Menu
Menu

Marlon menjadi orang yang Bos percaya untuk mencari orang dari kampung kami yang mau bekerja untuk Bos. Kerja cari gaharu. Dalam waktu sekejap, Marlon berhasil mendapatkan sepuluh orang.


Oleh: Intan Andaru |

Sempat bekerja sebagai dokter PTT di Papua. Pernah terpilih sebagai Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (2021). Saat ini masih tetap menulis di tengah kesibukan melanjutkan pendidikan spesialis.


Beberapa tahun terakhir, orang-orang berkulit terang mulai berdatangan. Di malam hari, mereka menyalakan mesin pembangkit listrik yang berisik. Bayi saya sering susah tidur karenanya. Mereka pasang juga sebuah televisi berlayar besar di depan kios. Setiap hari, anak- anak saya duduk menonton cerita di sana. Hari pertama mengenal televisi, mereka melempar sebuah pertanyaan yang tak bisa saya jawab: apakah Indonesia itu begitu jauh sehingga tidak ada satu pun orang seperti kita tampak di sana?

**

Sudah tiga bulan tak ada kabar dari Marlon. Ikut kapal mengirim kayu gaharu ke Surabaya, Marlon meninggalkan saya dan anak-anak. Saya sempat bertanya kepada Marlon, di mana Surabaya berada, apakah lebih jauh dari Merauke? Ia bilang berada di Jakarta, di sana adalah tempat tinggal presiden dan orang-orang penting. Di sana pula kayu gaharu dihargai sangat mahal. Biar dia hanya bantu angkat-angkat di kapal, tapi uang yang ia dapatkan nanti bisa untuk membeli pakaian, beras, kopi, dan supermi.

“Ko pu beras su habis,” Mama menggerutu sambil meludahkan pinang ke alas kayu rumah kami.

Saya tidak mau menjawab apa pun sebab saya tahu Mama akan mengungkit masa lalu.

Sebelum Bapa meninggal dan sebelum orang-orang seperti Bos datang ke kampung kami, rasa-rasanya hari berjalan tanpa kesulitan. Bapa dan Mama tiap pagi dayung perahu ke dusun, tanah yang diwariskan turun-temurun milik keluarga kami, yang terletak jauh dari pemukiman. Tinggal di bivak, rumah dusun kami, untuk memangkur sagu dan mencari bahan makanan di sana. Banyak tumang sagu mereka dapatkan, bahkan sering kami bagi kepada tetangga—kalau-kalau mereka ada sakit sehingga tidak bisa pergi cari makan. Di sana pula, Bapa mengambil gaba-gaba dan kayu untuk memperbaiki rumah kami.

Sudah ulang kali Bos mengajak bicara Bapa agar mau menukar tanah itu dengan uang sekian banyak.

Sa tidak beli, sewa saja, nanti dari uang sewa Bapa bisa dapat uang untuk beli makan to. Daripada begini, diam-diam, tidak dapat uang juga.

Bos sering bilang begitu, tapi Bapa menolak. Bapa bilang tanah harus kami rawat sendiri sebab tanah adalah ibu bagi kami. Tanah adalah sumber kehidupan. Bila orang lain yang merawat, belum tentu bisa merawat baik seperti kami.

Tapi sepeninggal Bapa, semua berubah. Bos makin sering ke rumah, kadang membawa makanan roti bolu atau apakah itu, saya lupa namanya, enak sekali, anak-anak suka. Mereka banyak bicara sambil memutar kopi. Makin hari semakin akrab. Tak lama setelah itu, Marlon menandatangani kertas-kertas yang Bos bawa. Setelah itu, ia bilang bahwa tanah kami telah ditukarnya dengan tumpukan uang.

Kalau kau takut uang itu hilang, saya yang simpan. Nanti hitung saja dengan kalian punya belanja di kios. Saya catat semua agar kalian tahu.

Bos bilang begitu. Marlon setuju, Sebagian uang itu kami pegang, Sebagian kami simpan. Tapi uang itu barang apa kah? Cepat sekali habis. Tanah kami tersewa selama lima tahun, tapi belum ada satu tahun, uang kami telah habis. Bahkan utang kami pada kios selalu bertambah. Sekalipun Marlon bekerja pada Bos, gaji yang dibayarkan Bos tidak pernah bisa menutup utang-utang kami.

Tanah kami, sudah tidak bisa lagi kami jangkau. Kami bahkan tidak bisa mendapatkan satu tumang sagu dari tanah kami sendiri. Asap dapur sulit mengepul, anak-anak kami kelaparan dan hanya mengandalkan bantuan beras dari pemerintah yang turunnya tidak tentu kapan.

“Ko beli beras pakai Uang Bangga Papua itu sudah,” imbuh Mama.

Saya kira Mama sudah tidak bisa lagi menahan lapar sebab dari pagi selalu bicara tentang makanan. Mama tidak tahu Uang bangga Papua, uang bantuan pemerintah untuk anak di bawah 4 tahun, sudah habis lama, jumlah uang itu berkurang sejak dua anak saya mati karena buang-buang air. Saya yang bisa menerima empat amplop kini hanya menerima dua amplop untuk dua anak saya. Kadang saya tidak bisa berpikir lagi. Orang bilang, bikin anak banyak-banyak, agar ko dapat uang bantuan banyak-banyak. Tapi ketika saya sudah memiliki banyak anak, kenapa juga uang itu tidak juga   menutup kebutuhan kami?

“Kalau sudah tidak ada beras dan tidak ada uang, ko utang beras lagi saja pada Bos.”

“Iyo, mama tidur sudah,” jawab saya sambil menggendong bayi saya cepat-cepat. Saya pergi ke arah kios. Hari ini, saya utang beras lagi kepada bos, menambah catatan utang kami semakin panjang.

**

Saya bersyukur punya bos yang baik. Jauh-jauh ia datang untuk membangun kios di kampung kami. Jadi lidah kami mampu merasakan supermi, kopi, dan roti kelapa. Satu saja yang saya kurang suka adalah setelah ada kios, Marlon jadi senang merokok. Ia bakar uang kami untuk asap di mulutnya itu.

Makin hari, kios milik Bos makin bermacam-macam isinya. Setelah bahan makanan, ada pula pakaian, mainan anak-anak, dan banyak lagi. Karung-karung gaharu makin memenuhi halaman rumahnya.

Marlon menjadi orang yang Bos percaya untuk mencari orang dari kampung kami yang mau bekerja untuk Bos. Kerja cari gaharu. Dalam waktu sekejap, Marlon berhasil mendapatkan sepuluh orang. Tiap minggu, mereka berhasil mengumpulkan beberapa karung kayu gaharu. Saya pernah mencuri dengar: dari kayu gaharu yang dikumpulkan dari tanah kami, dari keringat orang-orang kami, bos mendapatkan uang bertumpuk-tumpuk. Tapi mengapa gaji yang diberi pada kami beberapa lembar saja?

“Kenapa tidak bisa dapat lebih? Itu tanah kita to?” tanya saya suatu hari pada Marlon setelah mengetahui harga kayu gaharu yang sangat mahal.

Marlon loyo saja, ia bilang tidak bisa karena sudah disewa selama lima tahun. Tanah dan semua isinya milik Bos saat ini. Lagi pula tidak akan genap lima tahun, kayu gaharu kami akan habis. Beberapa bulan terakhir, sudah tidak ada lagi pohon gaharu yang terlihat. Tidak ada lagi badan pohon yang dapat kami lihat. Marlon dan teman-temannya hanya mencari akar gaharu. Sisa-sisa kayu yang masih menancap di lumpur. Sehari-hari mereka berjalan membawa tongkat panjang, menusuk-nusukkannya ke lumpur berharap terasa tahanan yang menandakan akar kayu gaharu. Mereka menenggelamkan diri dalam lumpur dan entah bagaimana caranya mereka berhasil mendapatkan akar kayu gaharu.

Pernah Marlon pulang dengan badan kelelahan. Malam hari ia demam tinggi. Saya menangis melihatnya gigil karena malaria. Tapi itu tidak seberapa. Pernah suatu hari, teman Marlon, Alfonso, berteriak keras sekali karena ada lintah masuk di matanya setelah menyelam dalam lumpur. Ia harus menempuh perjalanan dengan perahu motor selama satu hari untuk tiba di rumah sakit agar tertolong.

Tuhan, jaga Marlon agar tidak pernah menderita seperti itu.

**

Hari ini, Alfonso datang ke rumah, mengantarkan satu karung pesanan beras saya di kios Bos. Ia juga mengabarkan dua hari lagi kapal akan kembali, saya bisa betemu Marlon lagi. Tapi  ia pulang terburu-buru, katanya ada kabar buruk dari dusun. Bos yang terus memaksa anak buahnya mencari gaharu tak percaya ketika mendengar bahwa tak ada lagi akar gaharu yang tersisa. Bos ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun, Bos tiba-tiba terpeleset ketika ikut meninjau tanah pencarian gaharu. Ia jatuh di lumpur. Tenggelam di sana. Saat orang-orang membantunya naik ke permukaan, Bos berteriak kesakitan. Satu lintah telah masuk ke matanya.

Kabar itu membuat saya bersedih sekaligus merasa lebih tenang. Barangkali setelah ini, Bos mau mengembalikan tanah itu kepada kami? [*]


Ilustrasi: Those Who Have Nothing To Lose (Pavel Filonov), dari WikiArt.org.

Baca juga:
Orang-Orang Pasar di Gunung Marwah
Hikayat Kelewang Pusaka Bes Ma’tani


22 thoughts on “Lintah Gaharu”

  1. shavier berkata:

    BAGUSSSS BANGETTT CERITANYAAAAA BANYAKKK BANGET PELAJARANN YANG BISA DI DAPET DARI CERITA INIII, KEREN IH

  2. Reo berkata:

    Ceritanya keren. seru

  3. Hasni berkata:

    Menarik lokal banget wkkwwk

  4. Novi berkata:

    Cerita yang bagus sesuai dengan kehidupan saat ini..pembelajaran yang di dapat untuk lebih bisa menjaga kekayaan alam sendiri,tidak tergiur dengan tawaran apapun..karena hidup lebih tenang dengan keadaan pas2an daripada awalnya manis tapi kehidupan selanjutnya sengsara..jangan sampai terlena dengan tipu daya orang

  5. Alifah berkata:

    cocok untuk dibaca

  6. Elizabeth Peny berkata:

    Menurut saya kisah ini menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat papua..mulai dari bantuan beras yang bahkan berbulan bulan baru sampai di tujuan..uang bantuan yang mungkin tidak seberapa dan tentang si Bos ini menurut saya gambaran orang dari luar daerah yang menggeruk kekayaan alam tanpa memikirkan nasib masyarakat sekitar..sangat cocok utk dibaca karena sesuai dengan kondisi papua yang sebenarnya

  7. ailen berkata:

    sangat menarik ,dan bagus untuk dibaca

  8. Harry berkata:

    Sangat bagus

  9. juliaya berkata:

    Menurut saya cepren tersebut sangat menarik untuk dibaca saat waktu luang,bisa juga dijadikan untuk refrensi tugas bahasa indonesia, cerpen tersebut sangat baik dalan pembagian strukturnya,bahasa yang digunakan mudah dimengerti

  10. Vira berkata:

    Setelah membaca ini bisa tau masih banyak orang yang kesusahan soal makan

  11. Putri adhelia berkata:

    Sangat rekomendasi banget ini ceritanya seruu,sedih campur aduk sangat cocok buat kalian baca

  12. novaz berkata:

    cerita yang sangat menarik saya selalu menyukai cerita dengan latar belakang pedesaan atau orang pedalaman, apakah cerita ini terinspirasi dari pengalaman anda selama bekerja di papua?

  13. Ryuzaku berkata:

    Apa yang bisa didapat dari kisah ini adalah semangat untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup dan berjuang demi kebahagiaan kita

  14. Idhartono berkata:

    Mindset bos dan pekerja beda, seperti ditulis Robert Kiyosaki “Rich Dad Poor Dad”

  15. Zikra berkata:

    Cerpen in bagus untuk di baca karna menjelaskan definisi hidup didalam marauke bagaimana dan macam macam kehidupan di sana

  16. Marcello berkata:

    Sangat seruuu

  17. Ali berkata:

    Kisah yang cocok untuk dapat belajar tentang bagaimana perjuangan hidup demi memenuhi kebutuhan sehari-hari

  18. Tije berkata:

    Kekayaan sangat mungkin menjadi berkat, namun begitu banyak manusia yang menodainya menjadi derita

  19. Nurdah berkata:

    Bagus bgtt kak ceritanya ????????. Menceritakan bagaimana perjuangan orang-orang di Timur untuk bertahan hidup dan demi sesuap nasi. Banyak bgt pelajaran yang bisa di dpt dri cerita ini ????

  20. Sri Rahayu berkata:

    Setelah membaca kisah ini kita dapat belajar bagaimana perjuangan hidup demi memenuhi kebutuhan sehari-hari

  21. Farhan berkata:

    Sangat cocok untuk dibaca

  22. Didan berkata:

    Mengapa pembangkit listrik

Komentar Anda?