Menu
Menu

Asef, yang juga tumbuh dalam atmosfer intelektual humaniora, dengan buku Pada Sebuah Radio Dangdut ini mendekatkan siang dan malam itu.


Oleh: Ramayda Akmal |

Penulis dan Pecinta Sastra. Mahasiswa doktoral di Universität Hamburg dan pengajar di FIB UGM. Menulis dua novel, Jatisaba (2017) dan Tango & Sadimin (2019).


Identitas Buku

Judul Buku: Pada Sebuah Radio Dangdut
Penulis: Asef Saeful Anwar
Penerbit: JBS
Tahun Terbit: 2021
Jumlah Halaman: 188 Halaman

***

Terus terang, ketika pertama kali mendapatkan kiriman buku ini, saya mengumpat dalam hati: “Bisa-bisanya teman satu ini tanpa tanda-tanda sebelumnya, mengirimi kebahagiaan berlipat ganda. Saya adalah pecinta dangdut, saya juga hobi terjebak nostalgia, terutama tentang kenangan saya jualan nasi padang sambil mendengarkan radio di warung kecil milik orang tua. Dan momen-momen ini menyeruak ketika saya dengan perlahan “membaca radio dan mendengarkan cerita” di buku Pada Sebuah Radio Dangdut ini.

Buku yang ditulis Asef Saeful Anwar ini terdiri dari sembilan cerita yang merupakan resepsi dari lirik-lirik lagu dangdut. Lagu-lagu ini dinyanyikan para raja dan ratu dangdut tahun 90-an, atau yang biasa Asef sebut sebagai penyanyi-penyanyi dangdut aliran garis lembut. Mereka antara lain Caca Handika, Elvi Sukaesih, Rhoma Irama, Evie Tamala, Muchin Alatas, Hamdan ATT, Meggy Z, Iis Dahlia dan Ona Sutra. Cerita-cerita di dalam buku ini dirangkum oleh satu narasi bingkai berupa acara musik dangdut bernama Dede Malu, di radio dangdut Gendang FM yang dibawakan oleh seorang penyiar bernama Siska Kawai.

Selain cerita utama, buku ini juga menyajikan narasi lain seperti selingan komedi, sapa pemirsa, dan iklan yang bukan main lucunya. Narasi selingan ini selain memancing tawa, juga menjadi pemandu imajinasi, yang mengaitkan cerita utama yang satu dengan yang lain, menjadikan proses pembacaan cerita-cerita dalam buku ini sama halnya dengan mendengarkan, atau menyaksikan sebuah tontonan, yang terikat ruang dan waktu tertentu. Dalam salah satu wawancara, Asef juga mengharap bahwa pembaca bisa menelusuri cerita dari awal, dengan alur progresif dan klimaks di akhir cerita. Jadi, sembari membaca, kita juga seperti mendengarkan penyiar yang cuap-cuap tentang tokoh Arjun atau Salamah di radio. Dalam cerita model ini, kita menemukan selain literacy, juga orality. Dua sensibilitas yang dihadirkan bersamaan inilah poin kunci yang menggoyangkan penasaran.

Buku ini memang untuk dibaca, tetapi dibaca dengan sebuah cara. Buku ini menyituasikan pembaca untuk terlibat dalam konteks tertentu, mengikuti urutan formula tertentu yang diulang-ulang, dan bahkan dikesankan untuk menjadi interaktif. Karakter yang redundan dan formulaik juga situasional ini yang menandai gejala oralitas. Sementara itu, pada akhirnya, ini adalah buku. Terlepas dari imbauan Asef untuk membacanya dengan cara dan urutan tertentu, pembaca bebas untuk tidak patuh. Pembaca bisa menyimpannya di rak buku, membacanya di mana saja pada kemudian hari. Pembaca juga bisa memilih cerita yang mereka sukai untuk dibaca lebih dulu dibandingkan yang lain. Kemampuan cerita-cerita yang ditulis Asef untuk mengombang-ambingkan kesadaran antara goyang-goyang di hadapan radio dangdut atau asyik masyuk membaca cerita cinta yang rasanya familiar di telinga inilah, yang saya tengarai mengagumkan.

Dengan amatan yang lebih mendayu-dayu, saya sadar bahwa apa yang ingin dipertunjukkan dalam tulisan-tulisan ini adalah dangdut lawas, dengan kekhasan tema, lirik dan musiknya. Kalaupun dangdut itu kembali populer setelah diaransemen ulang dengan musik koplo akhir-akhir ini, ikatan dengan kelawasannya tidak pernah hilang. Di sinilah saya sebut karya Asef ini sebagai karya nostalgis.

Nostalgia itu sendiri berarti bentuk kerinduan dan hasrat yang sentimental terhadap sesuatu yang sudah hilang seperti rumah, tempat, dan atau momen tertentu. Di dalam nostalgia ada keinginan untuk merasakan pengalaman secara langsung, tanpa mediasi. Lalu apa yang dirindukan Asef dalam karya ini? Tentu saja dangdut, radio, dan cerita-cerita di dalamnya: cerita pengkhianatan seorang kekasih, cerita penggila janda-janda kampung, cerita seorang suami yang tak pulang-pulang dari perantauan, dan sebagainya.

Mengapa dangdut yang demikian dirindukan? Apakah dangdut itu sudah benar-benar hilang? Sebab sekarang kita bisa menyaksikan dalam derajat tertentu justru dangdut semakin populer. Namun bukan dangdut yang seperti dulu. Sekarang kita kenal dangdut reggae, dangdut hiphop, dangdut koplo, dan lain-lain. Penonton dan distribusi serta konteks sosial dangdut pun berubah. Jadi, dangdut garis lembut dan masalah-masalah yang dilagukannya inilah yang ingin diresapi kembali. Dan sebagai momen nostalgis, kumpulan cerita ini menarik dan menghubungkan banyak orang dengan pengalaman yang sama, setidaknya yang ada pada satu generasi. Hal ini sudah terbukti pada saya, yang ketika membaca ini kemudian mengorek-orek kembali kenangan lampau dengan rupa-rupa memori yang sudah terkubur dalam.

Lebih dari itu, bicara dangdut dan resepsi-lestarinya, terutama dalam karya sastra, berarti bicara kelangkaan. Hanya beberapa penulis, sebagai contoh Seno Gumira Ajidharma, Intan Paramaditha, Gunawan Maryanto, dan Kedung Dharma Romansa, telah mengulik dangdut sebagai cerita mereka. Dengan kesadaran ini, Asef kemudian menambahkan dirinya di deretan sastrawan yang peduli tersebut.

Sementara itu, di lingkup akademis, para antropolog dan peneliti seni dari Indonesia dan luar negeri sudah lama jatuh cinta dan jatuh bangun menulis tentang dangdut, akan tetapi sayang kenyataan ini seperti terpisah dari dunia dangdut itu sendiri. Seperti dua wajah dari satu rembulan yang sama, antara siang dan malam, tangan mereka tidak bisa bergandengan. Asef, yang juga tumbuh dalam atmosfer intelektual humaniora, dengan buku Pada Sebuah Radio Dangdut ini mendekatkan siang dan malam itu. Ia, dengan nostalgia menikmati dangdut di masa muda, dengan kemampuan analitik terhadap aspek dalaman dan luaran dangdut, dengan kemampuan literer seorang sastrawan penikmat dangdut, telah mempertemukan dua wajah itu.

Potensi karya ini dengan begitu juga istimewa. Pembaca bisa bernostalgia sembari menghayati lirik-lirik dangdut, yang sebagai diskursus luas, menyinggung masalah-masalah kemasyarakatan yang senyatanya selalu aktual di Indonesia. Terlebih lagi, sebagai sebuah karya sastra, pembaca bisa menikmati kelihaian dan cengkok-cengkok Asef dalam mengolah narasi, yang selain bisa dibaca, juga mengalunkan irama. (*)


Baca juga:
Dawuk: Kalajengking dan Ular dan Kita
Terjebak Hujan di Dalam Rumah


Komentar Anda?