Menu
Menu

Oleh: F. Aziz Manna |

Kelahiran Sidoarjo, 8 Desember 1978. Alumni Ponpes Tambak Beras Jombang. Beberapa buku puisi tunggalnya: Jihwagravancana (Airlangga University Press, 2019), Mantra for Attacking the City (Yayasan Lontar, 2019), Dunia dari Keping Ingatan (Bentang Pustaka, 2017), Playon (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015, dan diterbitkan ulang oleh Pagan Press, 2016, mendapatkan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16, dan diterbitkan ulang oleh Grasindo, 2016), Siti Surabaya sebuah puisi epik (Garudhawaca, 2014), Tanggulendut (Satu Kata, 2013), Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang (Diamond Publishing, 2010), Wong Kam Pung (FSS, 2010), Izinkan Aku Menciummu (Gapus, 2006), serta Kumelambungkan Cintaku (Gapus, 2003). f aziz manna


f aziz manna

Golek

bulan padam. blencong dinyalakan.

lelaki adalah perempuan mandul
pohon menjulang berdaun lebat
tanpa bunga dan buah
terjaga, terawat, lebih solek dari molek
di musim-musim tertentu
dia seonggok kayu rapuh
luruh bikin rusuh
ditebang kasihan
dilihat bikin mata sepat
dibiarkan? cilaka! cuman ngundang kesialan

perempuan adalah lakinya laki
jantannya jantan, pohonnya pohon
tak setinggi meranti, tak sependek bonsai
semampai
warna-warni wangi bunganya
berbuah kerap, kadang enggak
bergantung cuaca
tapi kukuh-tangguh ia
putingnya saja beliung
bila jatuh, rapuhnya rapuh feniks
ditebang jangan
dilihat bikin mata sehat
dibiarkan? cilaka! bisa kualat 7 turunan

tapi metafora itu telah lenyap. hutan lambang telah terbabat. bumi ditumbuhi dinding-dinding tanah kering. bersap-sap. bertingkat-tingkat. padat dan liat. membangkitkan raksasa bayang-bayang: keteduhsejukan dan kobar-liar-kegarangan; luar dan dalam; pelukan dan ketelantaran; rumah dan sahara.

dan hasrat adalah anak panah yang menembusi sekat-sekat. lintasannya mungkin di celah-celah tapi seringkali mengoyak dan membikin porak-poranda.

dan sampailah masa ketika
tubuh adalah teror
sumber bayang-bayang
penghalang cinta yang berpijaran

di pasar larangan kaki-kaki kaku
penebah menghalau di seluruh penjuru
tulah! tulah! tulah!
kecemasan mendemamkan badan
lidah putus tergigit gigil gigi sendiri

maka serupa kura-kura kami bercangkung melengkung di dasar kungkung cangkang dan menggasang bersama gelung-gelung gelombang lautan menggeledah tirta amerta. pusat pusarannya serupa lubang cahaya jagad niskala. abrakadabra!

blencong mobat-mabit. angin memahat air
adalah kehadiranmu di panggung itu
kau mainkan cahaya dan bayangan
menyulut gerak api
tubuh kami terbakar oleh tubuhmu yang terbakar
dan terbakarlah jagad sekitar tubuh kami yang terbakar
hujan (tangisan?) meringkusi debu arang
semesta tertutup danau hitam
angin memahat air
mengulur sembur sulur-sulur—rumput
rumput mencair di kaki para pencari
menapaki tanah selembut permadani
di kerumun halimun—di pikiran buta-tuli

_______________angin
______menjadi _________napas
______menjadi ____________ruh
______menjadi __________tubuh
______menjadi __________dunia
____________melingkar
______________titik
_____________ke titik
_______memenuhi kekosongan.

blencong mendrip-mendrip membawa jam-jam beruliran seperti sungai ke laut semacam gerak pergi tapi kembali. sama-serupa sekaligus selalu berbeda.

berdiri. jalan. jongkok. duduk. berbaring. berguling. simpuh. bangkit tegak.

kami rentangkan tangan dan bermohon: ikhlaskanlah pelukan bagi begundal bakal bangkai ini biar bisa terdendang kami punya ratapan:

“betapa luas bumi, kuburan tulang-tulang ini, oh, angin, kekasih setia.”

dada ngilu tertusuk lancip kata-kutukmu. beribu jampi dan jamu—hanya pahit memperparah rasa sakit—hampa tiada bekerja khasiatnya. mengadang, menyangkal, meradang, menerjang, melawan: percuma. maka meluaplah geluncak bara di dada mencampur-adukkan tafsir dan makna di kepala hingga kami temukan waktu membatu jadi cagak-cagak cahaya senja berkanopi daun-daun angsana dan—ajaib!—kunang-kunang merah berhamburan dari stoplamp kendaraan yang berlolos-lolosan di celah-celah warna yang memalam, ke arah kami mereka serupa benang api menisiki seluruh lubang tubuh.

blencong padam!

maut telah jadi klise serupa candi bubrah tempat tamasya arjuna menyembunyikan arak campur ludah bekas ciuman tergesa di botol aqua. langit lunglai. langkah-langkah bimbang antara jalan dan jembatan. hati berbisik di riuh bujukan, saling menggoda menimbulkan demam. gemetar membuka buku penunjuk arah, kami cari jalur lain pada lipatan halaman, hanya beleduk dan bersin, membuat mata berair. tabrani, kami kini lidah patah terpenjara mulut sendiri. di manakah kaki-kaki? di manakah tangan-tangan? di manakah kelenjar-kelenjar kekar, bergetah, dan berdenyar? tiada lagi pertempuran sebenar-benar pertempuran. kota-kota hanya semak belukar, palagan hitam, kian jalang, kian liar melingkungi jasad-jasad letih dan sedih, setelah, bukan, bahkan sebelum sebadan.

ritmis gerimis menabur bintang-bintang
di tubuh sungai panjang
sepasang kaki bocah berketipak balik arah
terdengar gundah
“gerak ikan tak terbaca,” gerundelnya
menenteng timba seng penuh udara
ulat-ulat melubangi dedaunan
bersirontok, tubuhnya turut melayang-layang
gerimis (hijau kelam) menabur bintang-bintang
di tubuh sungai (kuburan) panjang

berdiri. jalan. jongkok. duduk. berbaring. berguling. simpuh. bangkit tegak. jam-jam mengulir seperti sungai ke laut semacam gerak pergi tapi kembali. sama-serupa sekaligus selalu berbeda.

akar-akar pohon mati menopang kelopak mata. batang kering tumbang hilang daun dan kambium. ah, kambium: lapis selubung, menebal dan menggembung—dusta yang megah—mendesak dan memuncak.

“manusia telah abai dan gagal mengubur hingga benar-benar terkubur.”

“ya, aku telah damai dalam kediaman, biarkan reruntuhan debu dunia menimbunku lebih dalam.”

di tengah gelombang gelap kebimbangan kami raih kembali Akar, kami tatah dan kami tata serupa merajut kata dalam epos dan balada dan jadilah perahu, mungkin juga sesosok tubuh yang mengajak berlayar ke bandar-bandar jauh.

sayup-redup blencong murup.

ada sayatan menyerupai sepasang mata dan sepasang bibir, di sela-sela kedua-duanya menyembul bintil yang hendak membesar serupa gelembung napas mengeras. ah, waktu adalah penatah sungging sejati, lewat pisau musim dan cuaca ia poles luka dengan rautan-pahatan-cukilan-ukiran yang lebih tebal-besar dan menyebar hingga blèdru antara sembuh dan kian kambuh.

lalu bangkitlah lakon bayang-bayang serupa tulang-tulang dipandu sangkakala, menyembul di tengah jalan—kehidupan?—berbarisan memanjang hingga ke ceruk-ceruk kamar.

“ternyata kediamanku adalah kediamanmu!”

blencong angslup.

angin ataukah tanah yang meliuk-lekukkan tubuh kami
hingga serupa pemanggul encok?
tidak. bukan. kami sedang menari bersama
keduanya—karib sesama
kau hanya melihat dengan mata beku waktu
sejarah—yang kaku—itu

jam-jam mengulir seperti sungai ke laut semacam gerak pergi tapi kembali. sama-serupa sekaligus selalu berbeda.

tak ada lagi perahu bersandar di dermaga itu. air tenang dan susut memampangkan lumpur yang kian mengering. barangkali hujan atau banjir kiriman dari pintu air di ujung lain menyeret perahu dan kau duduk di situ melambai-lambai ke arah kami yang telah jadi batu—tak utuh!

berdiri. jalan. jongkok. duduk. berbaring. berguling. simpuh. bangkit tegak.

doa-doa dan rerajah dirapalembuskan ke tubuh yang telah bersih dari selaput dan duri juga segala macam goresan. cacat cuman cocot: debu yang terbawa angin kehidupan.

jam-jam mengulir seperti sungai ke laut semacam gerak pergi tapi kembali. sama-serupa sekaligus selalu berbeda.

blencong dimamah matahari. putih.
putih. melati dan mondokaki. mekar
—seperti hatiku—di pagi hari. waktu
kusesap panas kopi dan gorengan gurih
juga manis senyummu tipis

pipit sepasang di naung rimbun dedaunan
bercericit riang bersama pagi datang
hati bimbang lekaslah hilang
sejuk udara rekah di relung dada

begitulah gepetto saat menemukan hidup pada pinokio atau ayu wandira pada golek kayu mandana atau (mungkin) adam dan hawa setelah sekian lama terpisah dari surga atau (mungkin juga) emak dan bapak ketika kelak bangkit dari tidur panjangnya di kuburan.

jalan-jalan hangus dibakar matahari
tanpa satu pun bayangan yang menutupi
sepatu-sepatu berdebu
tanpa bekas tanah di telapaknya
senja dikuasai lagu angin, malam beku
suara-suara penolakan berkibaran

“aku hidup bersamamu tapi tidak bersamamu!
masamu telah habis tapi waktuku terus melaju.”

jam-jam mengulir seperti sungai ke laut semacam gerak pergi tapi kembali. sama-serupa sekaligus selalu berbeda.

masatua yang suram dalam jubah bulu, sejarah, cinta hampa, telah menguap dari tubuh, biarlah biar digendong angin, jika meronta, telah siaga para penjaga di seluruh pintu lorong lubang pori-pori dengan kepatuhan buta siap menggada, mengempas, menumpas, waktu yang telanjang, dingin dan hangat, pelukan tak berbentuk dari alam, membalur, membaur pada kuil tubuh di mana kami bertapa, puasa, menunggu kelahiran dari kematian, meski kami bukan feniks, simurgh, feng dan huang, meski kami hanya perkutut mathi pati kami tetap mengepak, menari, bersiul, dan bernyanyi.

“dunia adalah kerangkeng. rumah yang kami tinggalkan!”

jam-jam mengulir seperti sungai ke laut semacam gerak pergi tapi kembali. sama-serupa sekaligus selalu berbeda.

(2020) puisi-puisi f. aziz manna


Ilustrasi: Photo by Marcelo Jaboo from Pexels

Baca juga: f. aziz manna
– Puisi-Puisi Adimas Immanuel – Cupio dissolvi
– Puisi-Puisi M. Firdaus Rahmatullah – Titik Mata
– Dikenang karena (Pernah) Menulis

Komentar Anda?