Menu
Menu

Cerpen “Jam Dapur” diterjemahkan oleh Agnes Bemoe dari versi bahasa Jerman berjudul “Die Küchenuhr”.


Oleh: Agnes Bemoe |

Penulis cerita anak Indonesia kelahiran Surabaya. Menulis sejak 2010, penulis yang berdomisili di Pekanbaru, Riau, ini telah menerbitkan sekitar 20-an buku. Buku-bukunya bercerita tentang tema yang luas, mulai dari budaya dan alam Indonesia (Nino, Si Petualang Cilik (BIP Gramedia, 2013), Hujan! Hujan! Hujaaan! (Gramedia Pustaka Utama, 2015), Ring of Fire, (Gramedia Pustaka Utama, 2017)); pengembangan diri anak (Bo dkk. di Peternakan Kakek Ars (BIP Gramedia, 2014), Kisah Seru dari Dinoland (Gramedia Pustaka Utama, 2017)); sampai dengan keberagaman dan minoritas (Aubrey dan The Three Musketeers (Penerbit Kiddo, 2013), Kopral Jono (Gramedia Pustaka Utama, 2016)).


Dari kejauhan, mereka sudah melihatnya. Tak sulit mengenalinya. Wajahnya terlihat tua, tetapi dari cara berjalannya, mereka tahu dia masih berusia dua puluhan. Pemuda itu–dengan wajah tuanya–duduk di sebuah bangku persis di depan mereka. Kemudian, ia menunjukkan kepada mereka sebuah benda di tangannya.

Ini jam dapur kami, katanya. Sebarisan orang yang sedang duduk di bangku bermandikan matahari itu langsung menatapnya. Ya, masih bisa kutemukan jam ini. Jam ini tertinggal di dapur.

Pemuda itu menyorongkan sebuah jam dapur bundar berwarna putih porselen, lalu dengan jemarinya, ia mengusap angka-angka berwarna biru di jam tersebut.

Saya tahu, jam ini memang sudah tak ada harganya lagi, katanya getir. Jam ini juga tidak bagus-bagus amat. Lebih mirip piring bercat putih. Tapi, angka-angka birunya ini luar biasa, menurut saya. Jarum penunjuk angkanya memang cuma terbuat dari logam. Dan, ya, sudah tak berfungsi lagi. Tidak. Tak diragukan lagi, jam ini sudah rusak. Biarpun begitu, jam ini masih kelihatan seperti biasanya. Bahkan ketika ia sudah tidak berfungsi lagi. Ujung jemarinya menelusuri tepian jam itu dengan sangat berhati-hati. Lalu, pelan ia berkata, jam ini tertinggal di dapur.

Orang-orang yang duduk di bangku bermandikan matahari itu tidak lagi melihat ke arahnya. Seorang pria tampak memandangi sepatunya sendiri sementara seorang ibu muda melihat ke kereta bayinya.

Lalu seseorang berkata:

Kau kehilangan semuanya, ya?

Ya, ya, sahutnya ringan, lenyap semuanya! Hanya ini yang tersisa. Lalu ia mengangkat jam itu tinggi-tinggi seolah-olah orang-orang di sekitarnya tidak bisa melihatnya.

Tapi, jam itu kan sudah tak berfungsi lagi, kata si ibu muda.

Ya, jam ini memang sudah rusak, saya tahu. Tapi, selebihnya, dia tetap kelihatan seperti biasanya: putih dan biru. Dan sekali lagi ia menunjuk jam dindingnya itu. Dan yang paling hebat adalah, pemuda berwajah tua itu melanjutkan dengan penuh semangat, saya belum ceritakan kepada Bapak-Ibu semua. Hebatnya lagi adalah: coba pikirkan, jam ini berhenti tepat pukul setengah tiga. Coba pikirkan, tepat pukul setengah tiga.

Pasti rumahmu terkena bom pada jam setengah tiga, kata seorang laki-laki sambil menyorongkan bibir bawahnya. Sudah sering saya dengar tentang hal ini. Kalau ada bom, jam langsung berhenti. Ini karena tekanan ledakannya.

Pemuda itu memandangi jamnya sambil menggelengkan kepalanya dengan gaya seolah ia memahami ketidakmengertian lawan bicaranya. Tidak, Pak, tidak. Bapak salah. Tak ada hubungannya dengan bom. Jangan selalu bicara tentang bom, Pak. Tidak. Pada jam setengah tiga ada hal lain yang terjadi, hanya saja Bapak tidak tahu. Yang lucu, jam ini berhenti pada pukul setengah tiga. Dan bukan pada pukul empat seperempat atau pukul tujuh. Karena pada pukul setengah tiga saya selalu baru tiba di rumah. Malam, maksud saya. Hampir selalu pada pukul setengah tiga. Lucu memang.

Ia melihat ke orang-orang di sekelilingnya tapi mereka sudah memalingkan wajah mereka darinya. Ia tak menemukan lagi tatapan orang-orang itu. Ia lalu mengangguk pada jam dindingnya: Tentu saja saya kelaparan, ‘kan? Jadi saya selalu langsung ke dapur. Biasanya itu hampir jam setengah tiga. Lalu, ibu muncul. Saya selalu berusaha membuka pintu pelan-pelan tapi ibu selalu bisa mendengarnya. Dan, setiap kali saya sedang mencari sesuatu untuk dimakan di kegelapan dapur, lampu tiba-tiba menyala. Lalu ibu berdiri di sana dengan kardigan dan syal merahnya. Bertelanjang kaki. Selalu bertelanjang kaki. Di atas lantai keramik rumah kami. Dan ibu selalu memicingkan matanya karena sinar lampu. Karena ibu sebenarnya sudah tertidur. Hari sudah malam.

Terlambat lagi, kata ibu. Ibu tak pernah bicara banyak. Hanya: terlambat lagi. Lalu ibu menghangatkan makan malam dan menunggui saya makan. Ibu selalu menggosok-gosokkan kakinya karena lantai dapur kami sangat dingin. Ibu tak pernah memakai sepatunya di malam hari. Dan ia duduk menemani saya sampai saya selesai makan. Dan kemudian saya mendengarnya masih membereskan piring ketika saya mematikan lampu di kamar saya. Selalu seperti itu setiap malam. Dan biasanya selalu pada pukul setengah tiga. Saya kira memang seperti itulah seharusnya, ibu membuatkan saya makan malam pada pukul setengah tiga dini hari. Saya merasa itu sudah seharusnya. Ibu selalu melakukan hal yang sama setiap malam. Dan ibu tak pernah berkata banyak, hanya: terlambat lagi. Itulah yang selalu ibu katakan. Dan saya pikir hal ini akan berlangsung seperti ini terus sampai selamanya. Seperti sudah jadi kebiasaan buat saya. Inilah kehidupan saya. Selalu seperti ini.

Untuk sejenak hanya keheningan yang ada di bangku tersebut. Lalu, pemuda itu berkata lirih: Sekarang, bagaimana? Namun, ia tak menemukan wajah pendengarnya. Lalu, dia berkata pelan pada jam bulat berwarna putih dan biru itu: Sekarang, saya tahu bahwa begitulah surga. Surga yang sebenar-benarnya.

Sunyi di bangku itu.

Lalu seorang ibu bertanya: Keluargamu bagaimana?

Dia tersenyum kecil: Maksud Ibu, orangtuaku? Ya, mereka juga lenyap. Semuanya habis. Semuanya, bayangkan. Semuanya lenyap.

Dia melemparkan senyuman canggung ke setiap orang di bangku itu. Namun, mereka tidak melihat ke arahnya.

Dia mengambil jam dindingnya lagi dan tertawa. Dia tertawa: hanya jam ini yang ada. Dia tertinggal di dapur. Dan bagian paling indah adalah jam ini berhenti tepat pukul setengah tiga. Tepat pukul setengah tiga. Lalu dia tak berkata apa-apa lagi. Dia –dengan  wajahnya yang sangat tua.

Pria yang duduk persis di sebelahnya memandangi sepatunya. Namun, dia tidak melihat ke sepatunya itu. Ia tak dapat menghapus dari pikirannya kata “surga”. (*)

***

Tentang WOLFGANG BORCHERT (Hamburg, Jerman 20 Mei 1921 – 20 November 1947)

Wolfgang Borchert adalah penulis dan dramawan Jerman yang karyanya sangat dipengaruhi oleh Perang Dunia Kedua. Karya-karya Borchert merupakan contoh umum gerakan Trümmerliteratur (gerakan yang mengangkat kisah-kisah prajurit atau tahanan perang di Jerman pasca-Perang Dunia II. Yang khas dari gerakan ini adalah penggunaan bahasa yang pendek dan to the point sebagai bentuk perlawanan atas digunakannya bahasa Jerman yang rumit sebagai propaganda dalam peperangan). “Die Küchenuhr” sendiri sebenarnya adalah metafora yang mengingatkan penulisnya pada ibu dan keluarganya yang hilang oleh perang. Penggunaan metafora dan simbol di banyak karya Borchert membuat karyanya dipelajari tidak hanya oleh bidang pendidikan dan sastra tetapi juga psikologi.

Cerpen “Jam Dapur” diterjemahkan oleh Agnes Bemoe dari versi bahasa Jerman berjudul “Die Küchenuhr” dari buku Das Gesamtwerk (Hamburg, Rowohlt Verlag).


Ilustrasi: Photo by Anne McCarthy from Pexels

Baca juga:
Seseorang Telah Mengacak-acak Mawar-Mawar Ini – Cerpen Gabriel García Márquez
Fragmen Željko Stanjević – Berlebihan

Komentar Anda?