Menu
Menu

Flores Writers Festival menjadi meja cerita itu. Pertemuan, percakapan, cerita, kedekatan, dan pengalaman. Itu menciptakan denyut kehidupan bagi rumah kita.


Oleh: Dominiko Ariyanto Djaga |

Lahir di Ende pada 27 November 2000, dibesarkan di Ileape, Waipukang, Lembata. Akrab disapa Rintho. Calon Imam Keuskupan Larantuka dan sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di STFK Ledalero.


Ketika mengetahui bahwa saya lolos dalam ajang sayembara pembaca Flores Writers Festival, kepala saya langsung dipenuhi daftar topik, strategi, prediksi, dan pikiran santai tentang perjalanan, pertemuan, serta daftar kontak yang akan bertambah.

Flores Writers Festival adalah kegiatan diprakarsai Klub Buku Petra, Ruteng. Pada perhelatan yang pertamanya, festival literasi ini mengangkat tema Ludung Wa Mai Tanan, dipilih karena juga memiliki kaitan yang erat dengan go’et atau pepatah orang Manggarai, Rangkang Wa Mai Tanan, Ludung Wa Mai Pu’un; menggambarkan pentingnya hidup selaras dan serasi dengan alam. Melalui aktivitas-aktivitas kesusastraan dan literasi, kesenian, serta kebudayaan, festival ini diharapkan mampu menjadi ruang untuk berdialog, berbagi, dan berefleksi demi meningkatkan kecintaan serta kreativitas dalam kerja-kerja pemajuan literasi budaya, terutama membaca, menulis, berdiskusi, menerbitkan karya-karya, dan penciptaan kesenian.

Nama-nama penulis undangan—para penulis yang biasa kami perebutkan bukunya ketika masih di bangku seminari menengah (Seminari San Dominggo, Hokeng) atau kami baca sebelum tidur sebagai ritual romantis untuk mencintai puisi—yang akan hadir pada kegiatan yang digelar di Ruteng, 1-4 September 2021, sontak meciptakan efek insomnia. M. Aan Mansyur, Mario F. Lawi, Marianus Nuwa, adalah deretan nama yang menjadi nostalgia dan sejarah bagi saya. Satu karunia tambahan, saya berangkat ke Ruteng bersama dengan ka Ge (Marianus Nuwa), Pa Sil (Silvester Petara Hurint), juga ka Aken (Afryantho Keyn).

Sebelumnya saya berpikir akan sulit membangun komunikasi dengan mereka, tapi ternyata mereka ahli menciptakan meja cerita, bukan meja interogasi.Banyak perbincangan yang terjadi. Dari hal terlarang sampai tema paling jenaka.

Flores Writers Festival dan Meja Cerita

Rutinitas setiap pagi untuk para penulis undangan dan peserta adalah sarapan pagi di balkon Hotel Sky Flores. Mengawali hari dengan berbagai perbincangan, saya jadi tidak perlu membaca koran pagi. Berita-berita bisa diakses melalui cerita. Suasana manusia yang ada di sekitar saya dengan kelompok dan tema masing-masing menjadi seperti televisi, atau mungkin radio. Tema selalu berganti ketika ada yang datang selesai mandi pagi, atau ada yang pamit ingin segera bersiap-siap sebelum acara.

Meja cerita itu lalu terlepas dari wujud fisiknya: dia tidak habis setelah sarapan pagi. Setiap saat dan di mana saja saja selalu ada meja cerita. Di dalam mobil, di ruang tunggu, di waktu istirahat, di teras; meja cerita selalu dibawa ke mana saja. Di situ kemarahan, kecemasan, dan rasa tidak puas tampil dengan jujur. Ide, karya, dan gagasan terbentuk menjadi kekuatan. Meja cerita seperti punya rahasia magis, dia menciptakan kedekatan, mencairkan suasana, bahkan, beberapa ide atau gagasan besar, yang seperti ingin mengubah dunia, tercipta darinya.

Meja cerita merupakan sebuah ungkapan atau istilah yang berangkat dari filosofi meja makan yang biasa diajarkan oleh bapak saya semenjak saya kecil. Bapa pernah menasihati saya, dengan sikap penuh wibawa dan mimik wajah yang selalu khas: “Meja makan itu seperti jantung untuk rumah. Sebagian dari kau punya masa depan itu ada di meja makan.” Saya mengunakan frasa meja cerita pada catatan ini untuk menekankan situasi ramah, santai, dan edukatif di meja makan yang tercipta karena ada cerita, juga percakapan. Meja cerita terlepas dari pemahaman materinya, dia menjadi kekuatan folosifis ketika keramaian tidak menjadi bisu karena semua sibuk dengan urusan masing-masing, melepas kecanggungan di mana semua perbedaan melebur jadi akrab, yang tak saling mengenal menjadi teman, yang merasa berbeda menjadi keluarga.

Itulah daya magis Flores Writers Festival. Festival yang menghadirkan para penulis, pembaca, dan seniman baik dari Nusa Tenggara Timur, maupun dari luar NTT itu menjadi meja cerita yang mengumpulkan semua pandangan dan karakter untuk saling bertemu, untuk saling membantu. Festival yang diisi dengan berbagai program menarik, seperti Sayembara Pembaca NTT, Residensi Seniman, Seminar dan Bincang Tematik, serta Pertunjukan.

Pada sesi Bincang Tematik—dengan pelbagai tema dan peserta boleh memilih tema yang akan diikuti—banyak pertanyaan dilemparkan. Satu per satu narasumber memberi tanggapan, dengan begitu mudah topik bisa berpindah. Kita bisa mulai dari sastra, beralih ke profil penyair, beralih ke masalah sosial, beralih ke budaya, bahkan sampai isu politik. Dari pembicaaran soal seni, pembahasan bisa menjangkau ke segala aspek. Karena latar belakang yang berbeda, ada banyak hal yang bisa dibandingkan. Ini membuka lanskap pengetahuan di antara para peserta.

Dari pembicaraan dan diskusi dalam kegiatan itu, saya menemukan pandangan baru tentang seni. Saya menemukan bahwa seni, entah itu sastra, teater, musik, atau lukisan, juga memiliki peran dan kontribusi dalam membangun/membentuk pandangan atau kesadaran sosial masyarakat. Seni kembali merefleksikan dirinya dalam berbagai masalah sosial dan ketimpangan yan terjadi. Ini bukan pengkultusan terhadap seni. Seni menjadi altenatif ketika media sudah dikontrol kepentingan tertentu, data dan statistik di permainkan atau disembunyikan: seni menjadi salah satu elemen untuk melawan.

Membicarakan Karya: Membicarakan Kehidupan

Proses kreatif ini mendekatkan saya pada keadaan sekitar. Kemampuan analisis, reflektif, dan imajinatif memberikan pemahaman yang mandiri terhadap masalah yang kontekstual dengan kondisi daerah masing-masing. Dan proses kreatif tidak bisa diam dengan hal itu. Fenomena tabu yang diabaikan atau disembunyikan, seperti masalah lingkungan, kemiskinan, infrastuktur, komersialisasi budaya, kearifan lokal yang dilupakan, setidaknya menjadi objek dari sebuah proses kreatif. Karya adalah kerja, kerja membangun solidaritas. Meminjam apa yang dikatakan M. Aan Mansyur sebagai “tubuh kolektif”, Flores Writers Festival tidak hanya mempertemukan, tetapi menghubungkan personal dengan personal, komunitas dengan komunitas. Dari hubungan yang terjalin, ada kinerja seni yang masif, ada pertukaran gagasan dan pengalaman yang dapat saling mengisi satu sama lain, ada rantai kekeluargaan dan kerja kreatif yang terbangun.

Saya jadi mulai paham apa yang dimaksud bapak saya, “sebagian dari kau punya masa depan itu ada di meja makan”. Di meja makan (cerita) semua keluarga berkumpul. Di meja makan, kita menambah asupan gizi dari makanan yang tersaji. Kita mendapat kekuatan spiritual dari pesaan orang tua, juga kakak atau adik. Kita terbuka, menceritakan masalah dan mendapat penguatan batin dan emosional. Masa depan rumah, tentang kedamaian dan keharmonisan, ditentukan dari apa yang terjadi di meja makan (cerita) hari ini. Kekuatan rumah adalah keluarga, dan jika anggota kelurga tidak memiliki rasa saling memiliki atau mencintai maka rumah itu sedang dalam bahaya. Perlu ada kedekatan dan rasa saling memiliki, dan perasaan itu hadir melalui ruang-ruang bercerita ataupun ruang-ruang pertemuan dalam rumah dan salah satunya adalah meja makan (cerita).

Flores Writers Festival menjadi meja cerita itu. Pertemuan, percakapan, cerita, kedekatan, dan pengalaman. Imenciptakan denyut kehidupan bagi rumah kita. Rumah yang kita sebut sebagai pulang, kampung, nama-nama lain, atau rumah besar kita yaitu indonesia.

Sekarang semua kembali ke kamar masing-masing, merefleksikan apa yang terjadi dan membuat janji untuk hari esok. Besok memang misteri, apa yang akan terjadi memang masih menjadi tanya tanya, tapi bukan berarti kita tidak memiliki persiapan. Karena bagi saya, masa depan itu dimulai hari ini.


Keterangan foto: Sebagian peserta Flores Writers Festival 2021 setelah salah satu sesi Bincang Tematik. Foto-foto lain dapat dilihat di facebook, instagram dan twitter Flores Writers Festival.

Baca juga:
Bom Singkatan dan Perjuangan Kita Mengerti Arti Pandemi
Terpidana Nomor 19394


Komentar Anda?