Menu
Menu

Awit te sae adalah ajakan: Mari menari!


Oleh: Maria Pankratia

Bergiat di Yayasan Klub Buku Petra, mengelola Pustaka Bergerak dan agenda bulanan Bincang Buku Klub Buku Petra. Blog pribadinya: dasvitkonazone.blogspot.com.


Saya memiliki seorang teman kecil bernama Rana. Di beberapa pertemuan kami, Rana bercerita bahwa ia bergabung dengan salah satu sanggar di Ruteng.

Nama Sanggar itu Awit Te Sae. Berlokasi di Kedutul, Nekang. Mengajarkan tarian-tarian Nusantara. Saat itu, Rana dan kawan-kawannya tengah mempelajari sebuah tarian dari Sumatera. Tari Tor-Tor.

Selanjutnya Rana mengundang saya hadir pada Acara Uji Tampil Sanggar Awit Te Sae. Hari Sabtu, 2 Maret 2019. Rana dan kawan-kawannya akan membawakan tarian Tor-Tor. Yang sudah mereka pelajari selama empat bulan.

Sore itu, pukul setengah enam sore saya tiba di Aula Maria Assumpta, tempat Uji Tampil dilaksanakan. Ada empat deret kursi yang hampir semuanya telah terisi oleh orang tua dan keluarga dari anggota Sanggar Awit Te Sae. Hendak menyaksikan penampilan anak-anak mereka. Saya memilih kursi di deretan kedua.

Lima belas menit kemudian, acara dimulai. Seorang perempuan—kemudian saya ketahui sebagai pengajar di Sanggar Awi Te Sae—memberikan sambutan sekaligus membawakan tarian pembuka, Bajidor Kahot. Luar biasa gemulai dan menghipnotis para hadirin, termasuk saya.

Acara dilanjutkan dengan penampilan pertama, sebuah tarian dari Pulau Dewata. Tari Pendet. Dibawakan oleh tiga gadis cilik dari Kelas Dasar Sanggar Awi Te Sae. Di bangku penonton, saya melihat para orang tua menyaksikan anak-anak mereka yang unjuk kebolehan dengan antusias. Salah satu orang tua, berusaha menutup sebagian wajahnya demi menahan tawa. Gemas melihat tingkah anaknya di panggung.

Tibalah giliran penampilan kedua. Sahabat kecil saya bersama lima temannya membawakan Tari Tor-Tor. Saya terpukau melihat kostum mereka, sudah persis gadis-gadis cilik Batak saja. Gerakan mereka pun luar biasa lincah, mengundang decak kagum dan tepuk tangan yang bergemuruh di akhir penampilan. Bangga sekali rupanya saya malam itu sebagai kawan yang menonton.

Demikian hanya dua tarian yang dipentaskan malam itu, dan para orang tua meminta agar diulangi sekali lagi. Anak-anak tentu tidak ingin melewatkan kesempatan semacam itu, secepat kilat mereka menyanggupi sebab wardrobe pun masih melekat di tubuh masing-masing. Kami menonton sekali lagi.

Lepas pementasan, saya mendatangi Rana di belakang panggung. Saya memberinya selamat dan mengabadikan gambar bersama. Saya kemudian meminta Rana memperkenalkan saya pada Guru Tarinya. Ada banyak hal yang ingin sekali saya tanyakan.

Guru Tari Awit Te Sae

Nama lengkapnya Claudia Febriani Djenadut. Sejak kecil dipanggil Nona oleh keluarga besar, Febry oleh teman-teman sekolah, dan menjadi ‘Djiboel’ sejak SMP. Dia memberi nama Awit Te Sae pada sanggarnya bukan tanpa alasan. Sebagai perempuan yang lahir, besar, dan berasal dari Manggarai, baginya, Awit Te Sae memiliki makna yang filosofis.

Secara etimologis, Awit Te Sae berasal dari tiga kata; awit, te, dan saè. Awit berarti memanggil dengan gerakan menggamit, te artinya untuk, saè itu artinya menari. Yang terakhir ini merupakan nama salah satu gerakan dasar tari Manggarai; gerakan merentangkan tangan seperti kepak sayap burung. Jadi ketika digabung akan menjadi sebuah ajakan untuk menari. Mari menari!

Febry mulai menjalankan Sanggar Awit Te Sae sejak bulan Juni 2018 di teras rumahnya di Kedutul, Nekang, Ruteng. Hingga saat ini, semua masih ia lakukan sendiri. Mulai dari mengatur jadwal latihan, administrasi, memberikan latihan, memikirkan kostum, membuat konsep, bertemu penjahit, menjadi penata rias, sampai dengan mengadakan acara uji tampil, di mana semua orang tua hadir dan menyaksikan penampilan anak-anak mereka. Di beberapa bagian, jika mengalami kesulitan, dirinya akan dibantu oleh beberapa kawan dari Komunitas Saeh Go Lino, sebuah komunitas seni di mana dirinya ikut terlibat.

Sejauh ini, Awit Te Sae baru melaksanakan kelas reguler yang berlangsung selama empat bulan, lalu diakhiri dengan acara Uji Tampil. Yang saya tonton pada malam minggu pertama di bulan Maret kemarin itu adalah yang kedua. Rata-rata usia anak yang bergabung di Awit Te Saè berkisar pada usia 5 – 11 tahun.

Berbicara tentang syarat utama agar bisa bergabung di Awit Te Sae, Febry menjelaskan kepada saya, ada dua aturan dasar jika mau bergabung di Sanggar Awit Te Sae. Pertama, benar-benar ingin belajar menari—bukan karena mamanya yang mau anak belajar menari. Kedua, usia minimal 6 tahun. Pertimbangannya, di usia tersebut anak-anak sudah lebih mudah diarahkan dan menangkap instruksi dengan baik. Dirinya berharap, di sanggar ini anak-anak tidak hanya sekedar menghafal gerakan tetapi benar-benar menari dengan hati.

Tidak ada batasan maksimal untuk bisa belajar bersama di Sanggar Awit Te Saè. Namun, karena sejauh ini yang telah menyelesaikan Uji Tampil adalah anak-anak usia Sekolah Dasar maka banyak yang berpikir sanggar ini khusus bagi anak-anak. Sebenarnya tidak. Ketika awal dimulai, ada seorang ibu guru dan seorang siswi SMP yang bergabung. Hanya saja keduanya tidak bisa menyelesaikan kelas oleh karena terbentur kegiatan sekolah yang padat.

Ditanya tentang kurikulum yang diajarkan di Awit Te sae, Febry menjawab tak ada kurikulum khusus. “Dasarnya, Awit Te Sae adalah sanggar Tari Tradisional Nusantara. Jadi cita-citanya pun sederhana, yaitu mengajarkan semua tarian yang ada di Indonesia kepada teman-teman yang memutuskan bergabung di sanggar. Cara mengajarnya pun tidak rumit, pemanasan-gerakan dasar-hafal materi-penghalusan,” jelasnya.

Misi utama dari Sanggar Awit Te Sae adalah mengakrabkan Tari Nusantara kepada masyarakat kota Ruteng. Khususnya kepada anak-anak dan kaum muda sebagai generasi penerus bangsa—dulu ini jawaban klise untuk pertanyaan mata pelajaran PPKn, akan tetapi semakin tua malah menjadi semakin sadar bahwa ini penting. Sebagai orang muda, Febry tak rela jika tarian-tarian ini di kemudian hari hanya menyisakan nama. Sama pentingnya dengan mulai benar-benar menerapkan prinsip “Think Globally, Act Locally.”

Saya kemudian mengajak Febry berbagi tentang Acara Uji Tampil, yang baru saja kami saksikan. Uji tampil dilaksanakan dengan tujuan agar anak-anak paham, bahwa ada target untuk setiap hal yang mereka pelajari/lakukan. Harapannya, hal ini dapat membangun kesadaran mereka sejak dini, sehingga berlaku pula pada kegiatan-kegiatan/hal-hal lain yang akan dikerjakan. “Anak-anak juga tidak merasa sia-sia mempelajari sebuah tarian sebab mereka tahu, di kemudian hari tarian tersebut akan ditampilkan dengan serius. Mulai dari panggung, kostum, make-up, properti, dan penonton,” papar Febry. Selain keluarga, penonton yang lain juga bisa datang menonton dengan membeli tiket. Harapannya, dengan cara ini, masyarakat mulai menghargai pentasan kesenian dengan sadar dan mau membeli tiket, berapapun harganya.

Ada ketakutan, pelaku seni sendiri tidak menganggap bahwa yang dilakukannya itu mesti diapreasiasi serta patut untuk diberi harga tertentu—bukan berarti untuk dipamerkan. Hal ini muncul ketika uji tampil belum dilaksanakan, ada penari yang bertanya tentang harga tiket.

“Berapa harga tiket yang dikenakan bagi penonton yang ingin menyaksikan uji tampil?”

Ketika Febry menjelaskan harganya, dia terkejut.

“Apa? Harus bayar segitu untuk menonton tiga tarian saja?”

Padahal, bagi Ferby pribadi, harga tersebut terhitung sangat murah. Ia mengaku selalu berusaha menjelaskan apa yang akan ditonton adalah hasil proses kerja keras dan usaha kawan-kawan selama mempelajari tarian dari bulan pertama hingga bulan keempat. Semua itu menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyerap materi dengan baik.

Bagi Febry, dukungan orang tua anak-anak merupakan hal yang penting. Kesediaan orang tua mengantar-jemput anak-anak dan tetap membiarkan anak belajar bersama di Sanggar Awit Te Sae sudah menjadi hal yang sangat positif, juga motivasi yang membuatnya semangat untuk terus berkarya.

Dirinya melihat respons baik masyarakat. Indikatornya adalah anak-anak yang mengikuti kelas di Awit Te Sae, penonton yang membeli tiket menonton Uji Tampil, tanggapan-tanggapan di media sosial, maupun percakapan sehari-hari. Memang tidak semua yang bergabung sejak awal menyelesaikan kelas hingga Uji Tampil. Barangkali itu yang dinamakan seleksi alam. Bukan yang kuat yang bertahan, melainkan yang benar-benar mau bertahan. Toh kualitas jauh lebih penting daripada kwantitas.

Ada juga beberapa kendala. Misalnya kemampuan penyerapan materi yang berbeda di antara anak-anak, cuaca Ruteng yang kadang sangat tidak mendukung, dan sebagainya. Namun, Febry benar-benar percaya, waktu Tuhan tidak pernah salah dan semesta selalu mendukung. “Just stay positive!

Saya menikmati obrolan panjang kami dan merasa puas. Rasa penasaran sejak menginjakkan kaki di pintu masuk Aula Assumpta terjawab sudah. Saya berpamitan pada Guru Tari itu, juga teman kecil saya. Di jalan pulang saya memikirkan untuk menulis tentang Awit Te Sae. Yang saat ini telah selesai anda baca. Mari Menari! (*)

Komentar Anda?