Menu
Menu

Selain Lorem Ipsum, Hasan Aspahani juga hadir dengan empat puisinya yang lain.


Oleh: Hasan Aspahani |

Lahir pada 1971 di Sei Raden, Samboja, Kutai Kartanegara. Buku terbarunya “Aviarium” (kumpulan puisi, Gramedia, 2019) dan “Perjalanan” (novel, Gagasmedia, 2019).


Lorem Ipsum

YA, jelaskanlah lagi kepadaku
tentang apa-apa yang keliru:
aku ingin sebentar saja bersenang
tapi kau katakan itu adalah salah,
dan kenapa untuk bisa berbahagia
aku harus lebih dahulu menimpa dan
menyiksa diriku dengan derita?

Sampaikanlah kepadaku tentang
apa yang engkau temukan sebagai
kebenaran itu. Apa yang benar-benar
membuat manusia, aku dan kamu bisa
berbahagia? Dan apakah bahagia itu?

Beritahu aku tentang bagaimana
aku harus tertawa agar kau tak lagi
perlu mencela dan tawaku itu juga
tak kau anggap sebagai suara hina.

Aku ingin bisa sejenak bersenang,
sekadar bersenang, agar tetap menjadi
manusia, aku ingin tertawa, sekadar
tertawa, agar tetap menjadi manusia.
Beri tahu aku apakah senang dan tawa
itu adalah dosa? Dan apakah dosa itu?

Atau tawaku itu harus kuanggap sebagai
suara sakit dari dalam jiwaku? Sakit
dari kerja dan lelah? Beri tahu aku,
jelaskan padaku. Aku ingin tertawa dan
kini aku merasa rasa sakit itu
mengepung tawaku. Menawarkan rasa senang
yang tak kukenal itu. Apakah rasa sakit
itu? Apakah rasa salah itu?

Aku kini berlari jauh dari diriku,
pada lintasan yang menguji tubuhku,
garis batas yang beranjak jauh
meninggalkan aku. Tak ada tepuk
tangan, tak medali, tak ada
ucapan selamat menanti aku.

Atau aku harus duduk di kedai minum itu?
Dengan atau tanpa dirimu. Sepanjang waktu?
Menikmati tawa yang sama, menertawakan
rasa sakit yang pernah kucintai itu.

 

Mendengarkan Jobim dalam Penerbangan GA287 TNJ-CGK

APABILA waktu berjalan maka pantailah engkau dan anginlah aku
Laut meminta, bergeraklah ombak, mengusik engkau yang menunggu

Apabila ombak sampai padamu, engkau tak menemukan aku di situ,
Aku dan laut tahu, tak ada yang harus kami katakan tentang waktu.

 

Sepi yang Tak Mengenalmu dan Tak Kau Kenal Itu

DI sebuah kafe
yang tak usah kusebut namanya
ketika aku mencari sepi yang terkenal itu
kudengar ada orang yang asing
asyik menyanyi dengan getar gitar
seolah di sana
tak ada siapa-siapa

Tapi, tentu saja ada aku

Aku yang gagal
menemukan sepi yang terkenal itu
sebab dia menyanyi lagu yang bagus
dengan gaya yang membuat aku seakan dimaki-maki,
“…mampus kau dikoyak-koyak imajinasi!”

Ia menatap pada ruang kosong
kata-katanya menari dan mengambang
antara terang lampu dan remang masa lalu
dan aku terbawa ke gelanggang
sama sekali sudah lupa pada sepi yang terkenal itu

Aku tak tahu itu lagu siapa
Mungkin sebuah puisi yang ia tulis sendiri
sekilas mirip Sapardi tapi tentu saja bukan,
bukan Sapardi

Sebab liriknya
seakan diambil dari dalam diriku
seakan dicuri dari dokumen di laptopku
seakan dipungut dari puisi di blogku
seakan dia membuka rahasiaku dan membunuhku perlahan
seakan dia sudah tahu bahwa aku malam itu
akan datang ke situ, ke kafe itu

“…selamat malam, Pencari Sepi.
Sepi yang terkenal itu, sepi yang
tak mengenalmu dan tak kau kenali itu,”
katanya setelah jeda sejenak dari berhenti menyanyi,
dan aku tak berani mengatakan bahwa
ia mengatakan itu untukku.

 

Tiga Bait dari Sebuah Novel yang Sedang Kutulis – 1

“AKU akan membuka sebuah kafe,” ujarnya, “dengan desain interior yang membuat kamu betah membaca Murakami, Pamuk, atau Hemingway, teman-temanmu itu…”

“Aku punya barista yang bisa meracik kopi seperti kopi yang kamu suka itu, kopi yang kamu perkenalkan padaku,” ujarnya, “tapi kamu tak akan pernah singgah di kafeku…”

“Aku akan menyediakan meja kecil dengan kertas dan pensil gambar, juga kursi yang akan selalu kosong,” ujarnya, “itu sudut untukmu, ada atau tak ada kamu di situ…”

 

Sesaat adalah Abadi

NAMAMU adalah namaku yang kurang hurufnya
aku memanggil dengan suara yang berlubang
tercoblos pada tempat yang tak seharusnya

Namamu adalah namaku yang segera terhapus
kembali ke kolom kartu tanda penduduk asing
tercecer di lapangan orasi calon presiden


Ilustrasi: Photo by Keenan Constance from Pexels.

Komentar Anda?