Menu
Menu

Sebuah bangku/ dan seorang laki-laki/ sama-sama sendiri. piknik


Oleh: Tjak S. Parlan | piknik

Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Menulis puisi, cerita pendek, novel, juga sejumlah esai perjalanan. Puisi-puisinya telah disiarkan di berbagai media massa—cetak maupun elektronik—dan buku antologi bersama. Bukunya yang sudah terbit: Kota yang Berumur Panjang (Kumpulan Cerpen; Basabasi, 2017), Berlabuh di Bumi Sikerei (Feature Perjalanan; Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2019), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Kumpulan Cerpen; Rua Aksara, 2020). Selain menulis, sehari-harinya mengerjakan ‘perwajahan’ untuk sejumlah buku dan sejumlah penerbitan. Saat ini mukim di Ampenan, Nusa Tenggara Barat. 


Merapat ke Tuapeijat

Kapal merapat ke teluk,
dan laut lebih tenang dari amuk
badai jalur penyeberangan.

Ke seberang ingatan—sebelum pulau,
hutan bakau membujur hijau.

Tak ada yang bisa setenang itu,
seolah siap dengan setiap kemungkinan
—benteng bagi ramalan cuaca, getar bencana,
gentar ancaman di mana-mana.

Tapi teluk akan lebih ramai,
meski selat tak pernah bisa meredam badai.

Kapal-kapal kayu, kapal cepat, sampan
dan pompong nelayan, orang-orang datang
dan pergi dan di antaranya akan terus mengingat:
Tuapeijat, Tuapeijat—tempat singgah
bahkan bagi yang tersesat.

Kapal merapat ke teluk,
dan hati lebih tenang dari segala kecamuk.

Tak ada yang menginginkan bencana
pada aroma-warna bakau Sipora,
pada ikan-ikan berwarna agar-agar
yang saling bertukar kabar di bibir bandar.

Ampenan, 20 Juli 2020

. piknik

Ke Siberut Selatan (1)

Maileppet, kerumunan kecil yang menyambutmu,
selepas kapal kayu bersandar
dan kakimu menjejak di beton kasar bandar.

Kau pandang sekali lagi—dan kini lebih dekat—
bujur hutan bakau memanjang ke pulau,
pagar keramat bagi masa-masa darurat.

Seorang pemuda bertato mengajarimu mengucap
anai leu ita, anai leu ita—sapaan khas perjumpaan,
kini lebih sering kau dengar di Siberut Selatan.

Seorang tukang ojek segera membawamu ke Muara,
kota yang berusaha terjaga, tempat engkau tahu
bahwa penginapan dan rumah makan tak pernah sediakan
menu dari olahan sagu.

Sagu masih jauh di hulu, seperti rumah yang belum bisa
kau temui di kota asalmu.

Esoknya, kau mesti berjalan ke dekat pastoran,
menunggu di bivak sembari makan nasi padang bungkusan.
Satu-dua pompong akan melintas—perahu panjang itu
mungkin baru saja pergi atau kembali dari sebuah barasi.

Tapi sebelum ada yang menepi, kau akan tetap di sini.
Sembari membayangkan seorang pastor
yang mungkin pernah menunggu, kabar-kabar baik
dalam kunjungan-kunjungan stasi—
kunjungan-kunjungan rohani.

Ampenan, 19 Maret 2021

.

Pagi Mekar di Ugai

Pagi mekar pada bunga-bunga
yang tak kukenali namanya.

Tapi aku tahu,
perdu puring dan rumpun tebu
mengingatkanku pada kampung masa kecil.

Tapi ini Ugai—barasi kecil di hulu.

Seratus meter dari uma yang dibangun kembali,
sejumlah ingatan dari para sikerei:
bunga-bunga surak, kaki-kaki mengentak
dalam turuk laggai.

Tapi ini hanya ingatan, kataku.

Dan pagi tetap bermekaran
pada peluh Aman Lari yang berbau sagu,
pada orang-orang yang menikmati tembakau
di bibir sapau
—yang sesekali merenungi
hutan-hutan yang dihabisi,
juga kerabat se-uma yang pernah
datang dan pergi.

Ampenan, 9 Agustus 2020

.

Piknik

1)
Kami berada di taman
memandang ke depan.
Bersiap menghadapi apa saja
yang ada di depan.

Sebuah bangku
dan seorang laki-laki
sama-sama sendiri.

Di bangku yang lain
dua perempuan berpasangan
dalam obrolan.

Di bawah rindang mahoni
sebuah keluarga tengah menunduk.
Sibuk membicarakan apa saja
dengan siapa saja yang sedang tak ada
di taman.

2)
Laki-laki itu mengangkat ponselnya
menyebut sesuatu tentang waktu dan angka:
pukul empat pertemuan
atau perpisahan?

Dua perempuan itu mulai bereaksi,
beraksi dua-tiga selfi:
sore berlatar cerah, pohon-pohon,
dan ayunan.

Seorang perempuan—dalam keluarga
kecil itu—memanggil pelayan
untuk tiga gelas jus stroberi yang kurang disukai:
sementara tak ada pilihan
selain bualan-bualan.

3)
Kami berada di taman,
istriku membuka sebuah tas
yang bisa mengeluarkan buku puisi,
sekotak roti bayi, sebotol susu, dan
sejumlah resep dokter yang batal kami tebus.

Anakku yang baru belajar berjalan,
sedang senang menyentuh rerumputan.

Lalu dalam satu kesempatan
dari balik ponsel istriku kuabadikan
sebagai piknik.

Ampenan, 2016-2020

. piknik

Kau Renung Laut

Kigo Bhanu Samarkand

Kau renung laut
yang biru agar-agar.

Cinta kita yang jembar,
anakku.

Tempat bagi kesedihan-kesedihan
Tempat bagi kegembiraan-kegembiraan
berlayar menuju bandar.

Dan mimpimu yang lebih jauh dan panjang
dari gelombang tenang,
adalah mimpi yang terus kita perjuangkan.

Kau renung laut
yang kerap menawanmu,
anakku.

Ampenan, 14 November 2020

.

Musim yang Baik

Ini musim yang baik
untuk menulis apa saja di sekitar kita.
Barangkali tentang pertanyaan-pertanyaan sederhana,
peristiwa yang terjadi dalam novel-novel metropop
—sudah berapa kata kau kumpulkan hari ini?

Di luar kamar, hujan turun seharian.
Seseorang mungkin telah menyeberang jalan,
mengembangkan payung dan tergesa-gesa menuju kios kecil
hanya untuk membeli lilin dan gula secukupnya.

Anakmu bermain sendirian di beranda
dan hujan telah membikinkan kolam kecil untuknya.
Sebuah perahu kertas yang kau bangun dengan tanganmu
yang kerap kesemutan,
terdampar di sisi lain halaman.

Istrimu menyeduhkan kopi,
lambung dan dadamu sudah terbiasa dengan segala ironi.
Lalu pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang peristiwa yang terjadi
dalam novel-novel metropop, menggema dalam kepalamu
—sudah berapa kata kau kumpulkan hari ini?

Kamu sesap kopimu yang hangat,
tetapi sore tetap saja basah dan berwarna abu.
Dan kamu sudah terbiasa dengan sesuatu
yang tiba-tiba merembes dari sudut matamu.

Ampenan, 24 November 2020


Ilustrasi: Photo by Renda Eko Riyadi from Pexels

Baca juga:
Puisi-Puisi M. Aan Mansyur – Cara Lain Membaca Sajak Cinta
Puisi-Puisi Ama Achmad – Mompopot
Puisi F. Aziz Manna – Golek

Komentar Anda?