nakal? Apakah pengaruh teman-temannya saat remaja? Tidak. Lebih tepatnya tidak diceritakan.

Barulah di bagian akhir Mahfud Ikhwan membuka rahasia itu. Haji Bahar, ayah Inayattun, selain seorang (yang dianggap pemuka agama) juga adalah agen teluh. Haji dan agen teluh. Dua hal yang bertolak belakang. Sesuatu yang membuat perubahan sikap Inayattun menjadi masuk akal; menentang kemunafikan itu, menunjukkan kesejatian dirinya.

Orang yang dituntut untuk hidup dalam kepura-puraan akan tiba dalam kondisi jenuhnya, lalu melawan. Pertemuannya dengan Mat Dawuk adalah titik lanjutan pemberontakannya, meski barangkali tidak dilakukan dengan niat melawan, gadis tercantik di Rumbuk Randu menikahi ‘lelaki terburuk’ yang pernah lahir di sana.

[nextpage title=”Dawuk dan Ingatan Kita Pada Peristiwa Lain”]
Membincangkan novel “Dawuk”, mau tidak mau menghubungkan kita dengan hal-hal lain.

Beberapa peserta yang hadir di LG Corner pada akhir Februari lalu itu mengakui bahwa ketika telah tiba pada bab yang mengisahkan tentang Rumbuk Randu, mereka serentak teringat pada Dukuh Paruk, sebuah desa ciptaan Ahmad Tohari dalam “Ronggeng Dukuh Paruk”.

Selain itu, melalui beberapa tokoh di dalam novel ini Mahfud Ikhwan berani mengangkat relasi kuasa di lingkaran keluarga pejabat atau petinggi bangsa ini. Bahwa jika kakek adalah seorang pejabat penting, maka anak dan cucu akan tetap ada di jalur yang sama, meski dalam posisi yang satu tingkat lebih rendah.

Jeli Djehaut malam itu mengungkapkan bahwa kisah Dawuk membuatnya teringat pada kondisi kampung halamannya. Kisah tentang orang-orang orang yang berangkat ke luar negeri dan bekerja di sana bertahun-tahun.

“Cerita ini sangat dekat secara personal apalagi ketika membahas soal perkawinan antara perantau atau keluarga yang ditinggalkan di kampung. Hal seperti ini lumrah terjadi di desa-desa tertentu. Desa-desa yang hampir semua orangnya keluar mencari peruntungan di negeri orang,” papar Jeli.

Sementara itu, menurut dr. Ronald Susilo, novel ini menggambarkan dengan sangat baik kondisi masyarakat kita dewasa ini. “Kehidupan masyarakat yang ada pada pilihan antara makan atau dimakan. Siapa pun bisa saling merugikan satu sama lain,” papar pendiri Klub Buku Petra ini. Dokter Ronald juga mengapresiasi kemampuan ilustrator sampul novel ini yang memilih kalajengking dan ular, yang dengan tepat menggambarkan seluruh cerita.


dawuk kalajengking ular

Peserta Bincang Buku Klub Buku Petra edisi Februari 2019


Malam itu, para peserta yang hadir yakni: Febriany Djenadut, Ajen Angelina, Rini Kurniati, Margareth Febhy Irene, Melanie Cici Ndiwa, Armin Bell, dr. Ronald Susilo, Yoan Lambo, Reinard L. Meo, Jeli Djehaut, Daeng Irman, Maria Pankratia, saya, dan crew LG Corner, menyematkan empat bintang untuk novel kedua Mahfud Ikhwan. Novel yang menjadi Pemenang Kategori Prosa Kusala Sastra Indonesia tahun 2017. (*)

Komentar Anda?