Menu
Menu

Derau nyanyian itu menyebar ke pabrik-pabrik lain di sekitarnya. Ia tak melihat itu sebagai bentuk pembangkangan selain kesenangan belaka.


Oleh: D. Hardi |

Menulis cerpen, puisi, dan resensi, menetap di Bandung. Karya terbaru, buku: Antologi puisi tunggal “Sesuatu yang Tak Pergi di Malam Hari” (Jejak Publisher, 2019), antologi cerpen bersama “Masa Depan Negara Masa Depan” (Surya Pustaka Ilmu, 2019).


Pada suatu sore yang mendung, di kedai kopi langganannya, lelaki itu, seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, terlihat duduk menyeruput sambil bercerita dengan pengunjung lain di dekat kursinya. Menciduk buih Ca Phe Trung di muka cangkir panas, ia mulai bicara.

“Aku kenal seorang lelaki yang doyan sekali menyanyi, sampai-sampai kesenangan menyanyi itu membuatnya mati.”

“Apa mungkin sekadar bernyanyi bisa membuat orang mati?”

Ia lalu berkisah.

Sang lelaki, sebut saja Ramdola, adalah seorang pekerja di sebuah pabrik air minum kemasan yang tak bahagia. Bila diumpamakan mata uang, nilai kebahagiaan sejak mula pernikahan acap kali anjlok hampir ke titik nadir. Ketidakbahagiaannya bahkan sudah dimulai sedari malam sebelum pagi berangkat kerja.

Sampai di kantor, atasannya yang tambun nyapnyap seperti biasa. Mulutnya senantiasa deras mempersoalkan angka-angka—yang sesungguhnya sudah tak muat lagi tertulis di papan dan rekening perusahaan. Tetapi target adalah harga mati. Hari itu kian dipertegas. Jika Ramdola dianggap gagal lagi bulan ini, ia harus angkat kaki.

“Jadi kau mengancamku? Ke mana larinya untung penjualan selama ini, Brengsek?! Kau pikir kami ini bodoh? Dungu?!” Ramdola tiba-tiba mengumpat. Kesabarannya terabas ubun.

“Maksudmu apa?” Raut sang atasan berubah seketika.

“Jangan pura-pura tak tahu! Kita semua tahu. Tapi semua pura-pura tak tahu! Kalian semua, ya, kalian. Kita sengaja dibuat seolah tak tahu apa-apa. Tubuh dipecut bagai kuda. Apa yang kita terima? Kenaikan gaji? Hah!”

“Kamu bicara asal, saya kasih SP, Dola!”

“Buat langsung tiga! Haha. Mulai sekarang aku tak akan bungkam. Kagok edan. Biar sampai ke telinga direktur permainanmu terbongkar!”

“Semalam nggak dikasih mungkin.”

“Gara-gara target. Jadi sinting dia.” Rekannya yang lain bisik-bisik.

Maka sejak hari itulah ihwal Ramdola mempersiapkan pita suaranya yang murah untuk apa-apa yang selama ini menegang di kepala. Setelah rapat pagi, ia kembali unjuk kebolehan di area pabrik. Orang-orang berkumpul. Di depan para buruh ia bernyanyi dengan suara lantang dan lirik yang menggugah. Di lorong-lorong, di sudut-sudut ruangan yang biasanya sungkan didekati karyawan berpangkat rendah, Ramdola bersiul, melolong panjang serupa anjing Siberian. Ke mana perginya lelaki kecut itu?

Ia bernyanyi lagu tak dikenal dengan rima sesuka hati yang sumbang lagi fals tapi ia tak peduli dan terus saja mendendangkan musik dari bibirnya sendiri dengan pesan yang lugas, mengundang setiap pemilik mata dan telinga untuk menggoyangkan anggota badan. Siapa saja, yang menyimak lantunan lirik bernada laiknya mars parpol itu bakal lesap pada persetujuan, melupakan sementara jam kantor yang tersita; “Jadilah perwakilan kami dengan suaramu, Dola.”

Ramdola kemudian semakin terbiasa bernyanyi. Suaranya bulat menggema, dengan jangkauan oktaf hampir di atas rerata. Ia mulai berkawan dengan toa, dan semua kawan setuju menahbiskannya sebagai dirigen penuntut suara. Setiap kata-kata yang keluar ditiru. Tangannya lincah bergoyang ke kiri dan ke kanan, memacu semangat di hari yang terik menyengat.

Kini ia tak lagi sendirian. Derau nyanyian itu menyebar ke pabrik-pabrik lain di sekitarnya. Ia tak melihat itu sebagai bentuk pembangkangan selain kesenangan belaka. Ia ingat, cita-cita masa kecilnya dulu memang ingin menjadi seorang penyanyi.

***

“Apa?! Kamu dipecat? Mau makan apa kita?!” Arum berteriak sampai ke tetangga. Ramdola hanya fokus pada mata pena. Membuat lirik-lirik mbeling, nada-nada minor terucap di bibirnya.

“Aku akan bernyanyi sampai semua orang di kota ini menyadari kehidupannya sendiri.”

“Tapi sampai kapan? Kita butuh beras.”

“Sampai nyanyian itu lenyap, Arum.”

Tanpa seragam perusahaan, tanpa embel-embel logo organisasi apa pun, Ramdola tetap eksis di jagat senandung, di panggung jalanan, di mana saja. Kini tiada penyanyi yang lebih didengar suaranya selain nyanyian Ramdola yang nyata-nyata telah menjadi magnet bagi khalayak. Gayanya bisa mendadak elegan bagai Frank Sinatra, seanggun Freddie Mercury, sesekali gahar seperti James Hetfield, falsetto ala Matthew Bellamy, namun pula membuai laiknya Broery Marantika.

Liriknya mungkin terdengar nyinyir, nakal, di luar batas norma kebanyakan yang gandrung akan stabilitas umum dan kesusilaan. Tapi di situlah daya tariknya. Masyarakat sudah bosan dengan gincu kepalsuan.

“Nyanyikan lagu tentang politikus busuk, Dola!”

“A-Be-Ge TUA dong.”

“Apa?” Ramdola berlagak memasang telinga.

“Tentang pelakor, Dola!”

“Jablay!”

“Koplo Rhapsody, Om. Mantul tuh. Mantap betul.”

“Maling Teriak Maling, dong!”

Maka demikianlah seterusnya, gitar Ramdola setia menemani (menirukan sang El Mariachi yang dilihatnya di film Desperado) berkeliling kampung, jalan-jalan niraspal di setiap ujung kabupaten, meniti gang-gang sempit setiap lekuk kota yang terjamah hanya saat pemilu, berdendang di sekujur bus tua, tenda pengungsi, wilayah banjir, menyasar tiap rupa-rupa manusia menawarkan melodi gubahannya yang mistis, merasuk ke sumsum para jelata, menghibur dengan sukacita. Beberapa orang merekam aksinya. Menyebarkannya ke dunia maya. Ramdola, sekali lagi, jadi viral pemberitaan media.

Ramdola yang bernyanyi dan menari seiring petikan senar gitarnya, yang telah membius masyarakat yang haus akan kejernihan, pula tak luput dari sasaran banyak pihak untuk dirangkul.

“Bergabunglah dengan kami, Dola. Kau telah melihat kenyataan pahit negeri ini. Betapa hukum dipakai penguasa untuk menghajar lawan. Betapa kaya tanah air kita hanya untuk dikeruk penambang asing. Harga-harga melonjak. Utang negara naik berkali-kali lipat. Tenaga kerja asing membludak. Nyanyikanlah kebenaran.”

“Bangsa kita sedang ditakut-takuti khayalan. Sistem ini akan diubah jika mereka berkuasa. Suarakanlah kembali genta nasionalisme kita, Dola!”

“Lihatlah sekelilingmu, dari ujung ke ujung. Berapa banyak lagi bencana alam harus terjadi? Tsunami, banjir bandang, longsor, gempa bumi. Tuhan telah murka. Ini akibat kezaliman para pemimpin.”

Hantu-hantu sejarah akan bangkit, Dola. Waspadalah.”

“Tidakkah kau lihat. Agama hanya kedok untuk merebut kekuasaan. Jadilah suara kami untuk mewartakan kebajikan sejati. Negara ini sudah di rel yang benar, Kawan!”

Ah! Ramdola yang bernyanyi dan menari seiring petikan senar gitarnya, akan selalu menyuarakan isi hati dengan merdeka tanpa stempel ini itu. Tanpa kaus warna-warni penanda makna. Tanpa titah memaksa. Sejak membahasakan inspirasi sendiri, tak ada lagi yang dipertuan. Ia tolak semua ajakan itu meski akan membuatnya tajir hanya dengan sekali kontrak. Segurat tanda tangan saja.

“Duit jutaan itu kamu tolak?! Kamu pikir kamu superstar? Beli buat susu saja susah!” pekik Arum membanting pintu kamar.

Pendapatan hasil menyanyi memang tak lantas melambung meski wajahnya viral di mana-mana. Tapi Ramdola tak patah arang. Ia bernyanyi lebih semangat, kadang terdengar kocak, seiring petikan senar gitarnya, menyuarakan lirik-lirik lugas sonder basa-basi, lancip menghujam tak peduli menyinggung sesiapa, karena kata-kata yang keluar tak pernah berkamuflase di balik kalimat bias bersayap, penuh metafor, atau alegori bermakna ganda.

Hal ini bukannya tak berakibat. Pernah suatu ketika ia dilempari telur busuk saat manggung, sering ditelepon nomor tak dikenal, diserang penonton yang berlagak mabuk. Intinya Ramdola diteror, sampai-sampai terbawa ke alam mimpi.

Ya, di dalam mimpi itu ia dililit gulungan senar gitar setajam belati sampai merobek daging. Diseret ke tengah alun-alun. Lalu diguyur bensin, terbakar sampai mutung.

Namun ia anggap insiden itu lumrah saja terjadi untuk setiap biduan yang sedang naik daun. Pasti ada saja orang yang tak suka dengan karyanya. Sampai ia menulis sebuah lagu berjudul “Insiden Berdarah”, keadaan menjadi tak lagi sama. Ia dikecam banyak pihak termasuk para mantan pejabat yang mungkin saja tersindir.

“Tahu apa Anda tentang sejarah??!”

Lucunya, di antara mereka sendiri malah kemudian saling tuding, karena sekarang berada di kubu yang berlawanan.

“Bukan saya yang pantas bertanggung jawab untuk peristiwa itu.”

“Waktu itu posisi saya adalah bawahan.”

“Padahal lagu itu cuma bercerita tentang pembantaian nyamuk demam berdarah,” Ramdola berseloroh, terkekeh-kekeh di sebuah wawancara.

Tapi segalanya telah berubah. Ramdola sadar, bukan lagi sekadar mimpi buruk yang bakal mampir. Nyatanya sebuah nyanyian dari lelaki yang hanya ingin bernyanyi dan menari seiring petikan gitar itu membuat anak istrinya turut terusik, menjadikan rumah tangganya retak tak terhimpun, lantas berakhir di ruang pengadilan. Setelah resmi bercerai, kita mungkin dapat memprediksi apa yang bakal terjadi dengan Ramdola selanjutnya.

“Dia dilenyapkan?”

“Atau diculik dan tak pernah ditemukan lagi?”

“Tidak, belum waktunya. Ia sedang singgah di salah satu negeri penghasil kopi terbesar di dunia, menikmati liburan saat redup senja di tempat yang akan mempertemukan presiden Amerika dan Korut sambil menyesap Ca Phe Trung panas yang nikmat.”

Lelaki itu menyungging penuh kemenangan. Para pengunjung bersitatap pandang.

“Jadi Ramdola yang Anda ceritakan itu….Anda sendiri?” kata salah satu pengunjung seperti tak rela dikelabui.

“Yah, seperti prolog di sebuah cerita pendek. Satu proposisi pancingan akan selalu menarik untuk terus disimak.”

Belum selesai dengan kisah yang hendak berakhir—sejak salah satu pengunjung terlihat ganjil, menjauh dari kerumunan—dan ia telah menyesap hampir tiga perempat cangkir kopi, mulutnya tiba-tiba tersedak dengan mata membeliak seperti tercekik. Tubuhnya menggelepar. Mulutnya bergetar ingin bicara tapi tak satu pun kata yang keluar. Dalam hitungan detik, ia roboh. Lelehan busa membuyar dari bibir.

Tak lama, raut mukanya kembali tenang. Tatapan kosong yang sepenuhnya tenang.

Para pengunjung terhenyak menatapi tubuh lelaki asing yang kini telah terbujur kaku di hadapan mereka itu. (*)

Keterangan:
Ca Phe Trung: Kopi telur khas Vietnam


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

1 thought on “Nyanyian Maut”

  1. Karna Jaya Tarigan berkata:

    Keren dan lucu

Komentar Anda?