Menu
Menu

Nampan dari Surga merupakan terjemahan dari cerpen Yusuf Idris yang berjudul طبلية من السماء.


Oleh: Herpin Nopiandi Khurosan |

Lulus dari Sastra Arab Universitas Padjadjaran dan Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Aktif di Sanggar EKS. Kini mengajar Bahasa dan Sastra Arab di IAIN Salatiga.


Jika engkau melihat seseorang berlari sepanjang jalan Munyat al-Nasr, itu merupakan hal aneh. Jarang sekali ada orang berlari di sana. Lagi pula, mengapa orang harus berlari di wilayah yang tak mengharuskan berlari? Janji pertemuan tidaklah dihitung dengan menit dan detik. Kereta-kereta berjalan selambat matahari. Di sana, selalu ada kereta saat matahari terbit, saat matahari berada di puncaknya, dan saat matahari tenggelam. Tak ada riuh yang memicu untuk bergegas dan bersegera. Segalanya berjalan lambat di sana. Kecepatan dan ketergopohan tak dibutuhkan di sana. Selamanya. Karena keterburu-buruan datang dari setan.

Jika engkau melihat seseorang berlari sepanjang jalan Munyat al-Nasr, itu merupakan hal aneh, seperti ketika engkau mendengar sirine polisi dan kau membayangkan sedang terjadi sesuatu. Sungguh menakjubkan jika sesuatu yang mengejutkan terjadi di daerah yang sepi dan lesu ini.

Pada suatu Jumat, bukan hanya satu orang yang berlari di Munayat al-Nasr, melainkan banyak orang. Meski demikian, tak seorang pun tahu alasannya. Jalanan dan lorong-lorong menjadi ramai, padahal, biasanya, keadaan setelah salat Jumat tenang dan lengang di desa itu, tempat jalanan penuh wangi mawar dari sabun mandi murahan, ketika para perempuan sibuk di dalam rumah menyiapkan makan siang dan para laki-lakinya sibuk berkeliaran di luar hingga waktu makan siang tiba. Di waktu tertentu, ketenangan dan keheningan itu hancur oleh sepasang kaki kekar berbulu yang berlari sepanjang jalan, memecahkan rumah-rumah. Ketika si pelari melintasi kumpulan orang di depan perumahan, ia tak lupa mengucap salam pada mereka. Mereka kemudian menjawab salamnya dan mencoba bertanya mengapa ia berlari. Namun, ketika mereka hendak melakukan itu, lelaki itu telah berlalu. Mereka ingin tahu alasannya, namun tentu saja mereka tak memperolehnya. Hasrat mereka untuk mengetahuinya memaksa mereka untuk mulai berjalan. Salah seorang di antara mereka berseru untuk mempercepat langkah. Akhirnya mereka mendapati diri tengah berlari. Mereka tak luput menyalami kelompok orang yang tengah berdiri di depan rumah-rumah, yang pada gilirannya juga mulai ikut berlari.

Meski dengan sebab yang tak jelas, tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang dengan cepatnya mulai berkumpul. Daerah itu adalah daerah kecil. Namun, di sana ada ribuan orang yang dapat dimintai tolong untuk menunjukkan arah. Kau dapat mengarungi luasnya daerah itu tanpa harus kehabisan napas.

Tak butuh lama bagi kelompok itu untuk berkumpul di lapangan. Tiap orang yang dapat berlari telah sampai. Hanya orang-orang tua berumur yang berserakan di jalanan. Mereka memilih untuk berjalan saja, membiarkan ada jarak antara mereka dengan kaum muda. Meski demikian, mereka tetap bergegas. Berharap tiba sebelum terlambat. Sebelum peristiwa menjadi berita.

Seperti kota-kota lain, Munyat al-Nasr menganggap hari Jumat sebagai hari sial. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di hari Jumat dilihat sebagai kesialan pula. Orang-orang daerah itu berlumur takhayul. Mereka menolak untuk bekerja di hari itu karena takut setiap pekerjaan berakhir dengan kegagalan. Sehingga, mereka menunda semua pekerjaan hingga hari Sabtu tiba. Jika kau bertanya mengapa mereka percaya pada takhayul semacam itu, mereka akan menjawab bahwa hari Jumat merupakan hari sial. Jelas sekali bahwa hal itu bukanlah alasan sesungguhnya. Itu sebuah dalih belaka yang membolehkan para petani untuk menunda pekerjaannya hingga hari Sabtu, sehingga Jumat menjadi hari untuk istirahat. Kata istirahat dipahami dengan jelek oleh para petani. Seolah kata itu adalah hinaan bagi kerasnya kerja mereka. Hanya orang kota yang membutuhkan istirahat, orang-orang yang bekerja di tempat-tempat teduh tetapi tetap kerepotan menjalaninya. Libur mingguan adalah bidah.

Demikianlah, Jumat adalah hari sial. Setiap pekerjan harus ditunda hingga hari Sabtu. Untuk hal itu orang-orang berharap bahwa berlari bisa menghilangkan kesialan. Namun, ketika mereka sampai di lapangan tempat menumbuk padi, mereka tidak menemukan sapi, tak pula mereka lihat huru-hara, atau orang-orang yang saling bunuh satu sama lain. Mereka hanya menemukan Syekh Ali berdiri di tengah-tengah lapangan. Ia sedang marah seraya melepas serbannya. Ia menggenggam sebatang kayu dan mematahkannya dengan kasar. Ketika salah seorang bertanya apa yang sedang terjadi, salah seorang yang baru tiba menjawab: “Syekh hendak mengutuk Tuhan.”

Pada titik itu orang-orang mulai terbahak. Tak dapat diragukan, hal itu merupakan kekonyolan lain Syekh Ali. Nyatanya, ia sendiri merupakan kekonyolan. Kepalanya sebesar kepala keledai sedangkan selain warna merah di pojok matanya, bola matanya bulat lebar seperti mata burung hantu. Suaranya keras dan parau layaknya mesin uap. Ia tak pernah tersenyum. Ketika ia bahagia, tentu saja jarang, ia akan tertawa dengan bergemuruh. Ketika ia tak bahagia, ia akan cemberut. Sebuah kata yang tak ia sukai dapat menjadi bensin bagi kemarahannya, dan ia akan menyambar orang yang mengatakannya. Ia bisa saja menjatuhkan orang tersebut dengan tangannya yang gempal atau dengan tongkatnya. Ia menyukai hal itu, oleh karenanya ia disebut “Sang Komandan”.

Ayah Syekh Ali mengirimnya ke al-Azhar untuk belajar. Suatu hari, gurunya membuat kesalahan dengan menyebutnya “keledai.” Syekh Ali menjawab, “Dan kau kebodohanmu setara enam puluh ekor keledai.” Setelah ia dikeluarkan, ia kembali ke Munyat al-Nasr, tempat ia kemudian menjadi katib dan imam masjid. Suatu waktu, ia keliru salat tiga rakaat. Ketika makmumnya mencoba memperingatkan, ia malah menyumpahi para makmum. Ia pun menyerah menjadi imam dan berhenti pergi ke masjid. Bahkan ia berhenti salat. Ia mulai bermain kartu dan terus begitu hingga ia menjual semua yang ia punya. Ketika  Muhammad Effendi, seorang guru sekolah dasar membuka toko sayuran di wilayah itu, ia menawarkan pada Syekh Ali untuk menjaganya di pagi hari. Syekh Ali menerimanya. Namun, hal itu hanya berlangsung tiga hari. Di hari keempat, ketika Muhammad Effendi berada di toko dan menuangkan kue halwa, Syekh Ali menyadari bahwa Muhammad Effendi telah memasangkan sebongkah logam ke dalam alat timbangan. Ia berkata pada Muhammad Effendi: “Cecunguk, kau.” Tak berselang lama Muhammad Efendi menjawab: “Beraninya kau, Syekh Ali! Tutup mulutmu jika kau tak ingin jadi pengangguran!” Kemudian Syekh melemparkan segenggam kue halwa ke arah Muhammad Efendi. Semenjak hari itu, tak ada orang yang berani memberikan Syekh Ali pekerjaan. Seandainya ada yang berani, hal itu tak akan mengubah keadaan karena Syekh Ali sendiri tak tertarik lagi untuk bekerja.

Selain lekas naik darah, pengangguran, dan sangat dibenci semua orang di desa, Syekh Ali juga buruk rupa. Namun, ternyata, kebanyakan orang-orang desa suka sekali menggodanya. Kesenangan terbesar para penduduk desa adalah duduk mengelilinginya dan memicu kemarahannya. Ketika ia marah dan wajahnya mulai memerah dan tak dapat berkata-kata, sangatlah mustahil bagi orang-orang desa untuk menahan diri tidak tertawa. Mereka terus menjahilinya hingga kemarahannya memuncak dan semakin memuncak. Mereka akan terus tertawa hingga kerumunan akhirnya bubar. Semua orang akan berkata: “Manusia macam apa kamu ini, Syekh Ali?” Mereka kemudian akan meninggalkannya sendiri dengan kemarahannya terhadap Abu Ahmad, yang merupakan sumber kemalangannya. Ia menganggap bahwa Abu Ahmad adalah musuh bebuyutannya. Syekh Ali membicarakan kejelekan Abu Ahmad di mana pun, entah ada ataupun tak ada orang yang berdiri di hadapannya. Biasanya, kemarahannya akan menyembur jika seseorang bertanya kepadanya:

“Apa yang dilakukan Abu Ahmad kepadamu hari ini, Syekh Ali?”

Syekh Ali akan tiba di puncak kemarahannya  karena ia tak suka siapa pun menyinggung kemalangannya ketika berbicara dengannya. Ketika ada orang yang membicarakan kemalangannya, ia akan marah. Pada kenyataannya, di balik bicaranya yang kasar, Syekh Ali merupakan orang yang cukup pemalu. Ia lebih memilih melewatkan beberapa hari tanpa rokok daripada meminta kepada orang-orang desa. Ia selalu membawa jarum dan benang untuk menjahit serban kalau-kalau rusak. Ketika pakaiannya kotor, ia akan pergi mejauh dari orang-orang untuk mencucinya, dan ia akan telanjang hingga pakaiannya kering. Karena itu, serbannya selalu lebih bersih jika dibandingkan dengan serban siapa pun yang ada di desa itu.

Jadi sangatlah wajar orang-orang Munyat al-Nasr tertawa karena kekonyolan baru pada hari Jumat itu. Namun, kali ini, tawa lenyap dan orang-orang bungkam, lidah kelu oleh ketakutan. Kata-kata makian terlampau buruk untuk digunakan, khususnya di daerah yang, seperti daerah lainnya, aman dan tenteram. Masyarakatnya adalah masyarakat yang baik, hanya tahu kerja dan keluarga. Seperti desa-desa lainnya, di sana ada para pencuri kecil yang mencuri tongkol jagung, pencuri besar yang menggerebek kandang-kandang ternak dan menggambilnya, pedagang besar maupun kecil, para perempuan yang senggang, orang-orang jujur, para pendusta, orang-orang sakit, perawan-perawan tua, dan orang-orang saleh. Kau dapat menemukan mereka semua berkumpul di masjid tatkala muazin mengumandangkan azan. Kau tak akan pernah melihat seorang pun dari mereka yang membatalkan puasanya di bulan Ramadan.

Ada hukum-hukum dan prinsip-prinsip hidup yang harus dipatuhi oleh setiap orang: pencuri tak boleh mencuri dari pencuri; tak ada seorang pun yang menyalahkan orang lain karena profesinya; dan tak seorang pun yang berani berkata tentang hal-hal yang dapat menyakiti perasaan publik. Dan di sana ada sosok Syekh Ali yang berbicara pada Tuhan dengan sumpah-serapah. Orang-orang sejenak tertawa, tetapi segera setelah mereka mendengar apa yang ia katakan, mereka diam mematung.

Kepala Syekh Ali tampak mengkilat, dan rambut putihnya yang dipotong pendek berkilau oleh keringat. Dengan tangan kanannya, ia genggam sebatang kayu. Mata Syekh Ali memancar seperti bara api, sementara tatapan sengit dan kemarahan yang tajam menutupi wajahnya.

Ia berujar menghadap langit: “Apa yang kau inginkan dariku? Bisakah kau katakan apa yang kau inginkan dariku? Aku meninggalkan al-Azhar karena beberapa syekh bertindak seolah-olah mereka adalah satu-satunya penjaga keimanan. Aku menalak istriku, menjual rumahku, dan dari sekian banyak orang, kau memilihku untuk bermusuhan dengan Abu Ahmad. Mengapa aku? Mengapa tak kau turunkan kemarahanmu, Ya Allah, kepada Churchill atau pada Eisenhower? Atau kau memang hanya bisa melakukannya padaku? Apa yang kau inginkan dariku sekarang?

“Berkali-kali kau membuatku lapar di masa lalu, dan aku menahannya. Aku akan berkata pada diriku sendiri: ‘Bayangkan, ini adalah bulan suci Ramadan, dan aku sedang berpuasa. Hanya satu hari, dan ini akan berakhir.’ Namun, kali ini, aku belum makan apa-apa dari kemarin, dan belum mendapatkan sebatang rokok pun selama seminggu. Sumpah, aku tak menyentuh ganja selama sepuluh hari. Dan kau berkata padaku bahwa di surga ada madu, buah-buahan, sungai susu, sedangkan kau tak memberikan salah satunya pun kepadaku! Mengapa? Apakah kau menungguku mati kelaparan kemudian masuk surga sebelum aku mendapatkan kemurahan hatimu? Tidak, Tuhanku! Biarkan aku hidup hari ini dan setelah itu, bawa aku ke mana pun kau mau.

“Ayolah, mengapa tak kau enyahkan Abu Ahmad dari pundakku? Mengapa tak kau kirimkan ia ke Amerika? Apakah ia takdirku? Mengapa kau menyiksaku? Aku tak punya apa pun selain gamis dan sepotong kayu ini. Apa yang kau inginkan dariku? Kau sebaiknya memberiku makan sekarang, atau ambil aku sekarang! Apakah kau akan memberiku makan atau tidak?”

Syekh Ali sangat marah ketika ia mengujarkan kalimat-kalimat tersebut; mulutnya sudah mulai berbusa dan dibasahi keringat, sementara suaranya dipenuhi oleh kebencian yang dahsyat. Orang-orang Munyat al-Nasr berdiri tak bergerak, hati mereka nyaris beku oleh ketakutan. Mereka takut Syekh Ali melanjutkan hujatannya. Namun, itu bukanlah satu-satunya hal yang menakutkan mereka. Kata-kata yang diucapkan Syekh Ali amat berbahaya, akan menyebabkan kemurkaan Tuhan yang Maha Kuasa. Desa mereka menjadi harga yang harus dibayar ketika pembalasanNya menerpa apa pun yang mereka miliki. Kata-kata Syekh Ali mengancam keselamatan seluruh desa, mulutnya harus ditutup. Untuk itu, beberapa tetua warga mulai mencoba meredam kemarahan Syekh Ali dan mengistirahatkan mulutnya. Untuk sementara, Syekh Ali memalingkan wajah dari langit dan mengarahkan pandangannya kepada khalayak yang melihatnya.

“Mengapa aku harus sabar, bajingan-bajingan penipu? Haruskah aku diam hingga aku mati kelaparan? Mengapa aku harus tetap diam? Apakah kalian takut kehilangan rumah, istri, dan ladang-ladang kalian? Hanya orang yang memiliki yang takut kehilangan! Aku tak memiliki apa pun untuk ditakuti. Jika dia menggangguku, biarkan dia mengambilku! Atas nama agama dan segala hal yang suci, jika seseorang datang dan menjemputku, bahkan jika itu Izrail, malaikat kematian, akan kupukul dengan kayu ini. Aku tak akan diam hingga ia mengirim meja yang dipenuhi makanan surgawi sekarang. Aku tak kurang berharga dari Mariam, seorang wanita, sedangkan aku laki-laki. Dan dia tidak miskin. Sedangkan aku harus menderita di tangan Abu Ahmad. Atas nama agama dan segala yang kuyakini, aku tak akan diam hingga dia mengirim meja makan sekarang!”

Sekali lagi Syekh Ali menatap langit: “Kirimkan padaku sekarang, kalau tidak akan kukatakan apa pun yang ada dalam pikiranku. Meja makan, sekarang! Dua ayam, secangkir madu dan segunduk roti hangat, dan, jangan sampai lupa, salad! Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika meja makan itu tak segera turun, aku tak akan berhenti.”

Syekh Ali mulai menghitung, dan orang-orang Munyat al-Nasr diam-diam ikut menghitung serta mulai merasa gugup. Syekh Ali harus dihentikan. Salah seorang mengusulkan untuk membawa anak muda paling kuat di desa itu untuk menjatuhkan Syekh Ali ke tanah, membungkamnya dan memberikan pukulan yang tak akan ia lupakan. Namun, seseorang melihat mata Syekh Ali yang berapi-api dan penuh kemarahan. Mustahil menjauhkan Syekh Ali sebelum ia menghantamkan satu-dua kali kayu yang dibawanya. Setiap anak muda takut menjadi salah seorang yang dipukul dengan kayu tersebut. Dan barangkali Izrail pun akan menjadi salah satu yang akan dipukul. Itu sebabnya, tak ada komentar.

Salah seorang di belakang berkata tak sabar: “Kau lapar sepanjang hidupmu, mengapa kau pilih saat ini?”

Sambil memandang geram orang itu, Syekh Ali menjawab: “ Saat ini, Abd al-Jawwad? Dasar, kau lemah. Kelaparanku berlangsung lebih lama.”

Salah seorang lain memekik: “Baiklah, jika kau lapar, mengapa kau tak bilang pada kami? Kami akan memberimu makan, bukannya malah mendengarkan omong kosongmu!”

Kemudian Syekh Ali mengarah ke orang itu: “Aku, meminta padamu? Akankah aku memohon padamu, si pencuri kampung yang kelaparan? Kau lebih lapar dariku! Meminta padamu? Aku datang meminta kepadanya, jika ia tak mengabulkannya, aku tahu apa yang akan aku lakukan!”

Abd al-Jawwad berkata: “ Mengapa kau tak kerja dan memberi makan dirimu sendiri, Bajingan?”

Pada titik ini, kemarahan Syekh Ali memuncak. Ia sangat marah, bergetar dan berguncang, mengarahkan pidatonya berturut-turut ke kerumunan yang berkumpul di jarak tertentu kemudian ke langit: “Apa-apaan kamu, Abd Jawwad, anak Sitt Abuha?! Aku tak kerja! Aku tak mau bekerja! Aku tak tahu bagaimana bekerja. Aku tak menemukan pekerjaan. Inikah kerjamu, Sialan?! Kerjaan yang kau lakukan hanyalah pekerjaan keledai, dan aku bukanlah keledai. Aku tak bisa menyiksa punggungku sepanjang hari; aku tak bisa luntang-lantung di ladang seperti ternak, dasar kau, Binatang. Pergi kau ke neraka! Aku tak akan bekerja! Demi Allah, jikalau aku akan mati kelaparan, aku tetap tak akan bekerja sepertimu! Tak akan!

Meski Syekh Ali tengah marah dan buruknya situasi, orang-orang malah terawa.

Syekh Ali terkejut, dan berkata: “Heh! Akan kuhitung sampai sepuluh. Dan demi Tuhan, jika aku tak mendapatkan meja makan, aku akan mengutuk Tuhan dan melakukan hal yang tak terkatakan.”

Sangatlah jelas Syekh Ali tak akan mengubah pikirannya, dan ia bermaksud untuk melanjutkan niat yang tak terbayangkan konsekuensinya.

Tatkala Syekh Ali mulai menghitung, tetes-tetes keringat bercucuran dari kening orang-orang, dan panasnya siang sungguh sulit ditoleransi. Beberapa orang mulai membisikkan bahwa kemurkaan Tuhan menampakkan dirinya, dan panas yang mengerikan ini hanyalah permulaan dari kebakaran hebat yang akan menghanguskan semua gandum dan tanaman.

Salah seorang dari mereka membuat kesalahan dengan berkata: “Mengapa salah seorang dari kalian tidak ada yang memberikannya sepotong makanan agar ia bisa diam?”

Meskipun Syekh Ali menghitung dengan keras, ia mendengar perkataan itu dan membalik ke arahnya: “Sepotong apa, dasar udik? Sepotong roti busukmu dan keju basi yang hanya patut dimakan oleh cacing-cacing? Kau menyebutnya makanan? Aku hanya akan diam jika meja makan itu tiba, dengan dua ayam panggang di atasnya.”

Banyak gerutuan yang terdengar dari kerumunan orang itu. Tiba-tiba, salah seorang wanita yang berdiri di depan berkata: “Aku punya kacang rebus, akan kubawakan sepiring untukmu.”

Syekh Ali berteriak kepadanya: “Diam kau, Perempuan! Omong kosong dengan kacang rebusmu! Otakmu yang seperti kacang, dan bau desa ini tak ada beda dari asam kacang!”

Kemudian Abu Sirhan berkata: “Kami memiliki beberapa ikan segar, Syekh Ali, yang kami peroleh dari Ahmad Si Nelayan.”

Syekh Ali menderu: “Ikan-ikanmu itu terlalu kecil, dasar kau orang rendah! Kau bilang itu ikan? Terkutuklah ikan itu. Jika ia tak mengirimkan dua ayam panggang dan hal-hal lain yang aku pesan, aku akan mulai mengutuk—dan tunggulah akibatnya!”

Situasi menjadi semakin tak dapat ditahan. Ini menyangkut pertanyaan apakah mereka tetap diam dan kehilangan desa dan semua orang dan isinya, atau membuat Syekh Ali diam dengan segala cara yang mungkin. Ratusan orang mengundang Syekh Ali untuk makan siang, tapi ia menolaknya.

Segera ia berkata: “Aku tak dapat melanjutkan kemelaratan ini. Selama tiga hari, tak seorang pun yang menawarkanku sekerat makanan. Jadi, lupakanlah undangan kalian itu. Aku hanya akan diam jika kau mengirimkanku sebuah meja makan yang dipenuhi makanan yang dikirim oleh Tuhan kita.”

Beberapa orang menoleh ke sekeliling untuk menanyakan siapa yang memasak hari ini, karena tak setiap orang memasak setiap hari; sehingga sangat sulit bagi siapa pun mendapatkan daging atau ayam. Akhirnya di rumah Abd al-Rahman mereka menemukan sepotong daging lembu, dan mereka membawanya ke Syekh Ali di atas nampan bersama dengan beberapa lobak, dua buah roti kering dan bawang. Mereka berkata pada Syekh:

“Apakah ini cukup untukmu?”

Mata Syekh Ali beralih-alih antara langit dan nampan; ketika ia melihat langit matanya memancarkan api, sedangkan ketika ia melihat nampan, kemarahannya tumbuh. Orang-orang berdiri bungkam.

Syekh Ali berkata: “Yang aku inginkan adalah meja yang dipenuhi makanan, dasar kau tak berguna, kau membawakanku nampan? Lantas di mana bungkus rokoknya?”

Salah seorang warga memberikan padanya sebungkus rokok. Ia menjulurkan tangannya dan menyomot daging itu kemudian melahapnya, dan berkata: “ Dan mana ganjanya?”

Mereka berkata: “Lancang, kau! Itu mahal!”

Dengan marah Syekh Ali berkata: “Betul!” Kemudian ia meninggalkan makanan itu, melepaskan serbannya dan sekali lagi mulai mengguncangkan kayu yang digenggamnya, mengancam bahwa ia akan mulai menyerapah lagi. Ia tak akan diam sampai mereka mendatangkan Mandur Si Penjual Ganja untuk memberikan padanya sebongkah ganja.

Mandur berkata: “Ambillah, ambillah, Syekh, kau pantas mendapatkannya! Kami tak melihat, kami tak tahu kamu malu untuk memintanya. Orang-orang duduk bersamamu dan mereka tampak bahagia, tetapi sesudah itu mereka tak tertarik lagi, dan meninggalkanmu. Kami harus memperhatikan kenyamananmu, Syekh. Ini desa kami, dan tanpa engkau dan Abu Ahmad, desa ini tak berharga. Kau membuat kami tertawa, dan kami harus memberimu makan… Apa tanggapanmu?”

Syekh Ali kembali mengamuk, ia mengayunkan batang kayunya ke arah Mandur. Hampir saja kayu itu mengenai kepalanya.

“Kau menertawakanku? Apa yang lucu dariku, Mandur? Dasar otak keledai. Keparat kau! Bapakmu juga!”

Mandur berlari di depan Syekh Ali sambil tertawa. Orang-orang yang berada di barisan depan melihat pengejaran itu ikut tertawa. Bahkan ketika Syekh Ali datang ke arah mereka, mencerca dan mengutuk mereka, mereka tetap tertawa.

Syekh Ali tetap di Munyat al-Nasr, dan apa yang menimpanya berlangsung tiap hari. Ia tetap mudah marah, dan orang-orang tetap menertawakan kemarahannya. Namun, semenjak hari itu, mereka memberikan tunjangan untuknya. Ketika mereka melihat ia berdiri di tengah-tengah tempat penumbukan, melepaskan serbannya, menggenggam batang kayu dan mulai mengayunkannya ke langit, mereka paham bahwa mereka lupa akan masalahnya. Mereka menjauhkan Abu Ahmad agar ia bisa menyendiri selama yang diperlukan. Sebelum kata-kata umpatan keluar dari mulutnya, sebuah nampan akan dibawakan kepadanya lengkap dengan apa pun yang ia minta. Kadang-kadang ia akan menerima bagiannya, dengan pasrah pada Allah.(*)


Tentang Yusuf Idris (1927-91)

Merupakan penulis terkemuka Mesir yang menulis dalam berbagai macam genre: novel, kritik sastra, jurnalisme, drama, dan tentunya cerita pendek. Mulanya ia merupakan seorang dokter juga kolumnis di harian terbesar Mesir, al-Ahram. Ia aktif di pergerakan nasionalis serta giat menentang penjajahan. Karya-karyanya bersinggungan dengan isu-isu sosial kemiskinan bangsa serta isu-isu sosial realisme, dan pesimisme yang sentimentil. Perihal gaya kepenulisan, Yusuf Idris dikenal sebagai pelopor dalam memadukan bahasa Arab klasik baku dengan bahasa arab dialek Mesir. Nampan dari Surga merupakan terjemahan dari cerpen Yusuf Idris yang berjudul طبلية من السماء yang terdapat di buku kumpulan cerpen حادثة شرف yang terbitan ulang oleh Hindawi pada tahun 2017.


Baca juga:
– Mimpi, Istri, dan Serigala – Cerpen Giovanni Boccaccio
– Antoninos Liberalis – Empat Kisah tentang Asal Mula Burung-Burung

Ilustrasi: Photo by Emma Bauso from Pexels

Komentar Anda?