Menu
Menu

Semula tulisan ini hendak saya beri judul “Aktivis”. Ketika mengerjakan dan berjuang menyelesaikannya, rasanya “Semangat” lebih tepat.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul “Perjalanan Mencari Ayam” (2018). Tulisannya yang lain ada di ranalino.id.


1/

Beberapa hal harus diungkapkan dengan lantang dan penuh semangat sedangkan yang lain barangkali tidak perlu diceritakan. Ada juga yang hanya boleh disampaikan di kalangan terbatas saja, kepada seorang saja dengan cara membisikkannya, atau di dalam hati saja.

Pilihan terakhir dipakai pada situasi kau mencintai seseorang yang kau tahu sedang sangat jatuh cinta pada orang lain atau cincin seseorang telah melingkar di jari manisnya. Jika tak sanggup merayu seperti Sting dalam “When We Dance”, katakan dalam hati saja. Itu biasa.

Untuk yang dapat berarti kenaikan kelas, mengundang decak kagum, membuat kita dapat dengan segera menjadi bagian dari kelompok besar, ungkapkan dengan lantang. Misalnya pengalaman menjadi juara lomba, perjuangan membesarkan orang-orang di sekitar, buku favoritmu adalah buku-buku yang dibicarakan banyak penulis, status facebookmu di-love oleh orang-orang terkenal.

Tidak berarti bahwa kau angkuh. Tidak. Sama sekali tidak. Kau tidak berniat melakukannya bukan? Kau sedang berbagi cerita besar dan berharap orang-orang terinspirasi: berjuang. Tentu akan ada yang melabelimu sebagai seorang yang congkak hati—membicarakannya di belakangmu secara terang atau di depanmu dengan samar—tetapi dalam beberapa hal mereka sedang ingin menjadi sepertimu.

Memang, situasi paling sulit adalah mengolah kalimat agar niat menginspirasi tidak terpeleset menjadi percakapan menyombongkan diri. Menjadi semakin sulit apabila pencapaian baik itu hanya sekali terjadi padahal beberapa orang lain telah meraihnya berkali-kali dan, membuatnya tidak sempat menceritakan sendiri karena kesibukannya mengejar/meraih prestasi demi prestasi, kisahnya itu diwartakan orang lain.

Pada titik itu, biasanya, kita tahu jalan mana yang sebaiknya dipilih. Jalan cerita atau jalan kerja atau jalan cerita tentang kerja?

Pada waktu-waktu sekarang, ketika setiap orang tidak lagi semata sebagai yang pasrah menghadapi jarum hipodermik atau peluru (informasi) tetapi dapat menjadi pemegang senjata, jalan cerita tentang kerja adalah pilihan yang baik. Sepanjang, yang pertama tidak lebih besar dari yang kedua; kita tidak terjebak untuk membuat buku cerita yang jauh lebih tebal dari kisah sesungguhnya. Bagaimanapun, semangat haruslah dijaga keseimbangannya. Biar tidak ‘miskin bukti kaya narasi’ seperti sidang pasca-pilpres yang melelahkan itu!

2/

Gerson Poyk (1931 – 2017) pernah bermimpi tentang desa budaya. Di desa itu ada patung-patung sastrawan Indonesia, ada sawah yang dikerjakan para seniman, ada teater tempat para seniman mementaskan karya mereka: untuk bermain drama dan mengekspresikan imajinasi seni mereka.

Disampaikannya mimpi itu enam tahun tujuh hari sebelum sastrawan besar asal NTT itu tutup usia. Opa Gerson meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Februari 2017 sedangkan perihal desa budaya itu dia ungkapkan (lebih tepat media memberitakannya, karena tentu saja konsep itu telah dia pikirkan jauh sebelum hari itu) di Bentara Budaya Jakarta pada hari Kamis, 17 Februari 2011, dalam Diskusi Kebangsaan dan Peluncuran Buku karyanya yang berjudul “Keliling Indonesia dari Era Bung Karno sampai SBY: Catatan Perjalanan Wartawan Nekat” (Libri, 2010).

Dalam beberapa ulasan, buku catatan perjalanan seorang jurnalis sekaligus sastrawan ini disebut-sebut sebagai laporan penjelajahan negeri dengan bahasa yang ringan dan nakal tetapi berbobot dan penuh makna. Buku ini mereportase pertumbuhan dan perkembangan beberapa bagian dari negeri ini dari zaman Sukarno sampai era SBY.

Mimpi tentang desa budaya bisa jadi datang dari ribuan perjalanan yang telah ditempuhnya, jutaan pengalaman yang terekam, dan kegusaran-kegusaran yang dirasakan sekaligus dipikirkannya dengan sungguh.

Desa adalah bagian penting dari hidup Gerson Poyk. Karya-karya yang dihasilkannya di masa-masa awal kepengarangannya bercerita tentang orang-orang desa, pemandangan alam pedesaan, pertentangan modernitas di tengah masyarakat desa—Gerson merasa pendidikan menjauhkan manusia dari alamnya, dan lain sebagainya.

Sesungguhnya bukan hanya pada masa awal. Hingga tugasnya di bumi ini selesai—semoga beliau mendapat istirahat kekal dalam kedamaian, desa selalu menjadi gambar penting dalam setiap karyanya.

Tanggal 16 Juni adalah hari lahir Gerson Poyk. Hari lahir saya juga. Memangnya saya siapa? Sudahlah… Yang terutama adalah, tanggal 16 Juni adalah Hari Sastra NTT. Peringatannya dimulai tahun 2016 silam. 16-06-16. Tanggal yang baik untuk diingat agar kita memulai sesuatu yang berhubungan dengan sastra, desa, lokalitas, literasi, dan lain-lain. Seperti, mewujudkan mimpi Gerson tentang desa budaya.

Tidak harus para seniman berkebun dalam arti menggarap ladang, berjibaku dengan tanah dan lumpur di bawah matahari atau hujan. Entah yang beliau bayangkan. Jika memang dalam arti demikian, sah-sah saja. Namanya juga harapan.

Hanya saja, yang saya tangkap adalah, agar para sastrawan, terutama dari NTT, mengenal dan bercerita tentang tanahnya dalam bahasa yang (tidak dikerjakan dengan paksa agar populer) dimengerti sekaligus membuat orang lain mengerti tentang orang-orang di tanahnya. Seperti yang dilakukannya di “Nostalgia Flobamora” atau yang dituturkan Otto J. Gaut di “Mawar Padang Ara” atau yang dilakukan penulis lainnya lainnya. Dua penulis asal NTT yang saya kenal, Mario dan Felix melakukannya dengan baik.

Saya tiba-tiba ingat Ahmad Tohari. Apa kabar, Lasi, bekisar merahku? Haissssh…

3/

Saya kira benar bahwa setiap orang, siapa saja, sudah seharusnya berbagi. Apa saja. Dengan cara bagaimana saja. Tidak dengan tujuan muluk seperti: mengubah dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyiapkan dunia yang baik bagi anak-cucu-cece.

Di NTT, di bidang literasi (demikian sebutan populernya), ada banyak hal yang telah dilakukan oleh para pegiatnya. Saling berbagi buku, menggelar diskusi buku, membuka taman baca di mana-mana, meminjamkan buku kepada banyak orang, dan masih banyak lagi.

Ada saat mereka begitu bersemangat. Bukan karena merasa telah menjadi hebat tetapi karena hal-hal demikian selalu menyenangkan; berbagi berarti memiliki semakin banyak teman. Ada juga saat-saat mereka kehilangan sedikit semangat, terutama ketika harus berhadapan dengan urusan-urusan administrasi yang rasanya panjang sekali padahal mereka (merasa) telah mengambil sebagian tugas utama pemerintah: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pada saat-saat demikianlah, percakapan tentang ruang-ruang publik dan pemanfaatannya menjadi sangat penting. Bahwa selain memelihara semangat, melihat cara kerja orang-orang di sekitar (untuk tidak menyebut pemerintah saja) juga menjadi penting. Budaya setempat, potensi persaingan, dan tetek-bengek lainnya. Agar semangat komunitas menjadi semangat bersama.

Tapi apa mereka tir liat di kota lain su maju sekali peradaban literasinya karena mereka boleh melakukan apa saja sepanjang itu positif?

Hmmm… Kita tidak di kota lain itu tetapi di kota ini. Pertama, kita tidak tahu persis telah berapa lama ‘kota lain’ itu membangun iklimnya. Kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya dapat diisi masing-masing. Selesai tidak selesai, dikumpulkan. Eh? Belajar dari kota lain itu, dan, sadar bahwa semangat saja tidak cukup. Tahan banting juga perlu agar kita bisa diharapkan!

4/

Ada masa di mana orang bernama Quentin atau Quin atau Uin atau yang mirip-mirip bunyinya: Boin, Toni, Rian, Tina, saya anggap sebagai pribadi yang berbahaya. Berkumis, seram, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, tidak menyukai anak-anak.

Pendapat itu bertahan lama sekali. Sejak saya SD ketika mengenal Paman Quentin di Lima Sekawan: Ke Sarang Penyelundup—buku pertama Enid Blyton yang saya baca dan membuat saya mengaguminya selama-lamanya—hingga ketika ketika saya mulai tahu bahwa orang-orang dewasa memang tidak terlalu menyukai keributan. Apalagi para peneliti.

Suatu ketika, ‘pengalaman’ dengan Paman Quentin itu saya ceritakan pada seorang gadis di masa-masa kuliah. Gadis itu menyukai Lima Sekawan dan saya tahu dari baju yang dipakainya pada hari kesekian kuliah, bertulis Enid Blyton dengan model tulisan yang persis seperti pilihan huruf di setiap sampul buku-bukunya.

Saya mendekatinya untuk dua tujuan. Pertama agar bisa mengakses koleksi bukunya, kedua untuk membantu teman saya yang jatuh cinta pada gadis itu dengan segera di hari pertama kuliah.

Karena dalam setiap kisah selalu ada keberhasilan dan kegagalan, kisah saya mendekati gadis itu juga demikian. Saya berhasil di tujuan pertama dan gagal di tujuan kedua. Dia memang jatuh cinta tetapi bukan pada teman saya. Pada orang lain. Bukan saya.

Lagu When We Dance belum populer (atau belum ditulis?) pada tahun itu sedangkan lagu-lagu patah hati Obbie Mesakh terlalu tua. Teman saya tadi memilih Bunga Terakhir dari Romeo untuk kisah sedihnya. Seolah-olah dia kehilangan semangat. Padahal, kita tahu, tak ada yang kehilangan semangat di tahun-tahun pertama kuliah jika berhubungan dengan mengejar cinta sejati. Iya to? Di facebook saja, begitu banyak orang yang bekerja di PT. Mengejar Cinta Sejati. Hissshhh…

Tentang saya, berbagi pengalaman tentang membaca novel-novel Enid Blyton terasa menyenangkan. Dan karena pengalaman menyenangkan (juga yang tidak menyenangkan) dari interaksi kita dengan buku harus dibagi, saya meminta persetujuan dr. Ronald Susilo sebagai pemimpin tertinggi kami, untuk membuka ruang baru. Bernama Saya dan Buku.

Bukan agar saya bisa bercerita tentang Lima Sekawan, tetapi agar semua orang dapat menulis tentang dirinya dan buku. Siapa saja boleh menulis di sana. Apa saja dapat ditulis: komentar personal tentang buku yang baru saja dibaca, bagaimana mengatur rak buku, tokoh dalam buku yang dirasa mirip dengan kita, perubahan cara pandang kita pada dunia setelah membaca buku, dan hal-hal lainnya.

Oh, iya. Buku favorit juga boleh diceritakan. Asal jangan makanan dan cowok/cewek kesayangan. Itu di buku harian saja.

Mengapa bacapetra.co menyiapkan ruang itu? Supaya kita punya lebih banyak teman. Seperti saya dengan ‘gadis Enid Blyton’ tadi.

Ah, iya! Cukup lama saya berpikir bahwa Enid Blyton itu laki-laki. Saya kaget sekali ketika bertahun-tahun setelah pertama kali membaca bukunya, saya akhirnya tahu bahwa dia perempuan. Mungkin karena di zaman itu, perempuan, di kampung saya (atau oleh saya saja?) dianggap tidak mungkin bisa jadi penulis. Yang hebat pula. Hal-hal seperti itu, jika kalian mengalaminya, dapat dibagi di rubrik Saya dan Kita. Kami tunggu!

Tentang ketakutan pada orang bernama Quentin tadi, saya lalu sadar, membaca satu buku lalu mengadili orang lain dalam pikiran-perkataan-perbuatan adalah sikap yang sama sekali tidak adil.

5/

Harusnya tidak ada lagi. Saya tidak tahu mau omong banyak apa lagi? Tetapi di Indonesia, angka lima itu penting. Dasar negara kita saja namanya Pancasila. Iya to? Lagipula, selalu menyenangkan berhasil menulis hingga poin kelima, entah apa alasannya.

Di Manggarai, angka lima juga penting. Banyak hal yang berhubungan dengan lima ini. Yang terutama adalah ruang gerak kami di Manggarai, Flores, NTT ini terdiri dari lima: mbaru bate ka’eng (rumah), uma bate duat (ladang/tempat kerja), wae bate teku (sumber air), natas bate labar (ruang bermain/halaman), compang bate takung (tempat menyajikan persembahan/berdoa kepada leluhur).

Karena itulah tulisan ini saya bagi dalam lima poin, meski sila poin terakhir tidak benar-benar jelas maksudnya. Dan, tahukah Anda bahwa logo Klub Buku Petra terdiri dari lima lembar kertas. Akan saya ceritakan nanti tentang semangat ini. (*)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Komentar Anda?