Menu
Menu

Tak habis pikir ia dengan apa yang didengarnya. Bagaimanalah mungkin anak seorang marsaoleh menjadi bajak laut?


Oleh: Ridwan Hasan Pantu |

Lahir di Makassar. Pengajar di SMPN 4 Monano. Kontributor di rubrik Persepsi – Gorontalo Post. Tulisannya tersiar di Koran Fajar, Harian Rakyat Sultra, Gorontalo Post, wacaku.id, YMPAI.org. Back to Makassar adalah buku solonya. Penulis bermukim di Gorontalo Utara.


Cerita bajak laut sering dikaitkan dengan misteri harta karun yang disembunyikan di sebuah pulau rahasia. Namun, tak banyak yang tahu tentang warisan yang diturunkan kepada anak cucu bajak laut. Tentang sebuah kutukan yang akan dibawa oleh garis darah sepanjang hayat. Kutukan itu berupa penyakit yang kerap dikira bakat dan anugerah.

Beginilah kisah bajak laut penguasa teluk Tomini yang menjadi muasal kutukan itu. Pada malam tanggal 23 September 1788, jauh di sebuah pulau kecil di sekitar Teluk Tomini, seorang pemimpin bajak laut berhasil diringkus pasukan Sultan Gorontalo menggunakan tiga kapal kora-kora dan bantuan satu armada kapal Zaandijk VOC. Setelah mengejar komplotan itu berbulan-bulan, pasukan sultan tak menyangka pemimpin perompak berhasil ditangkap tanpa perlawanan, tanpa pengawalan seorang pun.

Begitu hangat pagi itu. Burung-burung laut menyambar-nyambar permukaan air di pantai. Tidak jauh dari rumah Syahbandar, orang-orang berkumpul di lapangan. Mereka ingin melihat wajah perompak bengis yang telah menebar teror selama beberapa purnama itu.

“Hukuman mati!”

“Kepala dibalas kepala, darah dibalas darah, nyawa dibalas nyawa!”

“Kemuliaan bagi Baginda Sultan!”

Teriakan dari orang-orang yang berkumpul seperti debur ombak Teluk Tomini yang menghempas tebing karang. Kumpulan wajah-wajah puas melepas dendam dan amarah. Teriakan-teriakan yang terlontar dari lubuk ingatan terdalam, tentang peristiwa pilu ketika anak-anak gadis mereka yang dirampas dari bilik-bilik; suami yang ditebas di depan mata istri dan anak-anak; pemuda-pemudi yang diikat dan diangkut di perahu menuju ke laut lepas, antah berantah.

Berhenti jua riuh rendah di lapangan itu ketika seseorang dengan pakaian seperti seorang pembesar—baju dengan kancing emas besar berjajar dari atas dada hingga perutnya dan penutup kepala bergaris sulam di kepalanya—menyibak kerumunan.

“Demi Tuhan pemilik alam dan demi Baginda Sultan penguasa tanah dan lautan, sebelum matahari di atas kepala, kau Lobo, si Iblis Laut akan digantung dan mayatmu untuk ikan-ikan di laut.” Suara sang pembesar terdengar tenang tapi sesungguhnya ia meredam amarah yang sama dalam hati.

“Sebelum Tuan Jogugu melaksanakan titah, izinkan saya bertemu dengan Bialu, istri saya di Kampung Ulu.” Si perompak memohon dengan suara sedikit bergetar. Ia mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.

Sang pembesar mendekatkan wajahnya ke wajah si perompak. Aroma laut terendus oleh kedua lubang hidungnya yang besar. Ia heran tersebab seorang perompak mengenali dirinya. Bagaimana mungkin ia mengetahui sang pembesar sebagai jogugu?

Sang pembesar menyetujui permohonan terakhir si perompak. Entah mengapa. Mungkin karena ia masih punya sedikit belas kasihan atau karena ia merasa seperti mengenal si penjahat itu.

Maka, diutuslah beberapa punggawa untuk membawa perempuan bernama Bialu, istri si perompak. Tak perlulah kita mengetahui bagaimana pencarian perempuan malang itu. Singkatnya, istri si perompak sudah berada di depan jogugu. Apa yang kemudian terjadi, sungguh tak ternyana.

“Demi keagungan Sultan dan kebaikan Jogugu, sungguh ia adalah Mualim, suamiku yang hilang sudah lama. Laamaa sekali.”

“Oh, aku sangat membencimu, Sayang. Mengapa kau tidak mati saja dimakan setan laut!” Sang istri memeluk lelaki yang menunggu akhir hidup di tiang gantungan itu.

“Kumohon berilah ampunan. Sungguh dia adalah anak seorang marsaoleh di Kampung Limutu.” Sang istri tersedu-sedu.

Membelalaklah kedua mata jogugu. Tak habis pikir ia dengan apa yang didengarnya. Bagaimanalah mungkin anak seorang marsaoleh menjadi bajak laut?

“Ceritakanlah dengan jujur, wahai Bajak Laut!” Sebilah pedang mengilat terhunus di depan hidung Mualim sang bajak laut.

Mualim pun bercerita awal mula kemalangan menimpanya. Ah, sekiranya si bajak laut itu yang bercerita, tentunya tuan pembaca yang budiman kurang paham. Maka dari itu, izinkan saya menceritakan kisah Mualim kepada tuan.

Demi mengawal upeti yang akan diantar ke Banggai, Mualim bersama pengawal lainnya berlayar mengarungi Teluk Tomini. Dua puluh orang awak perahu kora-kora harus mendayung sekuat tenaga, melaju, membelah laut biru. Burung-burung yang bermigrasi membentuk formasi memanjang di langit sore. Sementara itu, di bawahnya, para pendayung semakin mempercepat kayuhannya. Rupanya, mereka kedatangan kapal perompak yang mereka sebut “Iblis Laut”.

Karena kehabisan tenaga, perahu mereka berhasil dipepet oleh tiga kapal perompak berjenis penjajap. Sekitar 25 orang bersenjata pedang dan tiga orang membawa senapan arquebus berhasil menyerbu perahu milik Mualim.

Dirampok di tengah lautan, sungguh seburuk-buruk bencana. Ke manakah raga ini berlari atau bersembunyi? Demikianlah, pembantaian pun terjadi di atas perahu kora-kora. Tertusuk parang, tertembak senapan, atau dibuang ke laut adalah cara mengakhiri hidup yang tak pernah diharapkan bagi para pengawal upeti. Namun, sebelum matahari benar-benar tenggelam di ujung laut, pembantaian itu terhenti dan menyisakan tiga orang termasuk Mualim. Apa sebab?

“Izinkan saya bergabung dengan tuan-tuan,” kata Mualim tiba-tiba. Ia mengangkat kedua tangannya. Sebilah parang terhunus di hadapannya.
Pemimpin perompak tersentak. Bukan hanya karena tawaran Mualim, tetapi bahasa yang dipakai Mualim sangat ia pahami. Memanglah Mualim bukan sembarang manusia. Ia adalah asisten kapitan laut yang telah berlayar hingga ke Malaka, Tumasik, Sulu, Buton, Makassar, dan Maguindanao, pulau-pulau di mana bahasa yang dipakai oleh pemimpin perompak.

“Saya pernah berlayar dengan Kapitan Laut Sultan. Saya mengenali seluruh permukaan laut di teluk ini seperti mengenali tubuh saya sendiri. Mungkin saya berguna bagi kalian.”

“Dato hanya butuh taguluto. Tukang masak,” kata seorang perompak sambil membuka penutup penyimpanan ikan di dasar perahu.

Mualim melihat ikan bubara, buntal, cakalang, suntung, dan hewan laut lainnya masih bergerak-gerak di dasar perahu, menanti akhir hidup. Serupa nasibnya kelak, pikirnya.

“Kebetulan sekali tuan-tuan, saya ahli memasak. Semua jenis ikan bisa saya masak.” Mualim memutar otak.

“Saya pegang perkataanmu. Bersiaplah bertemu Dato. Tapi ingat, suasana hati Dato sedang kurang baik. Sudah empat orang taguluto dibunuhnya hanya karena makanan!”

***

Untuk diketahui pembaca yang budiman, pada masa itu, Sultan adalah pemimpin tertinggi di Gorontalo dan sekitarnya. Namun, pemerintahan berada di bawah kendali Belanda melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau kongsi dagang Hindia Timur dijabat oleh Governor J.A Schilling di Maluku.

Kepulauan Maluku menjadi magnet bagi bangsa Eropa untuk datang dan mengarungi samudera. Pala dan cengkeh adalah alasan dimulainya ekspedisi yang terkenal sebagai jalur rempah. Rempah yang hanya tumbuh di kepulauan teritori Sultan Maluku.

Aksi perompakan oleh bajak laut yang diketuai Dato Lobo atau si Iblis Laut kerap terjadi di jalur rempah. Beberapa kali laporan tentang perompakan kapal dagang dari Cina yang memuat sutera, guci, dan laudanum, pedagang Gujarat yang akan barter rempah dan kayu gaharu, kapal-kapal dari benua biru, bahkan sebuah benda pusaka dari tabung perak berisi apa yang disebut gulungan-naskah-malaikat berhasil dirampas dari sebuah kapal yang berlayar dari Malabar. Juga penjarahan kampung-kampung di pinggir pantai, membuat Governor Maluku dan para sultan seumpama anjing yang terpanggang ekornya.

Kesepakatan dilakukan antara VOC dan para sultan untuk menumpas perompak. Sayembara dengan hadiah 100 gulden untuk kepala pemimpin bajak laut diumumkan. Berita itu menjadi pelecut semangat bagi para pelaut untuk berburu kepala bajak laut. Bukan hanya itu, desas-desus tentang benda pusaka gulungan-naskah-malaikat lebih menarik perhatian Mualim.

Mualim telah mendengar tentang gulungan-naskah-malaikat dari para pelaut ulung yang pulang setelah melaut di negeri jauh. Pusaka itu berasal dari sebuah negeri di seberang laut sejauh kurang lebih 2500 farsakh, melewati selat “pria dan wanita”. Negeri itu dihuni manusia bermata biru. Perihal mukjizat gulungan naskah malaikat itu, masing-masing pelaut memiliki versi sendiri. Yang jelas semua dimulai dengan konon. Konon, naskah itu adalah peta menuju air mancur keabadian; peta sumur emas; jalur ke pusat bumi; negeri bidadari; ada pula yang mengatakan bahwa pusaka itu adalah sebuah kutukan.

Di atas perahu perompak, Mualim menitipkan takdir kepada Pemilik Alam Semesta. Dia mengirimkan ombak badai. Perahu terombang-ambing. Dua orang tawanan dilempar ke laut oleh pembajak. Dari percakapan mereka, Mualim mengetahui bahwa dua orang awaknya dijadikan tumbal agar badai segera reda.

Pagi yang basah. Kapal kora-kora bajak laut mendekati pulau dengan tebing karang yang menjulang. Di sisi utara, terlihat celah serupa mulut yang menganga.

Mualim memperhatikan seorang perompak yang ia duga sebagai pemimpin. Janganlah mengira wujud si bajak laut seperti Hayruddin Barbarossa atau Jack Sparrow. Sesungguhnya ia tidaklah bertopi tricorne dengan bulu burung tertancap di atasnya, atau memakai penutup mata sebelah kanan. Tidak jua ia berjanggut dan berkaki kiri palsu dari potongan kayu oak, dan seekor kakatua di pundaknya. Oh, iya. Tak perlu pula tuan membayangkan ada panji hitam bergambar tengkorak dan tulang menyilang di perahu.

Yang dilihat Mualim adalah seorang bertelanjang dada, hanya memakai cawat dari kain blacu dengan potongan kain pendek terjulur di depannya, pipa di sudut bibir untuk mengisap tembakau, sebilah parang di pinggang, juga bulu burung rangkong terselip di ikatan kepalanya. Dan seraut wajah laksana tanah liat yang dibentuk oleh sesuatu bernama kebencian.

“Apakah tuan adalah Dato Lobo, si Iblis Laut?” Penasaran jua Mualim kita.

“Tak usah bertanya tentang Dato Lobo. Nasibmu akan ditentukan jika sudah bertemu dengannya di Sarang!” Manusia arkais itu menjawab diakhiri dengan acungan parang.

Sarang yang dimaksud adalah markas bajak laut tempat Dato Lobo, si Iblis Laut dan para pengawalnya bersembunyi, tempat mereka memerintah kelompok-kelompok armada untuk merompak. Di tempat tu juga dikumpulkan harta rampasan dan budak-budak lelaki dan gadis-gadis di pulau itu.

Mualim mengetahui itu semua ketika ia bersama kelompok bajak laut masuk ke Sarang, melewati celah di tebing serupa mulut yang menganga, menutup dan membuka ketika pasang surut. Di sanalah ia melihat dengan mata kepala sendiri wujud si Iblis Laut, duduk di kursi perak berukir ular. Di sisi kiri kanannya, duduk beberapa gadis berkulit putih bermata sipit. Di bagian lain tempat itu terdapat sebuah perahu cadik yang tertelungkup, senjata bertumpuk-tumpuk, dan peti-peti. Hanya sembilan orang pengawal yang berjaga. Berdentum jua jantung Mualim. Perasaannya kacau tapi ia terus berusaha agar tetap tenang.

Tidakkah tuan penasaran dengan wujud si Iblis Laut itu? Sesungguhnya, ia tidaklah tampak berbeda dengan wujud bajak laut yang telah dilihat Mualim sebelumnya. Hanya saja sorot mata Dato Lobo, si Iblis Laut serupa mutiara putih tempat terperangkapnya jiwa-jiwa manusia.

Seorang perompak mendekat ke tempat Dato Lobo duduk. Terjadi percakapan dengan berbisik. Kemudian, dipanggillah Mualim untuk segera memasak di dapur.

Pada bagian ini, tak perlulah kita melihat bagaimana Mualim memasak ikan. Bukankah ia mengaku sebagai juru masak andal?

Selanjutnya, acara makan besar untuk hasil merompak dirayakan. Kendi-kendi berisi saguer di atas meja. Iblis laut memuji masakan Mualim. Namun, bukan untuk waktu yang lama. Pujian itu berbalik menjadi sumpah serapah ketika sang Iblis Laut mencengkeram tenggorokannya sendiri. Matanya melotot. Ia mencabut pedang dan mengamuk, menebas siapa saja di depannya. Ternyata semua pengawal bertingkah sama. Apa yang terjadi kemudian? Satu per satu dari mereka roboh dengan mulut berbusa, menggelepar dan mati seperti ikan buntal yang telah dimasak Mualim.

Mualim meninggalkan tempat itu dengan mendayung perahu cadik, mengarungi lautan. Sebelumnya, tak lupa ia mengambil ransum secukupnya, sebuah senapan, sekantung tail emas, dan gulungan naskah malaikat.

Mengenai gadis-gadis berkulit putih, tak usah tuan risau. Mualim telah memisahkan makanan mereka dan ia mungkin akan kembali ke pulau itu suatu hari nanti.

Setelah seharian mendayung cadik, mengarungi lautan, kandaslah perahu cadik Mualim di sebuah pulau yang tak dikenalinya. Dan dia harus bertahan hidup untuk waktu yang ia sendiri tak dapat menghitung lamanya. Tentang gulungan naskah malaikat, tentunya tuan penasaran sebagaimana juga Mualim yang akhirnya membuka gulungan dan membacanya. Betapa ia tak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ia berteriak sekencang-kencangnya. Apakah isi naskah malaikat itu?

Yang jelas, sejak saat itu, Mualim selalu tertawa dan memukul-mukul kepalanya. Hampir setiap hari, gambaran cerita terangkai, jalin-menjalin dalam kepalanya. Menumbuk-numbuk ruang-ruang dalam benaknya, seolah ingin keluar. Ia tak dapat tidur kecuali telah menceritakan kisahnya kepada siapa saja dan apa saja yang ia temui. Hingga nanti, ia akan terus menulis dan berkisah tentang bajak laut. Dan kutukan itu menimpa anak cucunya. Selamanya. [*]

Keterangan:
Jogugu: Jabatan sekelas menteri/pembantu sultan.
Marsaoleh: Jabatan setingkat camat.
Taguluto: Tukang masak.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Terpidana Nomor 19394
Mimpi-Mimpi Seorang Buruh


Komentar Anda?