Menu
Menu

Era baru yang datang bertubi-tubi itu, yang datang dalam bentuk virtual itu, yang barangkali dibayangkan akan semakin mencerdaskan, bisa saja membuat kita menjadi begitu homogen.


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Penulis kumpulan cerpen Telinga (2011) dan Perjalanan Mencari Ayam (2018). Anggota Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng.


Awal semester kedua tahun 2020, frasa new normal terdengar di mana-mana. Seluruh anak bangsa diajak untuk hidup dalam sebuah fase baru: kenormalan baru.

Pemerintah gencar melakukan sosialisasi. Presiden memerintahkan agar pimpinan daerah turun ke desa-desa, berdua-dua tentu saja sebab ada bupati berarti ada wakil bupati dan walikota pasti bersama wakil walikota. Bahwa pada kenyataannya mereka tidak jalan bersama, itu lain soal. Yang pasti, keduanya, di semua daerah, harus melakukan sosialisasi tentang sebuah normal yang baru: Kita harus mulai terbiasa berinteraksi dengan mulut tetap ditutup masker. Jangan lupa rajin cuci tangan. Kalau tidak terlampau mendesak, tinggallah di rumah saja.

Sampai sekarang, barangkali karena kampanye masif tentang ‘era baru’ itu, saya selalu merasa ada yang kurang kalau ke mana-mana tanpa masker. Bahwa nanti ketika sampai di tujuan masker dibuka dan kami ngobrol begitu dekat satu sama lain, itu lain soal; di era yang baru ini, masker adalah busana yang lain. Begitu? Begitu, kira-kira.

Di masa-masa awal sosialisasi itu digencarkan, ada juga perkiraan lain tentang era yang baru. Salah satunya adalah tentang kesibukan yang akan segera berkurang. Perkiraan yang salah rupanya. Di rumah saja, yang pada zaman dahulu yakni di tahun 2018 berarti leyeh-leyeh, berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berputar dan terbalik. Tak ada masa berbaring santai melepas lelah atau duduk-duduk di ruang keluarga sambil minum kopi itu di masa new normal ini. Segala sesuatu yang dahulu tidak normal sekarang menjadi normal. Kerja dari rumah, sekolah dari rumah, aktualisasi diri dari rumah—atau kau hilang, dianggap tak ada. Dan, kita adalah anak-anak Maslow yang harus membuktikan bahwa kita ada; self-actualization needs.

Sebab pada masa-masa sosialisasinya pemerintah—ketika menyampaikan perihal mengurangi mobilitas—tetap mengingatkan agar setiap pribadi tetap menjaga produktivitas, tangan kita menjangkau ke mana-mana. Di rumah. Dari rumah.

Kita (belajar) mengenal teknologi-teknologi paling baru (yang memungkinkan proses aktualisasi diri berjalan tanpa melanggar protokol kesehatan di era new normal), kita meraba-raba peluang ekonomi dari fase ini, kita menemukan youtube dengan wajah yang lebih segar, kita mengakrabi zoom yang memungkinkan kita dibayar untuk bicara pada orang banyak tanpa bertemu muka, kita membutuhkan peralatan baru yang membuat wajah kita lebih jelas di laptop/handphone orang lain, kita menyadari bahwa jumlah orang yang kita kenal (dan kok rasanya akrab sekali padahal tidak pernah ngobrol semeja dan baku pinjam korek api?) menjadi bertambah, kita meraba-raba perintah lain bernama adaptasi kebiasaan baru.

Menjadi adaptif bukan hal yang sederhana. Ya, tentu saja beradaptasi adalah perintah paling dasar agar semua makhluk tetap bertahan dan tidak menjadi sejarah. Soalnya adalah kemampuan yang cepat beradaptasi dengan teknologi paling baru agar tetap eksis harus berhadap-hadapan dengan kenyataan lain: prasarana tak secepat itu bertumbuh, sayangku.

Di Ruteng, jaringan internet yang cepat adalah sebuah kemewahan. Beberapa teman yang berusaha memindahkan panggung kesenian ke ruang virtual harus berjibaku dengan keluhan tentang gambar yang patah-patah, sebagian teks hilang (eh?), miskomunikasi sebab reaksi tidak lagi dalam bentuk verbal dan mimik tetapi berganti emoticon (kau pernah keliru menanggapi emoticon—berdebar-debar padahal gambar hati yang menggantikan mata di bulatan kuning itu tidak selalu berarti cinta, bukan?).

Komunitas kami, Saeh Go Lino, mengalaminya. Konser virtual Salam Natal dari Ruteng yang sudah kami tapping sebelumnya hampir saja tidak jadi tayang padahal promosi sudah gencar bahwa konser itu akan “live” di youtube. Ya, live di youtube memang harus diberi tanda kutip karena sesungguhnya tidak perlu se-live televisi. Konten bisa digarap sebelumnya sampai rapi lalu ditayangkan dalam bentuk (seolah-olah) live. Tetapi yang begitu saja tetap terancam gagal. Internet, yang sangat lambat itu, menghambat tim kerja konser virtual mengunggah konten. Mau adaptif model apa lagi kita ini? Itu di akhir 2020.

Awal semester kedua tahun 2021, kata virtual terdengar di mana-mana. Kita telah lebih akrab dengan kenormalan baru. Benarkah? Terdengar kalimat ini di banyak tempat: Kita buat saja dulu. Kalau ternyata tidak maksimal, kita masih punya banyak waktu (dan anggaran?) untuk membenahinya. Tunggu apa lagi?

Presiden sempat marah-marah beberapa waktu sebelumnya. Persentase serapan anggaran di hampir semua instansi pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal dana hasil rasionalisasi diharapkan akan menjadi stimulus ekonomi bagi masyarakat. Maka setiap kementerian mulai bekerja (lebih) keras. Salah satunya adalah membuat kegiatan virtual. Promosi pariwisata virtual, konser virtual, pertunjukan rakyat virtual, rapat virtual, beberapa berhasil, beberapa lagi tidak, eh, belum. Yang belum berhasil itu disebabkan oleh cukup banyak hal. Yang terbesar di antaranya adalah hal jaringan. Ya! Prasarana internet. Kita harus adaptif model bagaimana lagi ini?

Ini yang saya alami di Ruteng. Di beberapa tempat lain yang ‘dekat sini’ juga barangkali mengalaminya. Tetapi kita harus tetap berjuang sebab era baru ini akan datang lagi, bertubi-tubi. Kenormalan baru yang dulu berarti memakai masker, mencuci tangan pakai sabun di air yang mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas, kini berarti model interaksi tak lagi sama. Senyum-senyum sendiri bukan lagi gejala gangguan kejiwaan sebagaimana pada zaman dahulu (2018 dan sebelumnya) kita memberi cap demikian pada yang melakukannya. Seseorang barangkali sedang membalas emoticon bulatan kuning di handphone-nya. Apa kabar sapaan selamat pagi, pak?

Beberapa orang tua mengeluhkan itu. Anak-anak mereka tidak lagi bisa menyapa atau berbicara dengan orang lain dengan kalimat yang tepat dan santun seperti di era mereka dulu. Dan, ini: berinteraksi di ruang virtual di mana mereka bertemu dengan orang-orang yang sejenis (pendapat, perilaku, keyakinan, aliran) membuat cukup banyak orang kesulitan menghadapi perbedaan pandangan.

Saya lalu ingat Filter Bubble. Filter Bubble—istilah ini dipopulerkan oleh Eli Pariser, seorang aktivis internet—merupakan penyaring informasi yang didapatkan pengguna saat menggunakan media sosial dan mesin pencari. Filter Bubble ‘dianggap’ berdampak buruk karena: terciptanya masyarakat yang mengenal informasi yang sama—adalah tempat kita tidak bisa belajar apa pun;
dapat membuat orang terisolasi secara intelektual; seseorang memiliki kecenderungan untuk mengklaim orang lain sepaham dengan dirinya, dan menyimpulkan pendapatnya adalah kesimpulan mayoritas. Era baru kita? Duh!

Era baru yang datang bertubi-tubi itu, yang datang dalam bentuk virtual itu, yang barangkali dibayangkan akan semakin mencerdaskan, bisa saja membuat kita menjadi begitu homogen. Maksud saya, apakah kalian akan mengikuti zoom meeting yang membahas tentang, misalnya, kegagalan gerakan literasi sementara kalian begitu yakin bahwa literasi adalah sesuatu yang mulia sebab kalian menggerakkannya? Era baru yang datang bertubi-tubi itu, apakah membuatmu tetap menjadi dirimu sendiri (yang lebih baik)? Semoga kau tidak sedang memikirkan dirimu telah semakin mirip dengan seseorang yang kau temui di ruang virtual.

Jangka kali ini sampai di sini dulu. Sampai jumpa lagi.


Ilustrasi: Photo by Pedro Figueras from Pexels

Baca juga:
Close-Up: Memudarkan Batas Nyata dan Rekayasa
Sepanjang Jalan Satu Arah: Kekuasaan dari Segala Arah


Komentar Anda?