Menu
Menu

Pada peringatan kesekian reformasi, kau bisa mengingat apa saja dan bisa saja tetap tidak mengerti apa-apa. Juga, tidak mengerti: mengapa orang-orang hilang dari sebuah cerita?


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Tinggal di Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Kumpulan cerpennya berjudul Perjalanan Mencari Ayam (2018).


Mengapa orang-orang hilang dari sebuah cerita?

1)

Angin mati di tengah hutan. Di tangan Biru dan Gerhana. Sebuah kematian yang tidak jelas alasannya. Hendak (dipakai) menyelamatkan Dara atau agar Angin lekas hilang saja dari cerita?

Mereka adalah tokoh-tokoh dalam Pendekar Tongkat Emas (2014), sebuah film arahan Ifa Isfansyah. Terlepas bahwa dengan memerankan Angin, Aria Kusumah berhasil meraih penghargaan di beberapa festival film, karakter itu terasa agak kurang fungsional dalam film. Barangkali karena itulah Angin ‘dihilangkan’ ketika cerita tiba di pertengahan.

Saya memikirkan itu ketika mulai menulis Jangka edisi Mei 2021 ini; pikiran tentang Mei 1998 tiba-tiba saja datang—bagaimana mungkin orang-orang yang dulu kau kenal tiba-tiba kau hilangkan/menghilangkanmu dari cerita?

Angin dan Dara harus mencari seseorang yang mampu mengajarkan jurus pemungkas tongkat emas. Biru dan Gerhana, yang ingin merebut tongkat emas, mengejar mereka dan kehilangan jejak di tengah hutan. Angin dan Dara selamat; mereka bersembunyi di ketinggian pohon. Semestinya, jika Angin bersabar (baca: jika karakter itu fungsional) dia bersabar saja di persembunyian itu sebab Biru dan Gerhana sudah menunjukkan gelagat akan berlalu; artinya Angin dan Dara akan selamat. Tetapi tidak. Angin malah menotok Dara agar diam saja di persembunyian, lalu turun dan menantang Biru dan Gerhana. Niatnya adalah menyelamatkan Dara dan tongkat emas.

Dapat ditebak, sebab pertarungan itu tidak imbang, Angin yang masih kecil itu mati di tangan Biru dan Gerhana. Dan cerita berlanjut sebagaimana kisah-kisah serupa pada umumnya; Dara, dibantu Elang yang adalah tokoh penyelamat dalam cerita, berhasil mempertahankan tongkat emas yang diwariskan Cempaka. Lalu menyisakan pertanyaan: mengapa Angin dihilangkan begitu saja dari cerita? Barangkali itu adalah sebuah versi yang lebih lembut dari pertanyaan lain: mengapa Angin kau paksakan ada dalam cerita?

2)

Saya bertugas memandu talk show sekitar tahun 2003. Hasnan Singodimayan baru saja meluncurkan novelnya yang berjudul Kerudung Santet Gandrung dan beliau menjadi tamu saya di Radio MAS FM Malang.

Beberapa tokoh, yang saya nikmati sekali perannya dalam novel itu, tiba-tiba pindah kota; dan oleh karenanya tidak ada lagi perannya sampai akhir cerita: hilang. Kepada Pak Hasnan saya ajukan (semacam) protes tentang itu—seseorang dihilangkan dari cerita. Supaya (akhir) cerita yang saya ‘bayangkan’ dapat tercapai. Begitu kira-kira kalimat-kalimat panjang jawabannya, saya simpulkan.

Saya ingat, usai talk show itu saya memintanya menandatangani Kerudung Santet Gandrung dengan nama Yuliana, saya punya mama punya nama, dibubuhkan sebagai alamat tujuan. Saya senang sekali detik itu tetapi menjadi tidak senang beberapa jam setelahnya sebab merasa bahwa seseorang telah ‘menghilangkan’ seseorang atau sesuatu dari cerita agar tujuannya tercapai.

Belasan tahun setelahnya saya mengalami perasaan itu lagi ketika menonton Pendekar Tongkat Emas; mengapa kau menciptakan Angin jika kemudian tidak merasa bahwa perannya cukup penting dalam seluruh cerita?

3)

Sekarang bulan Mei. Beberapa orang, di akhir 90-an, hilang begitu saja dari cerita kita sebagai bangsa. Untuk apa? Kau ingat penggalan puisi Chairil Anwar:
… // Kami cuma tulang-tulang berserakan/ Tapi adalah kepunyaanmu/ Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan// ... (Karawang-Bekasi).

Pada peringatan kesekian reformasi, kau bisa mengingat apa saja dan bisa saja tetap tidak mengerti apa-apa, juga barangkali tetap tidak mengerti: mengapa orang-orang hilang dari sebuah cerita?

4)

Ketika wabah pes melanda Oran, seorang pendeta mati sebelum sebelum seluruh cerita selesai sementara setiap orang lainnya di kota itu bersikap sesuai dengan pemahaman akan eksistensi hidup mereka masing-masing. Ah, iya. Itu ada di novel Sampar, salah satu karya yang paling dibicarakan kalau orang-orang menyebut nama Albert Camus.

Atas alasan itukah kita menghilangkan orang-orang dari sebuah cerita—sebab mereka tidak ada di panggung keberhasilan yang kita gambar di kepala?

Lalu mengapa kau menciptakan Angin jika dia tidak fungsional; mengapa kau menciptakan tokoh-tokoh yang kemudian mati sia-sia? Bukankah lebih baik mengabaikannya (baca: membiarkannya hidup dalam cerita orang lain) daripada membunuhnya? Cerita orang-orang yang mencintai mereka, misalnya; kau biarkan mereka hidup sebab hanya itu yang kau bisa: kau bukan siapa-siapa.

Ruteng, 21 Mei 2021


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Pedang Terhebat dari Pedang-Pedang Terhebat
Puisi-Puisi Wawan Kurniawan – Di Museum Kehilangan

Komentar Anda?