Menu
Menu

Hidup mungkin memang berjalan seperti permainan kartu; kalau sangat mujur, nasibmu bisa berbalik semudah membalikan telapak tangan.


Oleh: Yuan Jonta |

ASN di Ruteng. Anggota Klub Buku Petra.


Sebut saja dia Marungge. Namanya aku samarkan agar suatu saat ketika membaca cerita ini, ia tidak menjadi marah karena aku menceritakan kisah hidupnya tanpa izin. Ia memang memintaku menulis tentangnya tapi bukan dalam bentuk cerpen seperti ini. Aku agak keberatan dan memutuskan untuk membuat cerpen saja, walau barangkali tidak etis dan sedikit curang.

Kami menjadi teman baik karena sama-sama menyukai Rivaldo, penyerang asal Brazil itu. Kuingat, di malam Final Piala Dunia 2002, saat orang-orang girang dengan dua gol Ronaldo, dan beberapa dari mereka mengipas uang hasil taruhan sambil menyerukan namanya; aku dan Marungge hanya bisik-bisik mengatakan bahwa Rivaldo-lah pahlawan yang tidak dinyanyikan. Kau ingat. Gol pertama terjadi karena kiper Jerman tidak dapat mendekap bola hasil sepakannya dengan sempurna; dan gol kedua terjadi setelah ia dengan cerdik meloloskan bola di antara kakinya, menipu bek Jerman, membuat Ronaldo berdiri tanpa penjagaan.

Keesokan harinya, kami bercerita tentang pertandingan itu dalam sebuah formasi lingkaran kecil—begitulah setiap pagi kami berdiri sebelum jam pelajaran dimulai. Pagi itu sinar matahari merayap, mengintip kami dari sela-sela pepohonan jati. Dari antara batang-batang dan ranting-rantingnya, sinar itu menyusup di antara tubuh teman-temanku yang berdiri, seberkas cahaya menyinari wajah Marungge yang sedang bercerita, menerangkan betapa ciamiknya Rivaldo bermain di malam final itu. Ia berbicara seperti seorang komentator sepak bola benaran, kata-katanya menari-nari, dipadukan dengan gerak badan dan kakinya yang ikut memeragakan detail ceritanya. Teman-temanku mengangguk-angguk sehingga kurasa mereka juga sepakat bahwa Rivaldo memang lebih layak mendapat pujian. Marungge memang pandai memengaruhi orang. Ia sepertinya terlahir dengan bakat itu.

Aku menyukainya karena kemampuannya itu. Seringkali kuperhatikan dirinya ketika sedang bercerita: mimiknya, nada bicaranya, penjiwaannya, dan pada irama mana ia akan menyisipkan lelucon. Ia tahu betul bahwa lelucon adalah kunci untuk membuat orang betah dan ia sangat lihai menerapkannya. Aku pernah beberapa kali meniru tekniknya tetapi, seperti yang kubilang tadi, kemampuan itu adalah bakat dan tidak dapat ditiru bila memang kau tidak diberkahi.

Kubilang begitu, sebab saat aku bercerita, teman-temanku sering sekali mengalihkan perhatiannya dan mereka akan menggoyang-goyangkan kakinya karena tidak betah. Bila aku menyampaikan lelucon mereka akan mengeluarkan tawa yang tanggung, seperti hanya membuang napas yang sudah mereka tampung sambil bersuara ha-ha-ha. Aku bersyukur sebab aku cukup cepat menangkap tanda itu, sehingga tidak memaksakan diriku untuk terus bercerita dan membuat orang meninggalkan lingkaran kami.

Kupikir, aku tidak akan menjadi penutur yang baik. Dan karena perbedaan inilah makanya aku dan Marungge dapat berteman baik. Ia adalah orang yang tak henti-hentinya berbicara, sementara aku adalah adalah seorang pendengar yang bersungguh-sungguh dan cukup sabar. Aku bilang cukup sabar karena sebenarnya mendengarnya terus-menerus kadang membuatku lelah, tetapi aku masih saja memasang sikap mendengar dengan serius. Tidak enak juga meninggalkannya ketika berbicara, aku hanya takut ia berbicara sendiri dan terlihat seperti orang dengan gangguan jiwa.

Pernah sekali, saat aku sedang main ke rumahnya, saking tak habis-habisnya ia berbicara—dan tidak teganya aku memintanya berhenti bicara, aku terpaksa menginap. Di dalam rumahnya yang terbuat dari dinding papan itu aku tidak dapat tidur. Angin masih lolos dari sela-sela papan dan membuatku kedinginan, selain itu udara rumahnya pengap akibat kepulan asap rokok dari ruang tengah. Hampir tiap malam ayahnya merokok dan bermain kartu dengan teman-temannya. Ibuku marah kepadaku karena menginap di rumahnya dan mengatakan bahwa aku tidak boleh lagi main ke rumahnya agar tidak terpengaruh oleh ayah Marungge yang suka bermain kartu. Aku diam saja saat itu. Tentu saja aku tidak akan terpengaruh.

Di satu hari memang, kuingat ayahnya pernah memengaruhi kami dengan kartu; kau tahu, seorang yang pandai memengaruhi tidak akan langsung memintamu melakukan hal yang ia inginkan. Awalnya ia akan mengubah sikapmu dengan menyampaikan hal yang paling dapat kau terima. Itu yang kupikir sedang dilakukan ayahnya. Ia tidak memberi tahu kami untuk bermain kartu, tetapi lewat sebuah analogi tentang cara hidup: “Untuk dapat berhasil dalam hidup, kau perlu memahami filosofi kartu, kau perlu belajar banyak trik dan sesekali kau harus berjudi.” Begitu katanya kepada kami. Sungguh sebuah filosofi yang sesat, dan tentu saja, Bu, Aku tidak akan mengikuti nasihat hidup yang keliru semacam itu.

Itu terjadi setahun sebelum ayahnya menjual seluruh bidang tanah warisannya, sehingga yang tersisa hanyalah rumah reyot tempat tinggal mereka. Kau tahu, aku sedih karena ayah dari teman baikku jatuh oleh cara pandangnya sendiri. Dan lebih sedih lagi karena Marungge harus pindah sekolah akibat kesialan yang mereka alami. Sejak saat itu, aku jarang bertemu dengannya.

Tiga tahun kemudian, saat aku melanjutkan pendidikan di sebuah Sekolah Tinggi Filsafat yang letaknya di ujung pulau, kabar bahwa ayahnya meninggal sampai padaku. Aku turut sedih mendengarnya. Lelaki yang malang. Lewat pesan singkat aku mengirim ucapan dukacita kepada Marungge. Ucapan itu tidak dibalasnya. Mungkin ia kadung tenggelam dalam duka atau sedang tidak punya pulsa.

Kurang lebih lima tahun setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk keluar dari frater. Kau perlu tahu, alasan aku keluar bukan karena tergoda untuk menikah, tapi memang aku adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga kami. Seorang anak laki-laki adalah ranting yang diharapkan dapat menyambung cabang baru di pohon keluarga. Setelah pulang ke kota asalku, aku temukan pekerjaan yang cocok yaitu, menjadi wartawan di sebuah media lokal. Suatu hari, saat sedang meliput berita tentang pengumunan pasangan bakal calon kepala daerah, aku berjumpa dengan Marungge.

Pertemuan itu terjadi dalam waktu yang singkat, kami hanya sempat bertanya kabar, ia bilang belum memiliki pekerjaan dan hari-harinya diisi dengan berjalan ke desa-desa mengikuti junjungannya. Ia langsung beranjak bersama rombongan itu saat bakal calon kepala daerah yang mereka dukung akan kembali ke sekretariat pemenangan. Aku hanya dapat melihatnya menjauh saat ia membawa motor, memboncengi seorang anak yang kurasa sudah berusia remaja awal, sedang memegang bendera besar berwarna biru.

Setelah itu, setiap kali meliput berita tentang pasangan bakal calon yang ia junjung itu, aku selalu menyempatkan diri bertemu dan mengobrol dengannya. Kami berbicara tentang pengalaman masa SMA dan tentang sepakbola. Kami tidak bicara politik sama sekali, hal itu membuatku nyaman, karena kami berbicara sebagai seorang teman. Tidak ada konflik kepentingan. Namun tentu saja ia yang lebih menguasai pembicaraan, sementara aku adalah seorang pendengar yang semakin baik dan sabar.

“Hidupmu beruntung sekali,” katanya sekali waktu. Aku mau sekali menjawabnya bahwa pekerjaan dan hidupku bukanlah sesuatu yang dapat dibilang beruntung. Tapi mungkin dari sudut pandangnya, ada benarnya juga.

Setelah pemilihan kepala daerah selesai, aku sudah jarang menjumpainya lagi. Kau dapat menebak, itu karena pasangan calon kepala daerah yang ia dukung kalah. Kalau menang, tentu kami akan lebih sering bertemu, mungkin di kantor kepala daerah, di rumah jabatan, atau mungkin di lokasi-lokasi proyek. Sesekali aku mengajaknya bertemu tetapi dia selalu punya alasan sehingga pertemuan itu tidak terjadi. Mungkin ia malu karena masih belum mendapat nasib mujur.

Hidup mungkin memang berjalan seperti permainan kartu; kalau sangat mujur, nasibmu bisa berbalik semudah membalikan telapak tangan. Marungge mendapat jackpot, karena suatu hari aku mendengar kabar mengejutkan. Ia menikah dengan anak wakil kepala daerah. Ya, kuulangi lagi dengan titik dua: Ia menikahi anak seorang wakil kepala daerah.

Ibu pernah bercerita kepadaku bahwa mereka yang telah terbang ke alam baka masih membawa kebiasaannya saat masih hidup. Jadi kupikir, mendiang ayah Marungge juga membawa kebiasaannya. Sebab kudengar cerita ini, dari orang lain yang mendengarnya dari orang yang dekat dengan Marungge. Suatu malam ayahnya datang menemuinya dalam mimpi. Lelaki itu meminta Marungge menarik selembar kartu dari kotaknya, saat ia menariknya, ia mendapatkan selembar kartu king of heart. Ketika terbangun, ia menemukan kartu itu di dalam saku celananya, dan kartu itu dia bawa ke mana-mana. Semenjak itu, ia seperti terlahir kembali, wajahnya cerah seperti fajar pagi hari, dan rambutnya berkilau seperti malam berjuta bintang. Dan anak wakil kepala daerah itu, tiba-tiba jatuh cinta padanya. Itu adalah bualan yang tidak masuk akal bukan? Aku lebih percaya pada kisah yang lain.

Suatu hari anak wakil kepala daerah yang sedang sakit hati karena ditinggal kekasihnya bertemu dengan Marungge dalam sebuah pesta pernikahan. Kau pernah mengalami patah hati bukan? Bila kau pernah mengalaminya, kau pasti paham bahwa orang patah hati butuh obat luka yang baik. Dan obat itu bisa datang dari mulut orang yang dapat membuat hatimu merasa sejuk dan menjadi nyaman. Marungge menguasai mantra mengobati sakit hati, ia pandai menempatkan lelucon di sela-selanya.

Aku dapat membayangkan percakapannya dengan wanita itu, seperti: “Aku tidak pernah ada di posisimu, tapi aku mencoba memahami perasaanmu”, atau “cukup ceritakan hal yang menurutmu nyaman untuk diceritakan”, atau “pasti berat sekali berada dalam situasi itu”, lalu “kau tahu, kau bisa mencoba memulai kembali hubungan kalian”, lalu “Ya, mungkin bila berjodoh, kalian akan bertemu lagi”, lalu “Sesekali kita dapat saling bertukar cerita, bolehkah saya minta nomor kontakmu?”. Kau tahu, melalui kata-katanya itu, ia sedang membangun rasa nyaman, mengukur sikap, dan mengetuk pintu masuk. Aku tahu itu, karena aku mengenalnya lebih baik dari kalian semua.

Waktu tiga bulan dalam menjalin hubungan adalah waktu yang sedikit untuk dapat saling mengupas diri lebih dalam, tetapi dalam gelora cinta mereka, itu adalah waktu yang cukup untuk melakukan hal yang lebih dari pada mengecup kening satu sama lain. Ia pasti memakai trik terbaiknya, berjudi dengan nasib. Menggauli anak gadis lawan politikmu hanya akan membuatmu menunggu ditampar nasib. Jabang bayi itu bisa saja digugurkan, lalu kau bisa dihajar kalau tidak dibunuh. Atau bila nasib baik ada padamu, seperti misalnya, ayah pacarmu sangat menyayangi anaknya dan tidak mau anaknya sakit hati, kau akan diizinkan untuk menikahinya.

Malam gemerlap dan bintang-bintang bertaburan di langit kota kami. Kejora adalah yang paling bercahaya dan dikenali, ia mencuri perhatian siapa saja sehingga sering sekali dituliskan ke dalam puisi atau cerpen seperti ini. Malam ini, pada periode ketiganya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, Marungge mengundangku ke rumahnya dalam rangka acara penermiaan sakramen permandian anaknya yang ketiga. Ada banyak wartawan di sana. Aku dengar bisik salah seorang rekanku bahwa ia sengaja mengundang banyak wartawan agar ia dapat diekspos ke publik. Ia mau maju jadi wakil kepala daerah seperti mendiang mertuanya.

Di depan pintu rumahnya ia berkata agar aku membuat tulisan tentangnya. Tetapi aku agak kesulitan membuat tulisan tentang anggota dewan, sehingga aku memutuskan untuk membuat cerpen ini saja.(*)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
Terpidana Nomor 19394
Memahami Rasa Lelah yang Disebabkan Kura-Kura Berjanggut


Komentar Anda?