Menu
Menu

Sekalipun tentang kisah hidup Kolo di Yogyakarta, alur dan gaya bercerita Unu Ruben Paineon selalu menghubungkan realitas di Yogyakarta dengan kondisi mamanya maupun masyarakat di kampungnya, di TTU.


Oleh: Aurelius R. L. Teluma |

Penikmat Sastra, Anggota Forum Batu Tulis Nusantara, Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mataram.


Saya seringkali mengenali sastrawan setelah mencecap karya mereka. Namun, saya mempunyai kisah perjumpaan yang berbeda dengan seorang sastrawan muda berbakat asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Unu Ruben Paineon. Saya lebih dahulu bertemu, berkenalan, bercengkerama, bahkan berdiskusi, baru saya ketahui bahwa ia seorang novelis, sastrawan.

Siapa sangka, pemuda sederhana dengan rambut keriting sedikit gondrong yang saya jumpai pada suatu forum diskusi tengah malam awal 2012 itu ternyata seorang novelis produktif. Forum Batu Tulis Nusantara (FBTN), sebuah forum diskusi rutin Jumat malam di Yogyakarta memang mempertemukan saya dengan Unu Ruben Paineon.

Saya mengingatnya dengan baik, malam itu di Kafe Lidah Ibu, ia memperkenalkan diri dengan nama Ruben. Tetapi hampir semua peserta yang hadir memanggilnya “Unu”. Maka saya pun ikut memanggilnya Unu. Sebaliknya, ia selalu memanggil saya dan hampir semua lelaki yang hadir, tua dan muda dengan satu sapaan: Om.

Saya pun masih mengingat dengan baik. Gayanya ketika memulai pembicaraan menunjukkan kerendahan hatinya sekaligus pilihan sudut pandangnya yakni pada hal yang praktis, konkrit, empirik, sesuai pengalaman maupun pengamatannya yang jeli.

Pernah dalam sebuah diskusi tentang ambivalensi identitas, saya teringat saat ia memulai tanggapannya, “Penjelasan Om tadi dengan perspektif orientalisme soal krisis identitas itu memang bikin kami paham. Tetapi, kalau saya melihatnya begini Om, orang-orang kita itu….” Lalu ia mulai mengisahkan beberapa hasil pengamatannya yang seringkali membuat kami tertawa karena fenomena tersebut akhirnya terlihat lucu dan layak ditertawakan.

Kembali ke soal namanya, setelah beberapa Jumat berlalu, saya baru mengetahui jika Unu tak hanya panggilan untuk kakak lelaki Timor Tengah Utara (TTU) yang disematkan pada nama penanya tetapi juga judul novel pertamanya, Unu (Juxtapose Korporasidea, Yogyakarta, 2009). Ah, ternyata ia seorang sastrawan. Saya jadi paham, mengapa ia selalu jeli mengamati hal-hal konkrit dan menjadikannya sebagai bahan diskusi bahkan argumentasi.

Unu dan Kolo: Merawat Jati Diri

Unu Ruben menjadikan sosok seorang pemuda suku Atoni Meto dengan segala pengalaman sosial-budaya hingga perjuangan dan cita-citanya sebagai tokoh utama dalam ketiga novelnya.

Novel Unu (2009) mengisahkan perjuangan  Yanto/Unu, putra sulung dari sebuah keluarga sederhana di pedalaman pulau Timor. Aneka tradisi dalam sistem kekerabatan di Timor khususnya maupun NTT umumnya menuntut seorang putera sulung selalu ikut memikirkan kelestarian adatnya, kejayaan suku, keluarga, bahkan kampung halamannya. Padahal, kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupi seringkali tidak mendukung.

Novelis kelahiran Oa’bikase, TTU, 14 September 1980 ini dengan gamblang menyingkap betapa himpitan ekonomi dan kultur pelayanan publik yang tidak bersahabat di pedalaman tanah Timor dapat saja membunuh cita-cita generasi muda pulau Timor. Maka Ruben menitipkan dan menanamkan idealisme yang sangat kuat dalam novel perdananya ini: seorang Unu harus tetap melanjutkan pendidikannya demi mengangkat harga diri keluarga dan kampungnya. Titik! Jati diri seorang Unu adalah pemuda pantang menyerah.

Sekalipun bukan sebagai lanjutan, karakter seorang pemuda Atoni Meto masih menjadi tokoh utama dalam novel keduanya yang berjudul Benang Merah (Indie Book Corner, Yogyakarta, 2015). Benang Merah mengisahkan perjuangan seorang pemuda Timor, NTT, Kolo, untuk menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta dalam kondisi yang penuh keterbatasan.

Kolo hanyalah seorang anak yatim. Menurut cerita dari sang ibu, ayah Kolo meninggal dunia saat Kolo baru berumur tujuh tahun karena ditembak oleh segerombolan perampok berseragam. Ayahnya ditembak mati karena ia adalah seorang pencuri kelas kakap. Konon, almarhum ayahnya mencuri karena lama menganggur atau malas bekerja atau putus asa menjadi petani. Apa pun versi ceritanya, hidup Kolo terasa pincang setelah ditinggal ayahnya.

Walau berpusat pada pergulatan hidup Kolo untuk meraih cita-citanya, gambaran Ruben tentang sosok ibunda (mama) Kolo menyingkap sisi heroik begitu banyak ibu tunggal di NTT yang berjuang keras demi kesuksesan anak-anak mereka. Fenomena ibu tunggal yang mengasuh sendiri anak-anaknya di pedesaan NTT bukanlah cerita yang asing. Ditinggal oleh pasangannya karena meninggal dunia maupun karena pergi merantau dan tak kembali adalah fakta sosial yang sering ditemui di desa-desa NTT.

Gambaran kedekatan emosional (dan ekonomis) antara Kolo di tanah perantauan dengan mamanya melahirkan narasi ketangguhan sang ibu tunggal dalam keterbatasannya. Hebatnya, Ruben membalikkan kondisi ketidakberdayaan mama si Kolo sebagai sumber inspirasi perjuangan dan sikap pantang menyerah si pemuda.

Cermati satu kalimat favorit ini, “Saya sama sekali tidak yakin kalau mama akan mampu membiayai kuliah saya… Kalau tidak yakin, mengapa harus datang jauh-jauh ke sini?… Kalau harus menunggu hingga yakin, saya tidak akan pernah melangkah.” (hlm. 50). Bagi saya, kalimat perang batin Kolo ini menawarkan penafsiran yang kaya dan mendalam. Sekilas, kalimat tersebut seakan menggambarkan Kolo yang keras kepala, yang meremehkan mamanya. Tetapi, jika direnungkan lebih jauh, kalimat tersebut justru menawarkan satu cara berpikir dan disposisi batin paling jitu bagi seorang mahasiswa perantau dari keluarga pas-pasan agar tidak menyerah pada kondisi ekonomi keluarga yang sulit.

Kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa Kolo sangat dekat dengan mamanya dan mengenal mamanya dengan sangat baik serta sangat jujur mengakui kemampuan ekonomi mamanya; keluarganya. Kesediaan mengenali dan mengakui kondisi ekonomi keluarga merupakan langkah paling pertama bagi seorang mahasiswa perantau sehingga bisa mawas diri lalu menyesuaikan gaya hidupnya sehingga tidak menyiksa orang tuanya di kampung sekaligus tidak membahayakan kelangsungan studinya. Seringkali, kegagalan studi seorang mahasiswa perantau dimulai dengan penyangkalan terhadap kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan alias lupa diri.

Di atas kesadaran dan kejujuran yang demikianlah, tumbuh tekad kuat Kolo: saya yang harus bertindak untuk mewujudkan cita-cita saya. Walau kiriman uang dari mamanya datang tidak menentu, Kolo tak berputus asa. Dia bersama teman-temannya berusaha dengan berbagai cara, termasuk menjual koran di perempatan jalan untuk bisa bertahan hidup dan menyelesaikan kuliahnya.

Bagi teman-teman Ruben yang mengenalnya secara dekat selama menjadi anak kos di Yogyakarta, kisah si Kolo dalam novel Benang Merah ini menjadi mudah menemukan personifikasinya. Sejumlah fakta dirinya bersama teman-temannya yang namanya juga menjadi tokoh-tokoh cerita seakan tertuang dalam Benang Merah.

Tentu saja, novel Benang Merah tak melulu soal perjuangan Kolo mempertahankan hidup di Yogyakarta. Soal asmara dan kekonyolan mahasiswa asal NTT di Yogyakarta pun tetap ditemukan dalam alur novel ini. Namun seperti biasa, gaya bertutur Unu Ruben seringkali menampilkan potongan-potongan kalimat reflektif dan kritis. Baru saja pada halaman-halaman awal, Ruben menyentil eksistensi hubungan cinta jarak jauh (LDR), “Benar bahwa hati… mampu menembus ruang dan waktu. Tetapi itu hanya sekadar kalimat hiburan belaka… Gejolak hati hanya mampu ditenangkan dengan daging yang sama dan dari jarak yang begitu dekat. Jarak tetaplah sebuah ukuran” (hlm. 2). Penggalan kalimat ini memang cukup “menyapa” bagi para mahasiswa yang baru saja merantau karena biasanya harus berpisah dengan pacar atau teman dekatnya semasa SMA.

Hal istimewa lainnya, sekalipun tentang kisah hidup Kolo di Yogyakarta, alur dan gaya bercerita Unu Ruben Paineon selalu menghubungkan realitas di Yogyakarta dengan kondisi mamanya maupun masyarakat di kampungnya, di TTU. Sekalipun patut diberi catatan di sini jika gaya bertutur semacam ini memberi kesan melelahkan bagi pembaca karena harus ikut melakukan kilas balik berulang-ulang.

Maka, dalam novel Benang Merah yang berlatar Yogyakarta pun, terpajang aneka khazanah tradisi orang Dawan dan tanah Timor serta NTT beserta peliknya kondisi sosial-politik masyarakat akibat salah urus dan ketamakan para penyelenggaranya. Kisah pengemis di Jawa dan pencuri di Timor menjadi salah satu artikulasi perhatian, kegelisahan dan kritik sosial Ruben dalam novel keduanya ini. Kelak, kegelisahan dan kritik sastrawan NTT berbakat ini memuncak dalam novel ketiganya, Foek Susu (Pelangi Sastra, Malang, 2019).

Foek Susu: Tentang Harga Diri dan Rasa Malu

Tampaknya perlu saya menuliskan subbagian tersendiri tentang novel ketiga Unu Ruben yang berjudul Foek Susu. Pertama, karena tema, titik konflik, dan titipan-titipan makna yang kaya, luar biasa tapi konkrit. Kedua, seolah mewahyukan perkembangan kematangan kepenyairan sang penulis, teknik dan gaya bercerita Unu Ruben di novel ketiga ini lebih enak dicerna.

Judul Foek Susu diambil dari khazanah bahasa Dawan yang menunjuk pada sapi yang disiapkan khusus untuk disembelih ketika orang meninggal dunia. Sapi tersebut tak boleh dijual apa pun alasannya. Foek Susu berhubungan erat dengan harga diri sebuah keluarga. Karena itu, orang tak boleh kehilangan foek susu apa pun terjadi.

Sebagaimana judulnya, novel Unu Ruben Paineon yang ketiga ini mengisahkan tentang Kolo yang telah menamatkan kuliahnya. Kolo pulang ke kampung halamannya sebagai sarjana yang cerdas dan kritis. Namun di kampungnya, selama beberapa bulan, Kolo harus bergelut dengan sejumlah masalah yang sangat menghantui batinnya: cinta jarak jauh dengan kekasihnya si Mega di Jogja, dan terutama pengangguran. Di hadapan dua masalah besar ini, integritas dan harga diri Kolo diuji.

Tentang asmaranya, Kolo tampaknya cukup cepat mengambil sikap realistis. Kolo sadar bahwa ia dan Mega tak akan mencapai kebahagiaan “jika hanya saling memberi cinta lewat angan dan angin. Itu omong kosong…Tak mungkin angan setulus yang diharapkan, tak mungkin angin sepolos yang diinginkan. Angan dan angin tentu sudah lama kelelahan di jalan-jalan, cinta dan rindu-rindu tentu sudah tersesat di mana-mana” (hlm.49). Kolo pun mengakhiri hubungan cintanya dengan Mega.

Tetapi, bagaimana dengan menjadi pengangguran berbulan-bulan dengan ijazah sarjana di tangan? Sementara orang-orang di kampung sudah memanggilnya dengan kase, panggilan kepada orang yang telah berpendidikan tinggi. Ke mana-mana, Kolo harus menjawab pertanyaan yang sama; “Sudah kerja di kantor mana?” Sementara itu, tiga gadis cantik, Inda, Inri, dan Ika, tenaga kontrak perawat di Puskesmas, terus mendekati Kolo…

Kolo sangat malu pada ibunya dan orang-orang sekampung. Ibunya tentu juga malu karena anaknya yang sarjana belum juga bekerja di kantor. Berulang kali, Kolo mencari informasi lowongan kerja dengan berbagai cara tetapi tetap saja tak ada yang sesuai dengan bidang ilmunya. Kolo sempat berencana menanam sayur untuk dijual tetapi tak punya modal.

Akhirnya, Kolo mendapatkan informasi lowongan kerja sebagai tenaga honorer di sebuah kantor pemerintahan dari Pak David dan Pak Heri, dua guru PNS senior di kampungnya. Melalui kedua senior tersebut, Kolo dipertemukan dengan mamtua Ibu Neldis, orang sekampungnya yang telah menempati posisi strategis di tingkat kabupaten.

Nama Kolo pun terdaftar sebagai calon tenaga kontrak di sebuah kantor pemerintahan. Namun, yang mencengangkan, Kolo memutuskan tidak jadi bekerja! Kolo terganggu dengan kecurangan sistem rekrutmen yang terjadi. Dia bisa bergabung karena melalui orang dalam. Satu lagi, jika nanti para “penjasa”itu meminta imbalan, ibunya tak punya pilihan lain selain menjual sapi bone; foek susu ibunya itu. Bagi Kolo, semua itu kecurangan; “Malu. Memalukan” (hlm.182).

Melihat tema dan alurnya, novel Ruben yang ketiga ini seakan tak banyak menawarkan wacana baru. Apa yang diangkat Ruben adalah kondisi yang jamak dialami begitu banyak sarjana di NTT. Kelangkaan lapangan pekerjaan adalah fakta yang hingga saat ini masih dijumpai di semua sudut wilayah NTT bahkan di kota-kota kabupaten. Kalaupun ada yang bekerja sebagai tenaga honorer, kondisi kesejahteraan mereka masih sangat jauh dari layak. Bahkan, hingga ada sebutan “tenaga sukarelawan” untuk para sarjana yang bekerja pada instansi pemerintah setempat dengan hanya diberi uang transpor seadanya dengan harapan suatu saat angkat diangkat sebagai pegawai tetap.

Persoalan pengangguran dan keterbatasan lapangan pekerjaan seperti ini sejatinya sangat struktural. Karena kedekatan topik ini, narasi Ruben pun tak banyak menawarkan analisis maupun gagasan revolusionernya yang terkesan membeda dan mendobrak kondisi struktural tersebut. Tampaknya ini menjadi salah satu kelemahan wacana yang dibangun Unu Ruben dalam Foek Susu ini.

Sekalipun demikian, saya mengapresiasi pilihan Ruben yang berusaha mengatasi kegelisahan sosialnya itu dengan menempatkannya pada tanggung jawab integritas personal, kematangan intelektual dan kecerdasan sosial si sarjana. Hampir seluruh aktivitas Kolo dalam novel ini ditempatkan Ruben di lumbung atau lopo dalam bahasa Dawan. Lopo bagi orang Dawan tak hanya lumbung tetapi titik sentral perjumpaan dan percakapan manusia dengan sesama, dirinya bahkan Sang Pencipta. Lopo terutama bagian hala’ ‘bena atau tempat multifungsinya merupakan tempat bercengkerama, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah.

Ruben menempatkan Kolo di lopo bersama orang-orang tua seperti Naef Markus Eba, Naef Titus Bona, dan ibunya, juga para pegawai seperti Pak David dan Pak Heri, maupun teman-teman sebayanya termasuk ketiga gadis bidan perawat hingga anak-anak kecil yang belajar menulis dan membaca. Di lopo tersebut, Kolo terlibat aktif dalam seluruh percakapan dan menjadi tempat bertanya. Bahkan, di lopo, Kolo memberikan solusi “jalan tengah” kepada orang-orang tua yang suka meminum tuak dan mabuk. Namun, di lopo pula, Kolo belajar mempertahankan harapannya atas masa depannya serta mengendalikan rasa malunya. Bagi Kolo, menjadi sarjana dan Kase, sekalipun tak bekerja di kantor, tetap harus memberikan solusi bagi orang-orang di sekitarnya; minimal pada aspek cara berpikir. Dengan cara ini, harga diri, sikap tahu malu, integritas, idealisme, dan foek susu tetap tak terbeli sekalipun dalam kesulitan.

Terlepas dari kelemahan dan kekuatannya, bagi masyarakat Dawan, ketiga novel Unu Ruben Paineon telah merekam begitu banyak istilah dan makna tradisi suku Dawan. Rekaman ini mengabadikan tradisi-tradisi tersebut karena telah tertulis dalam kisah yang dapat dibaca kapan saja. Betapa para pembaca novel Unu Ruben ini pasti akan terlempar ingatannya pada sudut-sudut kampung halamannya sekalipun sudah ditinggalkan bertahun-tahun.

Unu Ruben Paineon Berpulang

Sabtu siang, 7 Agustus 2021, tak disangka, sejumlah pesan masuk di grup WhatsApp Forum Batu Tulis Nusantara Yogyakarta (FBTNY) mengabarkan berpulangnya sastrawan NTT berbakat ini; Unu Ruben Paineon. Rasa sedih dan kehilangan tentu saja segera mendera. Teringat terakhir kali berjumpa pada awal 2018 sebelum saya pindah dari Jogja ke Mataram, NTB. Kami masih sempat nongkrong cukup lama di salah satu gazebo Café Arcaf di Tambak Bayan.

Saya membuka inbox FB Messenger. Masih terbaca di sana, percakapan terakhir tertanggal 15 April 2019 tentang pengiriman novel ketiganya Foek Susu. Saya mengambil novel itu dari rak buku. Tertulis tangannya di halaman pertama: “Relly, Nita & Gratio, Selamat Membaca. Semoga terhibur ya.”

Terima kasih sahabat, terima kasih penyair, terima kasih sastrawan. Terima kasih atas warisan idealismemu dalam karya-karyamu. Engkau menulis karena jujur terhadap dunia yang sedang engkau lihat dan alami. Selamat memasuki rumah dan lopo abadi di surga.(*)


Baca juga:
Gerakan Sentrifugal dalam Mama Menganyam Noken
Lima Fungsi Imaji Biblikal dalam Komuni Karya Saddam HP


Komentar Anda?