Menu
Menu

Luan tak segera menjawab. Tangan kanannya mengelus-elus lengan kirinya, seperti menyesal membiarkan Soni melihat tato itu. Pria Besar Bertato Mawar.


Oleh: Hilmi Faiq |

Wartawan. Menulis sajak dan cerpen. Karya-karyanya dimuat di berbagai media. Cerpen-cerpennya antara lain terangkum dalam buku Pesan dari Tanah, terbit pada Desember 2020, serta Pemburu Anak yang segera terbit pada akhir Mei 2021. Pria Besar Bertato Mawar.


Badannya tinggi besar. Jalannya sedikit membungkuk. Bila duduk di kerumuman, dua orang terpaksa pindah tempat biar dia muat. Dua minggu sekali harus ganti sandal jepit karena tak kuat menahan bebannya yang setara beras sekarung goni. Orang memanggilnya Luan. Nama panjangnya Lolangluan Batis.

“Sini, tambah lagi sopinya,” kata Luan dengan suara baritonnya yang serak, sembari menarik botol sopi dari tangan Soni Luarmasse.

Soni segera melonggarkan jemari, tak berani melawan, meskipun itu sopi terakhir yang semestinya jadi haknya. Baginya, melawan Luan ibarat becak menentang truk. Soni mewakili becak. Saat mereka sama-sama berdiri, Soni hanya sepundak Luan. Luan bisa jadi merupakan sisa-sisa orang Kepulauan Tanimbar lama yang gigantis. Konon postur tubuh mereka menyusut dari generasi ke generasi lantaran makanan instan minus gizi.

Soni, Mikhael, Alo, dan Nara yang saat itu berkumpul, hafal betul tabiat Luan di kala senja begini. Datang ke Dermaga Omele dan meriung bersama mereka untuk meneguk sopi sambil berkisah tentang apa saja. Entah itu tentang istri mereka yang tak berhenti marah, tentang ikan-ikan yang makin murah harganya, tentang bahan bakar minyak yang selangka mutiara, atau tentang anak-anak yang mengacau di sekolah.

Di awal-awal, cerita mereka runtut dan bisa dipahami. Makin sore, cerita makin tak terarah. Kadang bercampur-baur antara cerita Soni dengan Nara atau Alo yang bercerita ulang kisah Mikhael. Pengaruh sopi sungguh luar biasa, efektif mengaburkan fakta. Adapun Luan akan selalu bercerita hal yang sama: tentang diam. Ketika yang lain berbusa-busa menceritakan peristiwa yang dialami dalam sehari, Luan jenak meminum sopi. Kadang sekadar mengangguk-angguk sebagai tanda takzim belaka.

Luan paling senior di antara mereka, juga selalu pasang badan jika ada masalah, sehingga di antara mereka tak ada yang berani mengusiknya. Soni berdiri membeli sopi lagi. Lalu kembali, berbagi. Entah karena pengaruh sopi atau senja yang hangat, Soni tampak mengubah kebiasaan Luan yang diam itu.

Bu Luan pung tato akang bagus e... Biking akang di mana?” kata Soni sambil menuding lengan kiri Luan dengan jari telunjuknya sementara empat jari lainnya erat menggengam botol sopi.

Luan tak segera menjawab. Tangan kanannya mengelus-elus lengan kirinya, seperti menyesal membiarkan Soni melihat tato itu.

Bu Luan cerita akang,” rengek Soni seperti bocah meminta balon.

“Dulu ini gambar mawar kuncup. Begitu badan saya makin melar, tiba-tiba berubah menjadi mawar mekar,” kata Luan dengan nada serius. Tetapi itu tak urung memicu gelak tawa yang mendengarnya.

Melihat reaksi mereka, Luan melengkungkan bibir mencoba ikut tersenyum. Senyuman ganjil. Dingin dan hambar.

Bentuk tato itu tidak persis gambar mawar mekar. Banyak garis putus-putus akibat lemak yang menekan jaringan ikat kulit sehingga menimbulkan lekukan. Selulit. Garis tato yang semula menyambung utuh, kini tampak terberai.

Sebenarnya Soni tahu belaka cerita di balik tato itu. Mungkin sopi membuat dia lupa atau sengaja memancing Luan agar berbagi cerita. Dulu, Luan seperti mereka, gemar bercerita. Tapi sejak enam tahun lalu, sejak tato itu ada, dia malas berkisah.

*** Pria Besar Bertato Mawar

Luan adalah penjaga parkir Pasar Omele Sifnana, sekitar setengah kilometer dari Dermaga Sifnana. Jika melihat Luan berdiri di pasar, siapa saja akan tenang hatinya meninggalkan sepeda motor berikut kuncinya sebab Luan akan mengejar sampai liang cacing laut jika ada yang berani mencuri kendaraan. Suaranya yang bariton dan serak, cukup menggambarkan itu semua.

Dia menjadi penjaga parkir sejak lulus sekolah menengah. Selama itu, hampir tidak pernah ada pencurian sepeda maupun sepeda motor. Hanya sekali. Iya hanya sekali, seorang pendatang yang bekerja sebagai penjual ikan mencoba mencuri motor bebek keluaran baru. Di hari pencurian, Luan gagal menangkapnya dan oleh karena itu dia tak bisa tidur. Dia merasa gagal menunaikan tanggung jawab sebagai tukang parkir. Bila tidak segera menangkap pencuri itu, Luan merasa runtuh harga dirinya.

Maka, keesokan harinya sejak terang tanah, tatkala dedaunan masih basah oleh embun, dengan wajah kusut karena kurang tidur, Luan keliling kampung mencari persembunyian si pencuri. Begitu melihat pencuri itu melintas, Luan mencegatnya di tikungan. Luan menarik kerah baju si pencuri dari belakang ketika ia melajukan motor, sehingga badan si pencuri menggantung di udara sementara motornya melaju oleng tanpa pengendara sebelum menabrak batang pohon kelapa.

Peristiwa ini makin membuat warga percaya, Luan adalah simbol keamanan. Dia bukan tipe tukang parkir yang hanya datang meminta uang ketika kita hendak pulang.

*** Pria Besar Bertato Mawar

Luan menikah dengan Shein Fambrene dari Selaru, salah satu pulau kecil dari gugusan Kepulauan Tanimbar. Tiga tahun setelah akad nikah, mereka dikarunai seorang putri bermata jernih bundar, dan kelak, geligi rapi seperti ibunya. Rambutnya yang keriting halus mengingatkan Luan kepada mendiang ibu kandungnya. Kepada istrinya tercinta, Luan mengusulkan nama Duan Batis untuk bayi mungilnya. Duan berarti tuan, orang yang melindungi. Luan ingin anaknya berguna bagi banyak orang, selalu melindungi demi kebaikan. Nama itu juga terinspirasi dari pekerjaannya sendiri, yang sehari-hari melindungi kendaraan warga sepenuh hati.

Terhadap Duan, Luan tentu saja akan menjaganya dengan sepenuh hati dan tenaga, jangan sampai ada yang menyakitinya. Dia pernah menyiram minyak tanah ke segala lubang di sekeliling rumah lantaran seekor semut mengigit paha Duan hingga putri kecilnya itu menangis.

Duan tumbuh sebagaimana anak-anak pada umumnya meski Luan kadang merasa anak tunggalnya tumbuh terlampau cepat. Apalagi setelah dia mendengar selentingan bahwa akan ada yang melamarnya untuk dijadikan istri. Sebagai seorang ayah, perasaan Luan seperti nelayan menarik sauh di tengah badai. Berat sekali melepas Duan.

Namun, dia paham bahwa hidup terus berjalan dan Duan yang menginjak dua puluhan tahun telah mampu menentukan jalan hidupnya: menikah dengan Niko Sarbunan, buruh angkut di Pelabuhan Saumlaki.

Duan dan Niko hidup bahagia. Sayangnya tidak lama. Tersiar kabar, Niko gemar mabuk sopi. Tidak sore. Tidak siang. Tidak malam. Bahkan di pagi hari pun dia sering tergeletak teler di ruang tamu. Kadang meringkuk udang di teras rumah. Bagi Niko, sopi lebih nikmat daripada madu. Duan paham belaka kalau Niko, seperti halnya banyak pria di kampungnya, doyan sopi. Tapi dia tak menyangka akan separah ini.

Pernah Duan mengingatkan bahwa tak baik terlalu sering minum sopi. Mungkin kurang pas cara atau waktunya, tetapi memang Duan tak pernah tahu cara yang pas berbicara dengan orang mabuk. Akibatnya, Duan dipukul Niko meninggalkan lebam di mata kanan dan sesak di dada. Sejak saat itu Duan tak pernah mendapatkan lagi kelembutan dari Niko, sementara Niko merasa istrinya terlalu mengatur sehingga perlu mendapat pelajaran.

Di kampung selebar Sifnana, Kecamatan Tanimbar Selatan, kabar seperti ini seperti aroma ikan asin digoreng, cepat menyebar. Luan meradang sebab anak yang dia sayang dihajar orang. Tetapi dia cukup bisa menahan diri dengan berlindung di balik kepercayaan bahwa mungkin itu hanya kesalahpahaman yang wajar belaka sebagai bumbu berumah tangga. Lagi pula, di Kepulauan Tanimbar ini, mana ada suami yang tak pernah memukul istrinya? Mungkin hanya Luan semata.

*** Pria Besar Bertato Mawar

Tengah hari itu matahari sedang bermurah menyiram cahaya. Saking murahnya sampai terasa seperti sedang marah. Panasnya menembus batok kepala. Topi kain tak mampu lagi menahan panas menembus kepala Luan. Berdiri terlalu lama di depan pasar membuatnya seperti diguyur hawa sauna. Kunang-kunang mulai mengerubuti pandangannya. Bulir-bulir peluh tumbuh pelan di wajah, sesekali dia menyeka dengan lengan panjang kausnya.

Mumpung parkiran tidak begitu ramai, Luan memutuskan pulang sejenak ke rumah sekalian makan siang.

“Nitip jaga kendaraan ini. Aku ada perlu sebentar di rumah,” pesan Luan kepada pedagang kelontong di samping pintu masuk pasar yang tak pernah keberatan ketika Luan memberi beban serupa.

Sesampainya di rumah, Luan membuka topi dan baju lalu selonjor di dipan di teras rumah berbantal kaus berisi pakaian bekas sembari menikmati semilir angin dari pohon jambu. Kesejukan menjalari tubuhnya. Dia meninabobokan diri dengan membayangkan menimang cucu dari Duan yang kini hamil tiga bulan.

Perlahan-lahan Luan keluar dari alam sadar dan masuk ke dunia mimpi. Kelelahan bekerja di bawah terik matahari tadi membantunya cepat pulas melewati masa ambang kesadaran. Dia bermimpi menggendong sembari mengayun seorang bocah berpipi apel dan bermata bundar jernih. Pada ayunan kesekian, terdengar suara istrinya: “Pak, bangun. Duan dipukul lagi. Cepat bantu dia.” Luan diam saja karena meangganggap itu bagian dari mimpinya. Juga karena terlalu lelah.

“Bangun! Anakmu dipukuli suaminya,” kata Shein sambil mengguncang tubuh Luan dengan agak kasar. Shein menangis khawatir terhadap anaknya. Luan tergeragap mendengar isak istrinya. Ia duduk lalu mengusap matanya yang memerah karena belum jenak tidur. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

“Diapain lagi dia?” tanya Luan.

“Dipaksa manjat kelapa di depan rumah.”

“Kurang ajar!”

Seketika seluruh kantuk Luan hilang. Dia membayangkan anaknya dengan perut membuncit melata pada pohon kelapa. Terlalu berbahaya untuk perempuan hamil muda. Bisa-bisa Luan gagal menimang cucu. Bukan hanya itu. Ini juga soal harga diri jika aku diam saja anakku disiksa. Begitu pikiran yang memenuhi otak Luan.
Dengan bertelanjang dada dan langkah-langkah kasar takut kehabisan waktu, Luan pergi ke rumah anaknnya. Wajahnya gusar, tangannya terkepal. Warga yang berpapasan di jalan hanya menatap penuh tanya, tak berani menyapa karena takut diamuk Luan. Seumur-umur, belum pernah warga Kepulauan Tanimbar melihat Luan yang sabar itu seperti ini. Berarti masalah sudah sangat gawat.

Sesampainya di halaman rumah anaknya, Luan melihat Niko berdiri dengan tangan kiri berkacak pinggang sembari mendongak ke atas. Tangan kanannya menggengam botol sopi yang setengah kosong. Sambil cekikikan, Niko menunjuk-nunjuk Duan yang susah payah memanjat batang kelapa.

“Duan, ose stop. Turung!” Teriak Luan meminta anaknya turun.

Duan setengah kaget dan menoleh ke sumber suara. Pelan-pelan dia turun.

“Kalau ose turung, beta pukul ose!” Niko berteriak mengancam Duan.

Tiba-tiba Luan merasa ada hawa panas yang merayapi kaki lalu naik sampai kepala ketika mendengar ucapan Niko. Degup jantungnya berlarian. Napasnya pendek-pendek dan tanpa dia sadari, kepalan tangan kanannya menguat. Sejak kecil, Duan dia jaga dengan sepenuh hati hingga semut pun takut mengigit; ini ada kecoa tukang mabuk yang semestinya melindungi anak semata wayangnya, malah menyiksa dan main pukul.

Dalam hitungan detik, tangan kiri Luan mencekik leher Niko. Niko kaget dan refleks memukul kepala Luan dengan botol sopi. Ada yang meleleh dan beraroma amis dari pelipis kiri Luan. Cuping hidung Luan melebar menahan marah. Tak tahan juga. Dengan gerakan yang tak begitu terukur, Luan melesapkan tinju kanannya ke rahang Niko. Tangannya yang besar itu, menggeser rahang bawah Niko dari posisi semula. Duan menjanda, Luan masuk penjara.

“Bebas dari penjara, tato ini aku buat. Untuk Duan, anakku.” (*)

Pria Besar Bertato Mawar

Catatan: 
1. Bu Luan pung tato akang bagus ee. Biking akang di mana?= Bapak Luan, punya tato bagus. Bikin di mana itu?
2. Bu Luan cerita akang dolo= Bapak Luan, ayo cerita sedikit dulu,”
3. Panggilan “Bu” lumrah dipakai warga Saumlaki untuk menyebut sapaan “Bapak”; Ose = kau/kamu; Beta = Saya.


Ilustrasi: Drip Painting Light My Fire by Ole Hedeager

Baca juga:
Biru | Cerpen Naryati
Pengincar Perempuan Tuantu | Cerpen Feby Indirani

Komentar Anda?