Menu
Menu

“Sepanjang Jalan Satu Arah” menampilkan idiom-idiom domestik dan cenderung dekat dengan kehidupan sehari-hari.


Oleh: Eka Putra Nggalu |

Bergiat di Komunitas KAHE, Maumere. Esai-esainya tersebar di sejumlah media. Facebook: Dede Aton. IG: @dede.aton.


Identitas Film

Judul: Sepanjang Jalan Satu Arah
Sutradara: Bani Nasution
Produser: Bani Nasution
Genre: Drama/Film pendek
Durasi: 16 menit
Tahun Produksi: 2016
Rumah Produksi: LiarLiar Films
Lainnya: Nominasi Piala Citra untuk Film Dokumenter Pendek Terbaik, 2017

*

Dalam salah satu edisi Catatan Pinggir, Goenawan Muhammad menulis begini. Kita hidup dalam zaman demokrasi dan superhero. Keduanya berlawanan, tapi mungkin saling bertaut. Kita hidup dalam masa kotak suara bersahaja diantre di TPS dan adegan superseru, supergemuruh, dan superkhayal dalam Infinity Wars di layar TV. Masing-masing kita bicarakan dengan akrab, kadang-kadang sengit, sesekali geli.

Demokrasi agaknya tidak jauh berbeda dengan film-film di layar TV dan bioskop. Keduanya memiliki karakter dramatiknya masing-masing. Politik akan menjadi sangat datar dan membosankan bila tak ada problem krusial dan tokoh-tokoh superhero di dalamnya, tak ada intrik dan saling sikut di antara para perebut kekuasaan. Setidaknya, bagi Goenawan Muhammad, setelah tak ada lagi revolusi sosialis, setelah sejarah sebagai peristiwa besar berakhir, tindakan heroik sangat jarang terjadi dalam hidup bersama, khususnya dalam politik. Demokrasi dan kapitalisme membuat banyak hal dalam hidup jadi datar, kecuali bentuk perut.

Mungkin ada benarnya. Negara-negara Skandinavia yang umumnya memiliki kultur demokrasi yang sudah berkembang sangat pesat dan selalu berada di tingkat atas indeks kesejahteraan politik dan ekonomi masyarakatnya, hampir tidak melahirkan tokoh-tokoh penting di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Di sana seperti tak berlaku hukum dialektika. Hampir tak ada konflik. Tak ada tawaran paradigma-paradigma baru. Seorang teman yang suka dengan salah satu negara Skandinavia begitu gemas dengan fakta bahwa hampir tak ada artis yang viral dari sana. Saya tidak tahu apakah memang demokrasi negara-negara Skandinavia, dan di belahan dunia lainnya, sedemikian tentram sehingga hampir tidak ada tokoh-tokoh superhero yang muncul belakangan ini.

Namun, menilik situasi terkini bangsa Indonesia, agaknya kita perlu sedikit mengubah perspektif tentang superhero yang cocok hadir di iklim politik Indonesia. Ada serial-serial kecil di sekitar kita, semacam kisah-kisah kaum pinggiran, yang punya tautan sangat kuat dengan konstelasi politik bangsa kita sendiri, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kami, saya dan teman-teman di Komunitas KAHE Maumere, dalam beberapa waktu terakhir, persis di hari-hari jelang pemilu, membuat roadshow pemutaran film Sepanjang Jalan Satu Arah karya Bani Nasution. Film ini berkisah tentang kehidupan keluarga kelas menengah dalam lanskap situasi politik Indonesia. Dua hal yang memiliki karakter dramatiknya masing-masing.

Tentang film ini, Bani menulis sinopsisnya demikian: pada suatu hari, Ibu meminta saya untuk pulang ke rumah. Setibanya saya di sana, beliau meminta semua anggota keluarga kami untuk memilih Calon Walikota yang beragama Islam. Saya menolak. Saya tidak setuju dengan pemikiran beliau. Namun, Ibu saya bersikeras agar saya memilih Calon Walikota berdasarkan agama yang dianut. Pada akhirnya, di hari pencoblosan, saya memilih untuk tidak memilih.

Distorsi Kekuasaan pada Ruang Personal

Sepanjang Jalan Satu Arah berdurasi enam belas menit. Sepanjang enam belas menit itu, yang muncul kepada pemirsa adalah idiom-idiom domestik dan cenderung dekat dengan kehidupan sehari-hari: percakapan ibu dan anak, situasi rumah, adegan ibu menjahit, adegan pengajian, obrolan suami dan istri, dan hal-hal sekitar kehidupan keluarga.

Representasi keluarga kelas menengah muncul dengan kuat dalam imaji-imaji ruang keluarga yang lengkap dengan segala perabotnya, interaksi anggota-anggota keluarga, hingga suara televisi dengan iklan-iklan produk rumah tangga dan sinetron yang terdengar seperti ambience yang melingkungi gambar-gambar bergerak dan percakapan serta interaksi para tokoh. Persis seperti yang kerap dijumpai di kebanyakan rumah-rumah masyarakat kelas menengah bawah di Indonesia.

Konflik dalam film ini begitu sederhana sekaligus pelik. Ibu Bani adalah seorang tim sukses calon walikota Solo beragama Islam pada pemilu tahun 2015 yang lalu. Ia berkampanye, meminta dukungan suara dari lingkungan terdekatnya, termasuk keluarganya, untuk memilih calon yang ia usung.

Ibu Bani menggunakan isu agama untuk mengangkat kredibilitas calon yang diusungnya sekaligus dengan isu yang sama menjatuhkan calon lain yang beragama Katolik. Bani terganggu dengan intervensi politik sang ibu terhadap hak pilihnya. Selain itu, cara kampanye sang ibu yang menggunakan strategi politik identitas, menurut Bani, bukanlah hal yang sehat bagi kultur sekaligus sistem demokrasi di Indonesia.

Secara makro, kita dapat melihat bahwa Bani Nasution dengan sengaja menempatkan isu politik identitas sebagai wacana utama yang ingin diperdebatkan. Dalam konteks keanekaragaman Indonesia, agama adalah salah satu alat yang jitu untuk menggalang populisme warga masyarakat. Islam sebagai agama mayoritas dijadikan sasaran empuk untuk membangun basis kekuatan massa yang cukup besar demi memenuhi adagium vox populi, vox Dei sebagai usaha merebut kekuasaan.

Karakter institusional sekaligus afeksional agama memudahkan proses instrumentalisasi tersebut. Iman diubah menjadi sebentuk doktrin. Empati dimodifikasi menjadi sebentuk ideologi. Solidaritas dikerangkakan dalam fanatisme sempit. Umat diberi pakaian seragam dan dijadikan bidak. Meledak dan menjamurnya pertumbuhan ormas Islam di Indonesia adalah fenomena-fenomena yang genealoginya punya kaitan yang kuat dengan tujuan politik-ekonomi golongan tertentu.

Meski demikian, instrumentalisasi agama demi membangkitkan polarisasi populisme lantas tidak serta merta langsung diarahkan pada revolusi yang dalam konteks Indonesia cenderung mustahil. Yang tidak kalah bahaya dari revolusi adalah upaya merebut kendali produksi wacana dan simbologi-simbologi yang tersebar dalam kebudayaan beserta seluruh aktivitas dan interaksi warga masyarakat.

Produksi wacana itu adalah sebentuk habitus—bahkan hoax yang bisa berakar dan menjadi representasi dari realitas yang baru—yang diharapkan kemudian akan diyakini sebagai kebenaran.

Produksi wacana dan perebutan simbologi dalam masyarakat yang muncul dalam film ini tidak muluk-muluk. Aktivitas Sang Ibu menggunakan kegiatan mengaji ibu-ibu muslim (atau arisan) sebagai ajang kampanye adalah satu interaksi sosial-kultural yang bisa dibaca sebagai usaha merebut ruang-ruang (simbol) vital dalam interaksi masyarakat demi kepentingan dan tujuan kulminasi wacana serta ideologi tertentu.

Selanjutnya dalam konteks ini, seperti keyakinan Foucaultian, operasi kekuasaan kemudian melampaui cara-cara yang sifatnya hegemonik. Kekuasaan tidak melulu terepresentasikan dalam atribut politik tertentu. Ia juga tidak lantas hadir dalam wujud apparatus sipil atau militer yang bisa diidentifikasi seperti pada umumnya.

Kekuasaan menjadi sesuatu yang sangat punya pengaruh dan penuh dengan kekuatan untuk menggerakkan realitas, justru karena ia tersebar di mana-mana (omnipresent). Konsep kekuasaan bergerak dari pengertiannya sebagai sovereign power kepada kekuasaan sebagai disciplinary power. Disciplinary power bukanlah konsep tentang kekuasaan yang dimiliki berdasarkan otoritas untuk mengontrol yang lain, melainkan ia berfungsi dalam dan terhadap setiap relasi sosial, ekonomi, keluarga, dan seksualitas.

Dengan demikian kekuasaan menjadi terinfiltrasi dalam subjek-subjek yang berelasi, yang di dalamnya kekuasaan yang sama beroperasi. Kekuasaan seperti itu tidak memerlukan satu otoritas tertentu untuk mengontrol sebab ia telah berjalan dengan sendirinya seiring subjek-subjek berelasi antara satu dengan yang lainnya. Kekuasaan ini bersifat imanen. Ia melalui proses pendisiplinan. Ia melewati sejenis indoktrinasi kultural. Kekuasaan jenis ini ada di mana-mana, bukan karena ia merengkuh segala sesuatu, melainkan karena ia datang dari segala arah.

Kekuasaan yang datang dari segala arah ini nyata terlihat dalam film Sepanjang Jalan Satu Arah. Ibu Bani boleh jadi adalah subjek-subejek yang menggerakan kekuasaan yang terinfiltrasi dalam tubuhnya. Dalam salah satu adegan di film itu, kita dapat menyaksikan salah satu penggalan diskusi antara Ibu Bani dan sang suami tentang anaknya yang sudah mulai menampakan ciri sekular.

Sikap kritis Bani dalam menolak modus serta motif kampanye sang ibu telah dianggap liyan. Bani terdiferensiasi dari golongan ibunya yang mengidentifikasi diri sebagai Islam. Ibu Bani adalah representasi dari sebentuk metanarasi. Sedangkan Bani adalah subversif. Bipolarisasi antara identitas dan diferensiasi berlangsung. Yang lebih parah dan miris adalah keduanya mendistorsi dan beroperasi dalam relasi-relasi yang justru sangat personal: hubungan ibu-anak, keluarga.


info grafis daeng irman ulasan film sepanjang jalan satu arah

[nextpage title=”Resistensi dan Rekonsiliasi”]
Sepanjang Jalan Satu Arah
adalah sebuah resistensi. Resistensi itu tidak hanya berupa sikap kritis Bani terhadap ibunya, tetapi lebih dari pada itu, resistensi seorang yang mecoba menjaga rasionalitas publik dari pengaruh sistem kuasa yang kian menginfiltrasikan doktrin politik tertentu pada sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Adegan-adegan dalam film, ini semisal sikap penolakan ponakan Bani ketika hendak dipakaikan hijab oleh Ibu Bani atau sikap acuh tak acuh Bani merespons telepon dan pesan whatsapp ibunya adalah sebentuk upaya menolak adanya produksi wacana dan penguasaan tanda dan simbol politis tertentu dalam masyarakat, terutama dalam ruang-ruang privat dan personal.

Bani menolak dengan tegas instrumentalisasi agama yang mencoreng asas demokrasi. Ia menolak intervensi dari mana pun terhadap haknya untuk memilih calon pemimpin melalui pemilihan umum. Tentu termasuk haknya untuk tidak memilih.

Karya Bani ini untuk saya adalah juga awasan dan kampanye bagi kita semua untuk memutus pipa kapiler tempat berlangsung dan beroperasinya kekuasaan, yang kian hari kian tersistematisasi dan menjadi mekanis dalam cara berpikir dan bersikap orang-orang. Bani mewanti-wanti betapa kekuasaan yang menunggangi agama dan isu identitas lain telah menggerakkan banyak sekali subjek untuk menjalankan produksi wacana kekuasaan tersebut secara memabi buta.

Bani ingin agar kita menjadi kritis dengan jenis-jenis kekuasaan yang kian menumpulkan akal sehat tetapi sebaliknya memupuk fanatisme buta.

Dan, sikap kritis serta upaya untuk terus menerus sadar dan peka terhadap operasi kekuasaan yang berlangsung tentu harus dimulai dari keberanian melihat dan membaca realitas yang paling dekat: relasi-relasi personal dan keluarga.

Lebih dari pada sebuah kampanye akbar nan megah, film ini menjadi menarik karena ia adalah semacam upaya rekonsiliasi yang sangat personal antara Bani dan ibunya. Bani bercerita bahwa setelah sekian lama mengambil jarak dan menaruh gensi pada ibunya, ia akhirnya bisa dan berani mencairkan kembali susasana dan komunikasi antara mereka berdua sesaat sebelum film ini diproduksi.

Adegan terakhir menjadi semacam oase yang menyejukkan untuk film yang menyediakan banyak sekali teks-teks kritis untuk dibaca dan pintu serta jendela untuk dimasuki.

Dan bagi saya, Bani cuma mau bilang, kalau resistensi tanpa upaya merefleksikan tegangan tersebut secara lebih jauh dan mendalam, yang secara praktis nyata dalam usaha-usaha rekonsiliasi, adalah omong kosong dan mungkin sia-sia belaka. Apalagi jika itu terjadi di ranah privat.

Demokrasi kita mungkin tidak butuh tokoh-tokoh dengan kisah hebat seperti Thor, Iron Man, atau Shiva untuk mengubah arah gerak sejarah. Kita hanya mungkin perlu melihat lebih dalam ke sekeliling kita dan menemukan tokoh anak bandel seperti Bani dan ibu rumah tangga yang kecanduan politik seperti Ibu Bani.

Mungkin kita menemukannya dalam diri kita sendiri? Mungkin kita menemukannya dalam sosok kekasih kita? Atau mungkin rekan kerja? Mungkin. (*)


Infografis oleh: Daeng Irman

Komentar Anda?