Menu
Menu

Punicaadalah epik historis, meski tetap ditulis dalam deklinasi berkala praesens, seperti epik-epik lain dalam tradisi Romawi.


Oleh: Mario F. Lawi

Menerjemahkan karya-karya sastra dari bahasa Latin, Italia, dan Inggris untuk Bacapetra.co. Buku-buku terjemahannya yang telah terbit adalah Elegidia: Elegi-Elegi Pendek karya Sulpicia (2019), satu-satunya penyair perempuan era Latin Klasik dan Puisi-Puisi Pilihan Catullus (2019), penyair Latin Klasik pelopor puisi-puisi cinta.


Aeneis mungkin epik Romawi paling populer, karena dianggap menandingi dua epik Homeros, dan banyak aspeknya dapat dikaitkan dengan Ilias dan Odysseia. Meski menurut Vergilius Aeneis belum selesai dikerjakan, epik tersebut tetap diterbitkan setelah si penyair meninggal karena dianggap menjamin keabadian Augustus.

Kita ingat, dalam Komedi Ilahi, ada beberapa penyair dari khazanah Romawi dan Yunani yang disebutkan Dante selain Vergilius sang guru dan penuntun: Ovidius, Lucanus, Horatius, Homeros, dan Statius. Nama-nama penyair tersebut disebut dan sejumlah alusi dari karya mereka dirujuk Dante berdasarkan pengenalan Dante atas karya-karya mereka maupun penerimaan khazanah Abad Pertengahan Eropa. Penyair-penyair tersebut menulis dalam metrum heksameter, metrum yang dalam tradisi puisi Latin dianggap lebih tinggi dari metrum-metrum lain karena digunakan untuk menulis puisi epik. Selain Horatius, kelima penyair klasik lain menulis puisi epik. Lucanus punya Pharsalia, Statius dengan Achilleis dan Thebais, Ovidius dengan Metamorfosis, Homeros dengan Ilias dan Odysseia, dan Vergilius dengan Aeneis. Dante mengenal Horatius sebagai satiris, dan satire-satire Horatius dikerjakan dalam heksameter.

Meski puisi epik dikenal sebagai puisi panjang, karya-karya para penyair Romawi yang disebutkan dalam Komedi Ilahi tidak ada yang panjangnya menyaingi Punica, epik yang ditemukan kembali oleh Poggio Bracciolini. Punica ditulis Silius Italicus (28-103 Masehi), seorang orator, politikus, filsuf, konsul dan penyair. Sebagai orang yang datang dari latar belakang elite, Silius Italicus adalah orang yang sangat terdidik. Latar belakang sosial ini sangat berpengaruh terhadap penguasaan referensi yang digunakannya untuk menulis epiknya. Punica tercatat sebagai epik terpanjang Romawi, dibagi ke dalam 17 buku dengan panjang 12.202 baris. Meski kerap dianggap bukan hasil era emas kesusasteraan Latin, epik Flavian ini menampilkan jejak-jejak tradisi Vergilian seperti epik-epik pasca-Vergilius yang lain.

Punica ditemukan kembali sekitar tahun 1416-1417, nyaris seratus tahun setelah kematian Dante Alighieri, oleh Poggio Bracciolini, humanis yang pada masa muda mempelajari sastra Latin dari Giovanni Malpaghini, sahabat, murid, juru salin dan sekretaris Francesco Petrarca. Penemuan tersebut membuat epik Francesco Petrarca berjudul Africa mendapat sambutan yang tidak terlalu besar, karena orang-orang lebih senang membaca epik yang berasal dari era yang lebih tua, dan Punica yang baru ditemukan kembali lebih menarik perhatian daripada Africa. Bracciolini banyak menemukan kembali naskah-naskah penting dari khazanah sastra Latin yang pada masanya hanya bisa diketahui dari cerita atau rujukan teks-teks Latin lain misalnya, naskah pidato Pro Sexto Roscio dari Cicero, Silvae dari Statius, Astronomica dari Marcus Manilius, Punica dari Silius Italicus, dan yang paling terkenal adalah De Rerum Natura dari Lucretius.

Sebelum ditemukan Bracciolini, Abad Pertengahan hanya mengenal Punica dari bocoran-bocoran yang sangat sedikit diberikan oleh teks lain, misalnya oleh epigram-epigram Marcus Valerius Martialis penyair seangkatan Silius. Dalam epigram 4.14 (baca: buku 4, epigram 14), Martialis menulis tentang Punica:

Sili, Castalidum decus sororum,

qui periuria barbari furoris

ingenti premis ore perfidosque

astus Hannibalis leuisque Poenos

magnis cedere cogis Africanis:

paulum seposita seueritate,

dum blanda uagus alea December

incertis sonat hinc et hinc fritillis

et ludit tropa nequiore talo,

nostris otia commoda Camenis;

nec torua lege fronte, sed remissa

lasciuis madidos iocis libellos.

sic forsan tener ausus est Catullus

magno mittere Passerem Maroni.

 .

Silius, kebanggaan para saudari Castalia,

Dengan suara dahsyat kauganggu sumpah-sumpah palsu

Kemarahan kaum barbar dan strategi licik Hannibal,

Kaum Punia yang tak setia kaubuat menyerah

Kepada para Africanus yang agung:

Dengan sedikit keseriusan yang tak dihiraukan.

Ketika Desember berputar, dadu yang menggoda

Berbunyi dalam kotak-kotak yang tak tentu setiap putaran,

Dan ia berjudi dengan dadu yang lebih tak berharga,

Sediakanlah waktu luang bagi Musaku,

Santailah, bacalah dengan kepala dingin

Buku-buku kecil yang penuh lelucon jenaka .

Demikianlah, barangkali, Catullus yang lembut berani

Mengirimkan Pipit kepada Maro yang agung.

Martialis memuji Silius dengan nomina “decus” (kemuliaan, kebanggaan) dari para Musa, dan menunjukkan kekuatan estetika epik tersebut. Di baris-baris berikutnya, Martialis menunjukkan secara ringkas apa isi Punica. Dari petunjuk epigram itu juga kita tahu bahwa Punica adalah puisi tentang Perang Punisia Kedua, perang historis antara Hannibal dari Karthago dan sekutunya melawan pasukan Romawi di bawah komando Scipio Africanus. Perang Punisia Kedua adalah salah satu perang paling mematikan dalam sejarah Romawi.

Punica dibuka dengan kisah tentang Dido dan sumpah Hannibal. Hannibal adalah orang Karthago, seperti Dido, ratu dan pendiri Karthago yang memutuskan bunuh diri dengan senjata pemberian Aeneas setelah leluhur orang-orang Romawi tersebut meninggalkannya. Di kuil Dido, Hannibal kecil mengucapkan sumpah yang didiktekan sang ayah, Hamilcar. Di beberapa bagian, Silius merasa perlu memberikan porsi untuk menyusun katalog, misalnya katalog tentang pasukan Karthago, atau tentang pasukan Italia yang berperang di Kanne. Model katalog dari periode Yunani-Romawi ini nanti digunakan Milton, misalnya di awal epik Paradise Lost, tempat kita temukan nama-nama setan peserta konsili dan riwayat mereka. Milton memang menulis Paradise Lost dari sudut pandang pihak kalah seperti yang dilakukan Silius Italicus dalam Punica.

Kemarahan Iuno adalah penyebab supranatural pertempuran demi pertempuran dalam Punica. Kebencian Iuno terhadap Roma membuatnya memilih Hannibal sebagai perantara balas dendamnya. Bagian pembuka mencatat penaklukan dan kematian Hasdrubal, menantu Hamilcar, di Hispania. Hannibal kemudian dipilih untuk menggantikan Hasdrubal memimpin pasukan yang terdiri atas orang-orang Karthago dan orang-orang Hispania. Kisah lain dari buku 1 adalah pengepungan Saguntum. Pengepungan Saguntum disela dengan kisah utusan Roma yang ditolak oleh Hannibal. Utusan-utusan tersebut kemudian terus berlayar ke Karthago. Fabius, salah satu utusan tersebut, adalah keturunan Hercules. Di buku kedua jugalah Fabius menyatakan perang. Di bagian selanjutnya, ada episode yang menampilkan taktik Iuno: ia mengirim salah satu Erinnys dari Hades bernama Tisiphone untuk membuat orang-orang menjadi gila ketika pengepungan Saguntum terancam gagal karena bantuan Fides yang dipanggil oleh Hercules. Tisiphone berhasil membuat kota menjadi kacau. Bantuan Iuno tersebut membuat Hannibal dan pasukan mampu merebut Saguntum. Pasukan Karthago pun menerobos kota yang telah diporak-porandakan bencana (Irrumpunt vacuam Poeni tot cladibus arcem). Tisiphone pun kembali ke Hades dengan bangga karena membawa banyak korban. Silius menyampaikan, sebagai epilog buku 2, bahwa Hannibal akan mati karena menelan racunnya sendiri.

Keberhasilan Hannibal tersebut jadi bahan percakapan Venus dan Iupiter. “Casus metuit iam Roma Sagunti!” Begitulah bunyi salah satu baris keluhan Venus. “Roma kini diteror kejatuhan Saguntum!” Jika Roma takluk, maka pengalaman penaklukan Troia yang dialami Aeneas akan terulang. “Anne iterum capta repetentur Pergama Roma?” tanya Venus kepada Iupiter. “Akankah Roma sekali lagi ditaklukkan dan tragedi Troia terulang?” Iupiter menenangkannya dan berkata bahwa Roma memang mesti diuji agar muncul para pahlawan yang layak bersanding dengan para dewa di surga. Dalam jawaban tersebut, Iupiter menyampaikan ramalan tentang kelahiran dan kisah Scipio Africanus yang akan mengalahkan Hannibal dan pasukannya.

Di buku 4, Silius Italicus mencatat Perang Ticinus dan Perang Tribia, dua dari serangkaian Perang Punisia Kedua. Dalam buku 5, porsi terbanyak Silius pakai untuk menceritakan pertempuran di Danau Thrasymenne. Kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukan Romawi membuat Iupiter harus turun tangan di buku 6 untuk mencegah Hannibal memasuki Roma. Iupiter bersabda bahwa ia melarang Hannibal menginjakkan kakinya di Roma sambil melemparkan petir dengan tangan kanannya dan memenuhi langit dengan awan hitam. Tertundanya perang dan penaklukan Roma membuat Hannibal cemas. Iuno pun mengirimkan Anna, saudari Dido, untuk menenangkan Hannibal. Taktik penundaan Fabius berhasil menyelamatkan warga Romawi selama beberapa waktu. Di buku 8, keduanya bercakap-cakap. Anna menyampaikan sejarahnya dan membesarkan hati Hannibal dengan meramalkan pertempuran di Kanne.

Pertempuran di Kanne diceritakan Silius di buku 9 dan 10. Buku 8 sampai 10 dapat dikatakan sebagai inti epik Punica, karena dalam ketiga buku ini kita menyaksikan pertempuran berdarah di Kanne dan akibat-akibatnya. Di buku 11, kita temukan keterangan orang-orang Romawi yang memberontak terhadap Roma dan bergabung dengan Hannibal. Kekalahan pasukan Romawi di Kanne pun jadi salah satu penyebab Kapua menerima pasukan Karthago. Kejatuhan Hannibal mulai tampak ketika ia meninggalkan Kapua di buku 12. Ia gagal mempertahankan Kapua dari Roma, dan tak bisa merebut Roma .

Buku 13 adalah bagian yang menampilkan kisah orang-orang Romawi yang berhasil merebut kembali Kapua. Di buku ini juga ada adegan yang mengingatkan kita pada kisah Aeneas: kematian ayah dan paman Scipio di Hispania membuatnya turun ke Hades untuk bertemu para leluhurnya. Di antara episode Scipio di Hades inilah kita temukan ramalan seorang Sibylla yang menyatakan kematian Hannibal. Buku 14 mengisahkan kemenangan Marcellus di Sisilia. Serangkaian pertempuran menghiasi buku 15, termasuk kekalahan dua konsul Roma, Marcellus dan Crispinus. Marcellus bahkan dibunuh. Di buku 16, pasukan Karthago mulai dipukul mundur dari Hispania. Perang Punisia Kedua ditutup dengan Pertempuran Zama di buku 17. Pasukan Karthago mengalami kekalahan hebat. Hannibal yang ingin bertarung sampai mati diloloskan Iuno dari medan pertempuran. Pasukan Karthago yang putus asa dan takut menjadi kian kalut ketika tak menemukan sosok Hannibal di medan pertempuran. Sebagian berpikir Hannibal tewas, yang lain berpikir bahwa Hannibal meninggalkan pertempuran karena putus asa mengetahui kekalahan telah menanti. Roma memang menang, tetapi pada akhirnya, Punica adalah kisah tentang Hannibal. Di akhir buku 17, Hannibal memohon kepada Iupiter untuk tidak menghapus namanya, pencapaian-pencapaiannya, termasuk kesuksesannya di Kanne dari ingatan orang-orang. Buku ini ditutup dengan perginya Hannibal dari tanah Italia. Nasib Hannibal di akhir Punica tidak lepas dari perundingan antara Iuno dan Iupiter.

Dalam epigramnya yang lain, epigram 7.63, Martialis memuji Punica sebagai karya yang tak lekang oleh waktu (numquam moritura volumina) dan layak disematkan toga Latin (Latia carmina digna toga). Silius, dalam puisi tersebut, disapa sebagai Silius yang abadi (perpetuus Silius). Silius adalah penggemar Vergilius, dan sejak pembuka Punica ia menunjukkan secara jelas rujukan kisahnya dan penghormatan terhadap karya idolanya.

Ada “arma” (baris pertama) dan “viros” (baris kelima) di pembuka Punica, yang dengan pasti merujuk “arma virumque cano” (kumadahkan kisah tentang perang dan manusia), klausa yang menjadi pembuka Aeneis sekaligus yang meletakkan Vergilius dan epiknya dalam posisi rival. “Virum” (tunggal) dalam Aeneis diubah menjadi “viros” (jamak) dalam Punica, mengindikasikan penambahan jumlah tokoh pahlawan dari tradisi epik yang dilanjutkan oleh Silius. Perang Punisia Kedua memang melibatkan banyak tokoh historis penting, baik dari pihak Karthago maupun dari pihak Romawi. Tokoh-tokoh utama dalam Punica seperti Marcellus, Fabius Maximus, Scipio Africanus Maior dan Hannibal adalah tokoh-tokoh historis, yang juga dikenal para bangsawan Romawi melalui pendidikan retorika. Kita ingat, Silius Italicus adalah juga seorang orator. Lihat juga kata “Aeneadum” di baris kedua, kata yang mengindikasikan pengakuan Silius atas hubungan epiknya dengan tradisi Vergilian. Lucretius memang menggunakan kata “Aaeneadum” sebagai pembuka puisi De Rerum Natura, tetapi kata tersebut digunakan Silius untuk merujuk tradisi epik, bukan tradisi didaktik puisi Lucretius.

Punica adalah epik historis, meski tetap ditulis dalam deklinasi berkala “praesens”, seperti epik-epik lain dalam tradisi Romawi. Tema historis membedakan Silius Italicus dari para penulis epik sezaman yang menulis epik bertema mitologis. Dua penulis epik lain dari zaman Silius Italicus adalah Statius dan Valerius Flaccus. Statius menulis dua epik mitologis berjudul Thebais dan Achilleis. Epik mitologis lain berjudul Argonautica ditulis oleh Valerius Flaccus. Meski banyak jejak Vergilian bisa kita temukan dalam Punica, tema perang historisnya juga menampakkan pengaruh De Bello Civili karya Lucanus, epik historis tentang perang sipil pada tahun 48 SM antara Iulius Caesar dan Senat Roma yang dipimpin oleh Pompeius Magnus. “Bella”, kata pertama dalam epik De Bello Civili, digunakan Silius di baris keempat pembuka Punica. Selain kaya dari sisi historis, Punica juga dengan baik menampilkan penguasaan si penyair terhadap aspek etnografis dan geografis dari kelompok-kelompok dan daerah-daerah yang dibahas di dalam epik. Kita perlu ingat, sebagai orang Romawi, Silius Italicus menulis tentang berbagai bangsa yang bertempur dalam Perang Punisia Kedua, terutama orang-orang Karthago, musuh utama bangsa Romawi.(*)

Catatan: Esai ini adalah penggalan dari esai lebih panjang dalam buku terbaru Mario F. Lawi, Rumah Kertas, Toko Buku, dan Punica (Penerbit Dusun Flobamora, Juni 2021)


Baca juga:
Sebelum Alfabet – Esai Italo Calvino
Menyerbu Perpustakaan – Esai Javier Marías

Komentar Anda?